https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Friday, October 31, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda Artikel

Spirit Nyi Eroh dan Terowongan Geureutee

Afridal Darmi Oleh Afridal Darmi
6 days ago
in Artikel
Reading Time: 5 mins read
A A
0
12
Bagikan
124
Melihat
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh: Afridal Darmi

Selama empat puluh hari Nyi Eroh bergelantungan di dinding batu curam lereng Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Mengikat tubuhnya dengan akar dan rotan. Perempuan sederhana itu menatah batu cadas dengan tangan telanjang, hanya bersenjatakan kapak beliung dan cangkul. 

Ia bukan insinyur, bukan pejabat, bukan pula orang berduit. Ia hanyalah petani kecil yang setiap hari melihat sawah di desanya kering kerontang dan kekurangan pasokan air yang mengancam pengairan sawah seluas ratusan hektar di lereng Gunung Galunggung dan desa-desa sekitarnya. Petani kesulitan mendapatkan air untuk irigasi sehingga produktivitas sawah terancam.

Empat puluh hari lamanya ia bekerja sendirian, memahat batu demi batu. Kegigihan ini membuka mata dan hati warga desa.Semula mereka heran, tidak percaya, bahkan melecehkan, berubah menjadi kekaguman dan keteladanan. 

Akhirnya mereka bergabung dengan Nyi Eroh memahat bukit batu, menggali tanah, membangun parit. Setelah hampir 6 bulan bergotong royong dengan alat seadanya lahirlah irigasi sederhana sepanjang 5 kilometer yang menyuburkan sawah di tiga desa, memberi makan ratusan keluarga, dan menghidupkan kembali semangat kampung yang hampir mati. 

Atas jasanya, Nyi Eroh, perempuan kelahiran 1934 di Kampung Pasirkadu, Desa Santanamekar, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat itu dipanggil oleh Presiden Soeharto ke Istana Negara di Jakarta dan dianugerahi Penghargaan Kalpataru 1988 sebagai Perintis Lingkungan. Ia mencapai visinya hanya dengan bekal kegigihan, rendah hati, religius, dan keras kepala dalam kebaikan.

Tiga dekade kemudian, di ujung barat Indonesia, Gubernur Aceh Muzakkir Manaf juga berbicara tentang “menembus gunung”. Rencana besar pembangunan terowongan menembus Gunung Geureutee. Gunung yang berdiri kukuh di perbatasan Aceh Besar dan Aceh Jaya, ditengarai selama ini menjadi sabab musabab terisolirnya pantai barat dan selatan Aceh dari pembangunan. 

Bedanya, bukan dengan kapak beliung dan cangkul, melainkan dengan alat bor modern, jika perlu didatangkan dari negara luar yang lebih maju dari kita. 

Gagasan ini bukan hal baru, telah muncul sejak masa awal Aceh Damai. Adalah Gubernur Zaini Abdullah dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, pada Maret 2015 yang membubuhkan tanda tangan di atas gambar perencanaan yang dibawa oleh Kasatker Jalan Nasional. 

Masyarakat menyambut gembira dan percaya rencana ini akan menjadi kenyataan. Gubernur yang dipanggil dengan nama akrab Abu Doto  ini memang dikenal dengan proyek-proyek yang visioner dan membuat sesuatu yang hanya ada di negara maju bisa dibawa ke Aceh. 

Rekam jejak gubernur ini dengan perluasan masjid Raya Baiturrahman membawa payung raksasa yang semula hanya ada di Masjid Nabawi di Madinah ke Aceh tercatat dalam momori rakyat. Jembatan layang Simpang Surabaya dan Underpass Beurawe juga dibangun masa pemerintahan beliau menunjukkan visi ini. Tak heran jika rakyat juga beranggapan pembangunan Terowongan Geureutee hanyalah bentuk lain dan kelanjutan semata dari proyek visioner Abu Doto.

Kampus pun mengangguk. Kepala Laboratorium Pelayanan Terpadu Universitas Syiah Kuala DR. Ir. Taufiq Saidi, MEng menyatakan memang tepat rencana itu. Dalam hitungan para pakar ini hanya perlu dibangun terowongan sepanjang 1,8 kilometer dan sisa jalan plus jembatan sepanjang 1,2 meter. Perjalanan yang semula satu jam, berubah menjadi 1,8 menit. Fantastis….

