Dengarkan Artikel
Oleh : Awalin Ridha, S.Pd
Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah, daerah yang memegang teguh nilai agama dan kehormatan. Namun, di balik citra religius itu, angka kekerasan seksual justru menunjukkan kenyataan yang mencemaskan. Data DPPPA Aceh mencatat bahwa sepanjang 2024 terjadi 1.227 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, naik dari 1.098 kasus pada 2023 (sumber: The Aceh Post). Dari jumlah itu, 571 perempuan menjadi korban kekerasan dan 656 anak mengalami pelecehan maupun kekerasan seksual. Bahkan Kapolda Aceh menyebut kasus kekerasan perempuan dan anak meningkat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, dari 277 menjadi 572 kasus (sumber: Detik, 2024).
Di balik angka tersebut, tersimpan kisah memilukan. Di Aceh Utara, seorang anak perempuan dilecehkan oleh tetangganya saat tinggal bersama neneknya. Di Aceh Timur, seorang ayah ditangkap karena memperkosa putri kandungnya yang masih berusia 14 tahun setelah sang ibu curiga melihat interaksi tak wajar antara ayah dan anak di kamar. Korban menangis dan menceritakan telah dicabuli sejak duduk di bangku kelas V SD. Sementara di Lhokseumawe, seorang oknum ustadz yang dipercaya sebagai pembimbing spiritual ditangkap karena mencabuli santriwatinya yang masih berusia 16 tahun dengan iming-iming janji menikah. Kisah-kisah ini hanya segelintir kasus di antara ratusan kasus, yang menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual sering kali adalah orang-orang terdekat yang seharusnya memberikan perlindungan, namun justru menjadi sumber luka yang paling dalam.
Angka dan kasus ini bukan sekadar data atau berita kriminal. Ini adalah cerita tentang perempuan dan anak yang kehilangan rasa aman di tanahnya sendiri. Banyak korban dipaksa memendam trauma karena stigma sosial yang masih begitu kuat. Bahkan ada yang takut melapor karena khawatir dianggap membawa “aib keluarga” atau bahkan dipersalahkan atas musibah yang menimpa diri mereka.
Bayangkan sejenak jika itu terjadi pada keluarga kita sendiri. Bayangkan seorang anak, keponakan, atau adik perempuan yang kita cintai mengalami kekerasan seksual oleh orang yang paling ia percayai. Bayangkan luka batin yang tak kunjung sembuh, tatapan kosong di mata mereka setiap kali teringat kejadian itu, dan rasa bersalah yang tak seharusnya mereka tanggung. Jika rasa sakit itu tak sanggup kita bayangkan, bagaimana mungkin kita membiarkannya terjadi pada orang lain?
Dampak sosial jangka panjang dari kekerasan seksual ini jauh melampaui luka fisik atau psikologis korban. Generasi muda tumbuh dalam ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap lingkungan terdekatnya. Trauma yang tidak tertangani dapat menghambat pendidikan, merusak kesehatan mental, dan menurunkan produktivitas sosial-ekonomi. Lebih jauh lagi, masyarakat berisiko terperangkap dalam siklus kekerasan yang berulang: korban yang tidak dipulihkan berpotensi melahirkan generasi baru yang mewarisi luka dan ketidakadilan.
Di tengah penerapan syariat yang menjadi kebanggaan Aceh, kita harus berani mengakui kenyataan pahit ini. Syariat Islam sejatinya hadir untuk melindungi kehormatan manusia, bukan untuk menutupi kejahatan. Mengakui adanya masalah tidak berarti merendahkan Aceh, justru itu adalah bentuk cinta terhadap negeri ini agar perempuan dan anak-anaknya benar-benar terlindungi. Sejarah Aceh menunjukkan perempuan pernah menjadi pilar peradaban: Laksamana Malahayati memimpin armada laut melawan Portugis, Sultanah Safiatuddin Syah memimpin Aceh selama 34 tahun dengan bijaksana, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan. Perempuan Aceh bukan hanya simbol moral, tetapi juga kekuatan bangsa. Jika mereka dilukai, yang runtuh bukan hanya tubuh mereka, tetapi martabat negeri ini.
Keprihatinan ini harus diwujudkan dalam langkah yang serius dengan membangun budaya yang mendukung korban untuk berani bersuara, memperkuat layanan pendampingan, dan memastikan hukum berpihak kepada mereka. Edukasi batasan interaksi lawan jenis harus dimulai sejak dini agar anak-anak memahami hak atas tubuhnya. Pendidikan parenting bagi orangtua perlu digalakkan agar mereka mampu mengenali tanda-tanda kekerasan dan mendampingi anak secara penuh. Sosialisasi pusat pengaduan kekerasan seksual dan keberadaan rumah aman bagi korban harus dipastikan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, agar korban tahu mereka tidak sendirian dan ada tempat berlindung.
Namun, persoalan terbesar hari ini bukan sekadar banyaknya kasus, melainkan lemahnya payung hukum yang benar-benar melindungi korban. Aceh memang memiliki Qanun Jinayat sebagai wujud penerapan syariat Islam. Sayangnya, qanun ini lebih fokus pada bentuk hukuman fisik seperti cambuk, sementara kebutuhan korban untuk mendapatkan pemulihan psikologis, perlindungan dari stigma sosial, hingga jaminan pendidikan dan masa depan justru kurang terakomodasi. Banyak kasus akhirnya dialihkan ke UU Perlindungan Anak karena vonisnya dianggap lebih berat, padahal seharusnya Qanun Jinayat bisa tampil sebagai instrumen hukum yang paling berpihak kepada korban.
Sudah saatnya qanun ini dievaluasi dan diperkuat. Hukuman cambuk di depan umum tidak cukup menandingi derita panjang korban, bahkan sering dipandang sebagai “pertunjukan” yang hanya memalukan pelaku tanpa memberi keadilan substantif. Aceh membutuhkan aturan yang lebih tegas: hukuman berat bagi pelaku, termasuk kurungan panjang dan denda signifikan, disertai mekanisme perlindungan menyeluruh bagi korban. Pemerintah Aceh dan ulama mesti bergandengan tangan menyusun langkah konkret agar syariat benar-benar menghadirkan rahmat, bukan sekadar simbol.
Yang tak kalah penting, hukuman bagi pelaku harus keras, tegas, dan tidak pandang bulu. Siapapun pelakunya, apa pun status dan profesinya. Penegakan hukum yang adil akan memberi efek jera sekaligus memulihkan kepercayaan publik bahwa negara benar-benar berdiri di sisi korban, bukan pelaku. Karena keadilan sejati bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga memastikan korban bisa bangkit kembali dengan martabat yang utuh.
Karena baik dan rusaknya bangsa bergantung pada martabat perempuan. Kekerasan seksual adalah luka kemanusiaan yang tak boleh dibiarkan berdarah dalam diam.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
 
                         
                         
                         
                         
                         
                                 
			 
			 
                                 
					
 
                                




