Dengarkan Artikel
Oleh: Dayan Abdurrahman –
Awal Sebuah Pilihan Besar
Sejarah bangsa selalu ditandai oleh titik-titik keputusan besar. Bagi Aceh, salah satu titik paling menentukan adalah keputusan bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan. Langkah itu diambil ketika dunia masih bergetar oleh Perang Dunia II dan Nusantara baru saja mengumandangkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Saat itu, ancaman kolonial Belanda yang ingin kembali bercokol begitu nyata. Dalam kondisi demikian, para pemimpin Aceh melihat persatuan sebagai senjata strategis, dan Republik Indonesia yang baru lahir sebagai payung bersama.
Aceh tidak datang ke meja sejarah dengan tangan kosong. Kesultanan Aceh sebelumnya adalah entitas politik yang berdaulat, memiliki pengaruh internasional, dan membangun hubungan diplomatik dengan berbagai kerajaan Islam. Ekonominya kuat dari hasil bumi, perikanan, dan jalur perdagangan strategis di Selat Malaka. Militernya tangguh, rakyatnya terlatih bertempur, dan modal ideologisnya tertanam dalam nilai-nilai Islam yang menjadi identitas kolektif. Semua modal itu membuat Aceh sebenarnya mampu berdiri sendiri. Namun, realitas geopolitik saat itu memaksa pertimbangan ulang.
Niat Baik dan Solidaritas Kebangsaan
Keputusan bergabung dengan Indonesia tidak lahir dari paksaan langsung, tetapi dari keyakinan bahwa kemerdekaan sejati memerlukan kebersamaan. Para tokoh Aceh melihat republik sebagai wadah persatuan seluruh wilayah yang ingin bebas dari penjajahan. Solidaritas ini juga bersifat ideologis—perlawanan terhadap kolonialisme dianggap sebagai jihad fi sabilillah, di mana persatuan seluruh umat menjadi kunci kemenangan.
Janji yang ditawarkan pusat waktu itu terasa meyakinkan. Aceh akan tetap memiliki otonomi luas, berhak mengatur diri sesuai syariat Islam, dan mempertahankan adat istiadat yang sudah berurat-berakar. Banyak tokoh percaya bahwa setelah kemerdekaan benar-benar kokoh, Aceh akan menjadi daerah istimewa yang dihormati, bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara moral dan politik.
Retaknya Janji dan Awal Kekecewaan
Sejarah mencatat bahwa harapan itu mulai memudar seiring waktu. Janji otonomi yang begitu kuat di awal nyaris tenggelam dalam arus sentralisasi kebijakan. Pemerintah pusat cenderung mengatur dari Jakarta tanpa mempertimbangkan perbedaan kultural dan historis Aceh. Bahkan, dalam beberapa kebijakan, pusat seolah memandang Aceh hanya sebagai salah satu provinsi biasa, tanpa memori kontribusi besar yang pernah diberikan.
Retaknya janji itu memunculkan rasa kecewa yang mendalam. Kepemimpinan lokal yang sebelumnya vokal di tingkat nasional mulai melemah. Figur-figur berkarisma digantikan oleh pejabat yang lebih patuh pada instruksi pusat ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh. Kesenjangan komunikasi semakin melebar, dan perasaan dipinggirkan semakin kuat.
Benturan Identitas
Bagi Aceh, Islam bukan sekadar agama, melainkan fondasi seluruh sistem sosial, politik, dan hukum. Tradisi adat bak po teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala telah menjadi panduan selama ratusan tahun—adat mengacu pada kebijaksanaan pemimpin adat, hukum mengacu pada syariat Islam. Ketika kebijakan nasional tidak selaras dengan kerangka ini, benturan identitas pun tak terelakkan.
Masalahnya bukan hanya pada perbedaan nilai, tetapi pada persepsi penghormatan. Masyarakat Aceh merasa pusat kurang memahami bahwa marwah Aceh adalah marwah Islam. Mengubah, mengabaikan, atau melemahkan nilai ini dianggap sama dengan mengikis jati diri Aceh. Dari sinilah muncul resistensi yang perlahan berubah menjadi perlawanan terbuka di era berikutnya.