Sayangnya Abu Doto tak terpilih dalam pemilihan berikutnya. Rencana itu lalu tenggelam bersama pergantian kekuasaan. 

Kini 10 tahun kemudian, wacana itu dihidupkan lagi pada masa Gubernur Muzakkir Manaf, sebagai simbol proyek prestisius yang diharap menjadi terowongan penghubung dua wilayah pesisir Aceh.

📚 Artikel Terkait

Mengupas Kurikulum SMK 2025: Makin Banyak dan Padat

Gratis kata MK (apakah) Titik atau Koma?

Tiga Jurnal UNISAI Terakreditasi Sinta

🚩SELAMAT PAGI MERAH PUTIH

Namun rakyat Aceh menyambutnya dengan skeptis sebagai janji yang tak akan pernah jadi kenyataan. Bukan karena rakyat tak menginginkan kemajuan, melainkan karena terlalu sering mereka mendengar janji serupa tanpa hasil. Gunung Geureutee seakan menjadi saksi abadi dari impian yang tak pernah menembus kenyataan.

Antara Tekad dan Retorika

Jika dibandingkan dengan kisah Nyi Eroh, kontrasnya mencolok. Di Tasikmalaya, seorang perempuan miskin membelah bukit dengan tangan dan keyakinan. Di Aceh, pemerintah dengan seluruh kekuasaan, anggaran, dan teknologi modern, sudah bertahun-tahun hanya mampu membelah kata-kata di media sosial.

Nyi Eroh tak menunggu izin, tak menggelar seminar, tak menandatangani MoU, tak membentuk tim kajian lintas sektor. Ia melihat masalah nyata dan menanganinya dengan tindakan nyata. Sedangkan kita hari ini hidup di zaman di mana segalanya dimulai dengan konferensi pers dan diakhiri dengan berita di portal daring, tanpa setetes pun hasil di lapangan.

Semangat Nyi Eroh adalah semangat keikhlasan dan tanggung jawab langsung terhadap alam dan masyarakat. Ia tidak bekerja untuk proyek, tetapi untuk kehidupan. Pemerintah Aceh, dengan segala sumber daya dan mandat rakyat, justru sering terjebak dalam logika sebaliknya.

Berapa dana yang dibutuhkan Nyi Eroh dan orang sedesanya untuk membangun jalur air itu? Tak ada rekam budget maupun audit. Tapi pastilah uang untuk sekedar makan dan mungkin kopi atau teh panas, plus singkong rebus panganan rakyat bergotong royong itu tak sampai 100 juta rupiah. Berapa dana yang akan dibutuhkan untuk menembus Geureutee? 

Nova Iriansyah, mantan anggota DPR RI sekaligus mantan Gubernur Aceh pernah menyebut angka 3-4 Trilyun rupiah. 

Berapa panjang saluran air Nyi Eroh? 5 kilometer. Berapa panjang terowongan yang harus dibangun menembus Geureutee? Hanya 1,8 kilometer sahaja…

Wow? Ya…Wow…

Sangat wow malah…

Gunung yang Tak Pernah Tertembus

Gunung Geureutee memang indah dan megah, menjadi gerbang alami antara pantai barat dan Aceh Besar. Tapi gunung itu juga menjadi simbol dari sesuatu yang lebih dalam: ketidakkonsistenan visi pembangunan. Dari satu periode ke periode berikutnya, rencana berubah, nama proyek berganti, pejabat datang dan pergi. Yang bertahan hanyalah janji.

Padahal, jika semangat Nyi Eroh benar-benar dihidupkan dalam kepemimpinan publik, Gunung Geureutee sudah lama bisa ditembus, bukan hanya oleh alat berat, tetapi oleh kemauan politik dan moral yang kuat. Nyi Eroh membelah bukit dengan iman, sementara banyak pejabat hari ini terjebak pada pembenaran administratif yang justru memperlambat kerja.

Dari Nyi Eroh untuk Aceh

Esensi perjuangan Nyi Eroh adalah moral kerja keras yang berpihak pada rakyat dan lingkungan. Ia mengajarkan bahwa teknologi tak ada gunanya tanpa kejujuran, dan anggaran besar tak berarti apa-apa tanpa ketulusan. Ia bekerja bukan karena diperintah, tapi karena cinta pada tanahnya.

