Dengarkan Artikel
Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya
Banjir 10 September telah usai. Air sudah surut, lumpur sudah mulai mengering, warga perlahan menata kembali hidup yang sempat terhempas arus.
Namun, satu banjir tak kunjung reda: banjir di media sosial. Banjir kata-kata, banjir tuduhan, banjir fitnah. Banjir yang tak membasahi tubuh, tetapi menyesakkan dada.
Di layar yang kita genggam, isu digoreng, diaduk, dipanaskan lagi, lalu dilempar ke meja publik. Isu digoreng tak kan menjadikannya susu (bermanfaat).
Seolah-olah tragedi adalah bumbu, dan penderitaan adalah lauk yang nikmat disantap.
Inilah dunia paradoks kita: ketika air sudah surut di jalan, justru makin meluap di linimasa.
Senior saya, guru kreatif saya, dr. Bagus Dharmayasa, melukiskan sindiran dengan tangan jeniusnya: dua telur mata sapi, bulat, menghadap ke langit.
Ia menuliskan narasi sederhana namun mengiris: “Taluh goreng ada hasil.” Telur yang digoreng—selalu ada hasilnya. Ungkapan sarkastis bagi mereka yang gemar berteriak, namun tak pernah berbuat.
Mengkritik tanpa solusi ibarat menggambar telur di atas kanvas: indah dipandang, tapi tak bisa dimakan.
Taluh gambar luwung tepuk—bagus di mata, tapi hampa di perut.
Begitulah banjir medsos bekerja: menyalahkan yang tak salah, mencari kambing hitam dari sekadar bayangan.
Sekda Bali, Dewa Indra, misalnya, dibidik seolah-olah bersalah hanya karena gaya bicaranya keras, tegas, lugas. Padahal dia bicara sebagai bapak di rumahnya sendiri. Apa pasal yang ia langgar? UU mana yang ia tabrak?
Kita lupa, Ahok dengan gaya khasnya, atau Rocky Gerung dengan kata “dungu”-nya, enteng melontarkan kata “bangsat”—semua itu dianggap warna, bukan dosa.
Maka jika kata-kata keras tidak menabrak hukum, bukankah salah besar menjadikannya kambing hitam? Bukankah itu sekadar menggoreng telur, seperti sindiran Pak dokter Bagus?
Mengkritik tanpa memberi jalan keluar bukanlah pendidikan, tapi provokasi. Ia bisa menjelma fitnah, lalu berubah menjadi racun yang membusukkan karakter seseorang.
Dalam politik, itu sejatinya haram: politik semestinya menumbuhkan simpati, bukan antipati. Sebab ketika antipati yang tumbuh, maka karier politik hanyalah jalan singkat menuju kematian.
Kritik sejati adalah yang menyalakan obor solusi, bukan yang menggali lubang kubur bagi lawan.
Masyarakat Bali hari ini tidak butuh adu kata. Yang mereka butuhkan adalah uluran tangan. Mereka kehilangan mobil, motor, barang-barang rumah tangga; kasur mereka belum kering, tidurnya belum nyenyak, setiap rintik hujan menghadirkan trauma baru.
Kini penderitaan itu ditambah lagi dengan banjir medsos: fitnah, tuduhan, sindiran. Siapa yang tak muak?
Maka, apa yang diperlukan adalah tindakan konkret: mengolah sampah, bukan membuangnya sembarangan. Menahan alih fungsi lahan, bukan memperdagangkannya. Menormalisasi sungai agar air punya jalan pulang. Kita perlu gotong royong dalam segala bentuknya.
Dan yang terpenting, membangun manajemen air yang kokoh, agar banjir tak lagi menjadi rutinitas musiman. BWS dan PUPR tak boleh saling lempar tanggung jawab.
Rakyat sudah cukup letih berenang dalam genangan; jangan biarkan mereka juga tenggelam dalam arus kebijakan yang mandek.
Paradoks ini nyata: banjir bisa kita atasi dengan infrastruktur, tapi banjir kata-kata hanya bisa kita hentikan dengan kesadaran.
Maka, mari goreng telur saja jika ingin merasa berhasil—setidaknya ada hasil yang bisa dimakan, bukan sekadar luka yang diwariskan.
Denpasar, 22 September 2025
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




