Dengarkan Artikel
Oleh Cut Dara Meutia
Hari itu, 10 Agustus 2025, Sanggar Seni Cut Meutia, sebuah rumah kecil yang saya asuh dengan tangan penuh cinta, tangan seorang guru, juga semangat seorang pegiat seni dan budaya mengundang anak-anak SD/MI dari seluruh penjuru Pidie Jaya.
Ada yang datang dari gampong-gampong sepi di pinggir laut, ada yang hadir dari pusat kota, bahkan ada yang menempuh perjalanan jauh dari kabupaten Sigli dan Bireuen. Mereka semua berkumpul untuk sebuah kisah, yang memberi warna pada budaya dari tanah kelahiran mereka sendiri.
Mereka hadir mengikuti lomba mewarnai bagi anak yang mengusung tema “ Kebudayaan Pidie Jaya”. Sederhana, namun dalam. Kami ingin anak-anak mengenal rumah adat, tarian tradisional, pakaian khas, permainan rakyat. Tujuannya bukan hanya sebagai gambar di atas kertas, tapi sebagai denyut yang akan mereka bawa sampai dewasa. Karena budaya, seperti akar, harus tertanam sejak awal.
Lomba ini kami bagi menjadi dua sesi waktu: pukul 10.00–12.00 untuk kategori A (kelas 1–3), dan pukul 14.00–16.00 untuk kategori B (kelas 4–6). Sebanyak 170 peserta duduk di lantai dan meja-meja kecil, memberi warna seolah memberi napas pada sejarah yang telah lama ditinggalkan.
Hari itu Bunda PAUD Pidie Jaya, Ny. Hj. Asmawati Syibral, hadir membuka acara, membawa senyum dan semangat. Dukungan pun hadir dari Bupati Pidie Jaya, H. Syibral Malasyi, MA., S.Sos., ME, yang membuat langkah kami terasa lebih yakin.
Beliau datang di sore hari, menyempatkan hadir disela kesibukannya yang padat demi memberikan apresiasi dan menyerahkan piala dan hadiah kepada para pemenang, ia berpesan agar kami tetap konsisten menggelar event seni dan budaya yang bersifat edukatif seperti ini. Beliau bangga, melihat semua usaha dan kerja keras tim demi mewujudkan terselenggaranya kegiatan positif ini.
Namun bagi saya, pemenang hari itu sebenarnya adalah semua anak yang pulang sore itu dengan hati yang lebih kaya dan gembira. Karena lomba ini bukan hanya sekadar tentang siapa yang terbaik, tapi tentang siapa yang bisa melihat bahwa ukiran rumah tradisional, permainan anak, alat musik tradisinal dan merah kain tradisional khas Aceh yang sebenarnya adalah bagian dari jati diri mereka.
Bagi kami budaya tidak akan hidup jika hanya disimpan di rak museum atau di halaman buku. Ia hidup di tangan anak-anak yang mewarnainya, di mata mereka yang menyinarinya, dan di hati mereka yang menjaganya.
Nah selama masih ada tawa kecil anak-anak di ruang-ruang seperti ini, saya percaya akar Pidie Jaya akan terus kokoh, dan tak pernah tumbang dimakan zaman. Ia akan terus menumbuhkan tunas-tunas baru yang sadar dan mencintai serta menjaga kelestarian sejarahnya nenek moyangnya .
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