Aceh membutuhkan semangat yang sama: keberanian untuk memulai dari tindakan kecil, nyata, dan berkesinambungan. Terowongan Geureutee seharusnya bukan sekadar proyek kebanggaan, tetapi wujud konektivitas yang membawa manfaat ekonomi bagi rakyat pesisir. Namun semua itu baru berarti jika pemerintah benar-benar bekerja dengan semangat seperti Nyi Eroh, bukan untuk dikenang, tapi untuk menyejahterakan.

Karena sejatinya, membangun Aceh bukan soal menembus gunung, melainkan menembus kebuntuan niat dan kesungguhan. Dan di titik itulah, seorang perempuan tua dari Tasikmalaya telah lama memberi kita teladan yang tak lekang oleh waktu.

*** Bionarasi ***

Afridal Darmi, SH, LLM. Seorang advokat profesional dan penulis amatir. Mantan Direktur LBH Banda Aceh dan Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Pernah menjejakkan kaki di berbagai sudut Bumi di negeri-negeri yang jauh di empat benua dalam menjalankan misinya sebagai Human Right Defender. Tapi selalu mendapati dirinya merindu Aceh, tempat perahu hatinya tertambat dan membuang sauh, tempat ketiga anak dan istrinya bermukim. Menyukai kopi dan bacaan. Segelas seduhan kopi Aceh dan sebuah buku, serta pojok yang tenang untuk membaca, hanya itu yang diperlukan untuk membuatnya bahagia. Afridal berkediaman di Aceh Besar. Alamat email: afridaldarmi@gmail.com)

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

The Never- Ending Shuffle: Indonesia’s Education Curriculum Can’t Catch a Break
The Never- Ending Shuffle: Indonesia’s Education Curriculum Can’t Catch a Break
26 Oct 2025 • 104x dibaca (7 hari)
Garis Waktu yang Hilang
Garis Waktu yang Hilang
2 Oct 2025 • 59x dibaca (7 hari)
Spirit Nyi Eroh dan Terowongan Geureutee
Spirit Nyi Eroh dan Terowongan Geureutee
24 Oct 2025 • 51x dibaca (7 hari)
The Hidden Crisis: Sexual Violence in Pesantren Is Three Times Higher Than in Regular Schools
The Hidden Crisis: Sexual Violence in Pesantren Is Three Times Higher Than in Regular Schools
21 Oct 2025 • 50x dibaca (7 hari)
Sarana dan Prasarana Sekolah; Fondasi Utama Pendidikan Berkualitas
Sarana dan Prasarana Sekolah; Fondasi Utama Pendidikan Berkualitas
20 Oct 2025 • 41x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share5SendShareScanShare
Afridal Darmi

Afridal Darmi

Afridal Darmi, SH, LLM. Seorang advokat profesional dan penulis amatir. Pernah menjejakkan kaki di berbagai sudut Bumi di negeri-negeri yang jauh di empat benua dalam menjalankan misinya sebagai Human Right Defender. Tapi selalu mendapati dirinya merindu Aceh, tempat perahu hatinya tertambat dan membuang sauh, tempat ketiga anak dan istrinya bermukim. Menyukai kopi dan bacaan. Segelas seduhan kopi Aceh dan sebuah buku, serta pojok yang tenang untuk membaca, hanya itu yang diperlukan untuk membuatnya bahagia. Afridal Darmi berkediaman di Aceh Besar. Alamat email: afridaldarmi@gmail.com

Related Postingan

TRANSFORMASI DAN PRASANGKA BAIK
Artikel

TRANSFORMASI DAN PRASANGKA BAIK

Oleh Redaksi
2023/01/05
0
52

Oleh Zulkifli Abdy Kita kerap melihat tahun baru dengan perspektif atau kacamata yang berbeda. Mungkin satu hal yang patut kita...

Baca SelengkapnyaDetails

Jangan Meributkan Masalah Kecil

Hidup Tak Perlu Heboh

Postingan Selanjutnya

Dari Istana ke Sel: Ironi Kekuasaan dan Pelajaran dari Sarkozy

Menulis Resensi; Mengasah Literasi Santri Sejak Dini

The Never- Ending Shuffle: Indonesia’s Education Curriculum Can’t Catch a Break

Relasi Kuasa di Balik Kisah Cinta Publik Figur

Wanita Pujaan

Silahkan Komentar

POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00