Pelajaran dari Kepemimpinan
Sejarah ini juga mengajarkan bahwa kepemimpinan harus memiliki pandangan jauh ke depan. Para pemimpin Aceh masa itu tulus dalam niat, tetapi mungkin kurang menyiapkan strategi untuk memastikan bahwa janji-janji awal terikat secara hukum dan politik. Mereka mengira bahwa komitmen moral dan ikatan sejarah akan cukup untuk menjaga keistimewaan Aceh dalam republik.
Namun, politik modern jarang bekerja hanya dengan moral. Tanpa perjanjian yang mengikat kuat, janji dapat tergeser oleh kepentingan baru. Di sinilah letak pelajaran penting: keputusan besar harus disertai mekanisme pengaman, agar tidak mudah dilupakan atau diingkari oleh generasi berikutnya.
Refleksi atas Pahit dan Syukur
Menggali pahitnya sejarah bukan berarti meratapi atau menyesali pilihan masa lalu. Justru, di sinilah ruang untuk bersyukur. Tanpa keputusan bergabung, mungkin Aceh akan menghadapi isolasi internasional, atau bahkan menjadi medan perebutan kekuatan asing. Dengan menjadi bagian dari republik, Aceh punya panggung nasional untuk menyuarakan aspirasinya, meski sering diabaikan.
Syukur ini harus diiringi kesadaran. Kita tidak bisa mengulang pola lama: menaruh harapan besar tanpa membangun kekuatan untuk memastikan harapan itu terwujud. Generasi sekarang harus belajar menggabungkan idealisme dengan strategi, agar cita-cita rakyat tidak lagi kandas di tengah jalan.
Belajar dari Bangsa Lain
Banyak bangsa pernah mengalami pahitnya penaklukan dan kehilangan kedaulatan, tetapi mampu bangkit karena kepemimpinan visioner. Jepang, yang hancur lebur setelah Perang Dunia II, bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia dalam hitungan dekade berkat kepemimpinan yang memegang teguh visi nasional. Singapura, yang awalnya terpaksa berpisah dari Malaysia, menjadikan keterpaksaan itu sebagai peluang emas untuk membangun negara kecil dengan reputasi global.
Pelajaran dari mereka jelas: kepemimpinan yang solid, visi yang konsisten, dan dedikasi tanpa kompromi pada prinsip adalah kunci. Aceh bisa belajar dari model ini, menyesuaikannya dengan nilai Islam dan kearifan lokal, untuk memastikan sejarah tidak hanya menjadi arsip, tetapi menjadi panduan pembangunan masa depan.
Jangan Terulang
Sejarah adalah guru yang keras. Ia akan mengulang pelajaran sampai kita benar-benar memahaminya. Aceh harus memastikan bahwa keputusan-keputusan besar di masa depan tidak diambil hanya karena dorongan emosi atau desakan situasi, tetapi melalui pertimbangan matang yang mengikat secara hukum, politik, dan moral.
Generasi Aceh hari ini memikul tugas untuk memperbaiki warisan yang ada: menghidupkan kembali marwah, memelihara identitas, dan memperkuat posisi tawar di panggung nasional dan internasional. Ini bukan sekadar soal politik, tetapi soal keberlanjutan peradaban.
Penutup: Menggugah Kesadaran Kolektif
Kisah bergabungnya Aceh ke Republik Indonesia adalah kisah tentang niat baik, harapan besar, dan pelajaran pahit. Ia mengajarkan kita untuk bersyukur atas langkah yang diambil, sekaligus waspada agar tidak terjebak dalam pola yang sama. Masa lalu adalah cermin—kita bisa memilih untuk hanya melihat luka, atau menjadikannya peta menuju masa depan yang lebih bermartabat.
Jika generasi ini mampu membaca pesan sejarah dengan benar, menjaga persatuan sambil mempertahankan identitas, dan memimpin dengan visi yang melampaui masa jabatan, maka pahitnya masa lalu akan menjadi energi kebangkitan. Dan ketika itu terjadi, Aceh tidak hanya akan dikenal sebagai bagian dari republik, tetapi sebagai jiwa yang menghidupkan republik itu dengan kekuatan, kearifan, dan marwahnya yang abadi.