Dengarkan Artikel
Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, terutama di wilayah inti Aceh Besar (dikenal juga sebagai Aceh Rayeuk), sistem pembagian wilayah utama yang terkenal adalah tiga sagi (Lhee Sagoë). Setiap sagi ini terdiri dari sejumlah mukim. Berikut adalah tiga sagi utama tersebut dan perkiraan jumlah mukim di dalamnya.
Sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam sangat terstruktur, dengan mukim sebagai unit dasar pemerintahan adat dan keagamaan, yang kemudian dikelompokkan ke dalam sagi yang lebih besar, terutama di wilayah Aceh Besar. Sistem ini memastikan adanya otonomi lokal yang kuat sambil tetap berada di bawah kekuasaan Sultan.
Penting untuk memahami bahwa “Aceh” pada masa Kerajaan Aceh Darussalam adalah entitas yang jauh lebih luas daripada provinsi Aceh modern. Wilayah kekuasaannya membentang dari sebagian besar Pulau Sumatra hingga Semenanjung Melayu.
Oleh karena itu, jumlah pasti dan daftar lengkap semua mukim di seluruh wilayah tersebut sangat kompleks dan mungkin tidak tercatat secara detail dalam satu sumber tunggal, apalagi sebelum dicaplok Belanda.
Namun, kita bisa fokus pada sistem Sagi dan Mukim yang paling dikenal dan terstruktur, yaitu yang berada di wilayah inti Kerajaan Aceh Darussalam, yakni Aceh Besar (dikenal sebagai Aceh Rayeuk atau Aceh Lhee Sagoe).
Tiga Sagi Utama di Aceh Besar (Lhee Sagoë)
Wilayah Aceh Besar dibagi menjadi tiga federasi mukim yang dikenal sebagai Lhee Sagoë (Tiga Sagi). Masing-masing sagi ini memiliki pemimpinnya sendiri yang bergelar Panglima Sagoe dan juga memiliki peran penting dalam struktur kenegaraan.
- Sagi XXII Mukim:
Terdiri dari 22 mukim pada awalnya.
Kepala Sagi bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi, yang juga menjabat sebagai Wazirud Daulah (Menteri Negara).
Wilayahnya meliputi bagian timur hingga selatan Aceh Besar, termasuk daerah sekitar Montasik, Indrapuri, Seulimuem, Lembah Seulawah, hingga Padang Tiji di Kabupaten Pidie.
Pusatnya berada di sekitar Masjid Indrapuri. - Sagi XXV Mukim:
Terdiri dari 25 mukim.
Kepala Sagi bergelar Sri Seutia Ulama Kadli Malikul ‘Alam, yang juga diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Wilayahnya mencakup Peukan Bada, Meuraxa, Lhoknga, hingga Lhong.
Pusatnya berada di sekitar Masjid Indrapurwa Pancu (kini sering disebut Pancu). - Sagi XXVI Mukim:
Terdiri dari 26 mukim.
Kepala Sagi bergelar Sri Imueum Muda Panglima Wazirul Uzza, yang juga menjabat sebagai Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Wilayahnya meliputi kawasan Ulee Kareng, Lam Ateuk, Darussalam, Tungkop, hingga Ladong.
Pusatnya berada di sekitar Masjid Ladong.
Total, di Aceh Besar saja terdapat sekitar 73 mukim yang tergabung dalam tiga sagi utama ini (22 + 25 + 26 mukim).
Mukim di Luar Tiga Sagi
Penting untuk diingat bahwa sistem mukim tidak terbatas hanya pada tiga sagi di Aceh Besar. Di luar wilayah Aceh Besar, Kerajaan Aceh Darussalam memiliki banyak mukim lain yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang luasnya mencakup sebagian besar Sumatera dan Semenanjung Melayu. Jumlah pasti mukim di seluruh Kerajaan Aceh Darussalam sulit ditentukan secara akurat karena data sejarah yang mungkin tidak lengkap dan wilayah kekuasaan yang dinamis.
Namun, mukim adalah unit pemerintahan adat dan keagamaan yang fundamental di seluruh Aceh, dan keberadaannya jauh lebih banyak daripada hanya 73 mukim di Aceh Besar. Setelah masa kolonial dan perubahan administratif, jumlah mukim sempat bertambah signifikan di beberapa daerah di luar Aceh Besar dan Pidie.
Secara keseluruhan, Kerajaan Aceh Darussalam adalah sebuah entitas politik yang kompleks dengan sistem pembagian wilayah yang unik, mencerminkan perpaduan antara struktur adat, keagamaan, dan militer yang kuat.
Penting untuk memahami bahwa “Aceh” pada masa Kerajaan Aceh Darussalam adalah entitas yang jauh lebih luas daripada provinsi Aceh modern. Wilayah kekuasaannya membentang dari sebagian besar Pulau Sumatra hingga Semenanjung Melayu. Oleh karena itu, jumlah pasti dan daftar lengkap semua mukim di seluruh wilayah tersebut sangat kompleks dan mungkin tidak tercatat secara detail dalam satu sumber tunggal, apalagi sebelum dicaplok Belanda.
Di luar tiga sagi utama di Aceh Besar, wilayah Kerajaan Aceh Darussalam yang luas juga memiliki banyak mukim yang tersebar di berbagai daerah taklukkan atau wilayah pengaruhnya. Mukim-mukim ini mungkin tidak tergabung dalam sistem “sagi” yang terpusat seperti di Aceh Besar, tetapi mereka tetap merupakan unit administratif dan keagamaan dasar.
Pesisir Timur Sumatra: Mukim-mukim akan ada di sepanjang pesisir timur yang merupakan jalur perdagangan penting bagi Aceh (misalnya di Langkat, Deli, hingga ke Tamiang).
Pesisir Barat Sumatra: Mukim-mukim juga tersebar di sepanjang pesisir barat (misalnya di Meulaboh, Tapaktuan, hingga ke Barus atau Pariaman yang pernah berada di bawah pengaruh Aceh).
Semenanjung Malaya: Di wilayah-wilayah yang dikuasai atau berada di bawah pengaruh Aceh di Semenanjung Malaya (seperti Perak, Kedah, Johor), sistem mukim juga kemungkinan besar diterapkan atau setidaknya ada unit-unit serupa yang berfungsi sebagai pusat keagamaan dan pemerintahan lokal.
Daftar spesifik nama setiap mukim di seluruh Kerajaan Aceh Darussalam sangat sulit ditemukan karena Wilayah kekuasaan Aceh yang sangat luas dan dinamis, seringkali berfluktuasi. Mukim memiliki otonomi yang cukup besar, sehingga tidak semua mukim dicatat secara rinci dalam arsip pusat kerajaan. Banyak catatan sejarah yang mungkin hilang atau belum ditemukan, terutama yang merinci struktur pemerintahan lokal di seluruh wilayah kerajaan.
Namun, yang jelas adalah bahwa sistem mukim merupakan tulang punggung pemerintahan adat dan keagamaan di seluruh wilayah Aceh sebelum kedatangan Belanda, dan tiga sagi di Aceh Besar adalah representasi paling terorganisir dari sistem tersebut.