Dengarkan Artikel
Oleh: Hanif Arsyad
Ketika Suara Mengaji Redup, Siapa yang Harus Menyambungnya?
Senja di banyak kampung di Aceh tak lagi dihiasi suara anak-anak mengaji selepas Magrib. Surau menjadi sepi, rumah Tgk Gampong tak seramai dulu. Bukan karena masyarakat menjauh dari agama, tetapi karena pola pendidikan keagamaan kini lebih terpusat pada sekolah.
Program Diniyah Formal (PDF) yang dirancang pemerintah menjadi pilar penting dalam memperkuat literasi agama. Namun, di balik capaian itu, kita perlu bertanya: bagaimana nasib tradisi lokal yang telah lama menjadi penopang ruh Islam di kampung-kampung?
Tulisan ini tidak hendak menyalahkan sistem, apalagi mengabaikan capaian kebijakan pendidikan Islam yang terstruktur. Justru sebaliknya—kita perlu membangun sinergi antara yang formal dan yang kultural, antara sekolah dan surau, antara kebijakan dan kearifan lokal.
Terutama, kita perlu menempatkan keluarga sebagai pusat kesadaran kolektif dalam menanamkan kecintaan anak-anak terhadap Al-Quran sejak usia dini.
Fungsi Keluarga: Sekolah Pertama, Pemersatu Ruh Agama dan Budaya
Keluarga bukan hanya unit sosial, tapi juga madrasah pertama yang membentuk karakter dan keimanan anak. Masa golden age (0–7 tahun) adalah saat terbaik untuk mengenalkan huruf hijaiyah, suara ayat, dan nilai-nilai spiritual. Namun, dalam banyak kasus, keluarga kini menyerahkan semua proses itu kepada sekolah.
Maka diperlukan pendekatan baru: menumbuhkan kembali budaya “mengaji di rumah” selepas Magrib. Gerakan ini sederhana, namun berdampak besar—orang tua mendampingi anak membaca Al-Quran di ruang tamu, menjadikannya rutinitas harian yang mengikat batin dan spiritualitas keluarga. Tgk Gampong dan Tgk Inong, dalam hal ini, bukan digantikan, tetapi menjadi pelanjut pembelajaran Quran di tingkat komunitassetelah pondasi kuat diletakkan di rumah.
PDF dan Tradisi Gampong: Bukan Dua Ranah yang Bertentangan
Pemerintah melalui Kementerian Agama telah menghadirkan Program Diniyah Formal (PDF) sebagai upaya standarisasi pendidikan agama, lengkap dengan kurikulum dan evaluasi. Ini adalah langkah maju dalam menghadirkan pendidikan Islam yang sistematis. Namun, seperti diungkap dalam sejumlah laporan lapangan, keberadaan PDF belum sepenuhnya menjangkau komunitas marjinal dan desa-desa terpencil.
Di sisi lain, TPQ dan pengajian tradisional berbasis surau dan rumah Tgk Gampong telah lama terbukti efektif—walau tanpa sertifikat dan fasilitas lengkap, mereka telah menanamkan ruh keislaman yang kuat.
Maka, alih-alih digantikan, pendidikan tradisional ini perlu diakui, dikuatkan, dan disinergikan.
Beberapa desa di Aceh Utara, Bener Meriah, dan Pidie mulai mempraktikkan model integratif: ● PDF di sekolah pada pagi atau siang hari, ● Mengaji di rumah bersama orang tua selepas Magrib, ● Penguatan hafalan dan pemahaman bersama Tgk Gampong di malam hari.
Model ini disebut sebagai pendekatan triadik: rumah–sekolah–komunitas. Inilah ekosistem pendidikan Quran yang tidak hanya mencerdaskan, tapi juga membudayakan.
Tgk Gampong dan Tgk Inong: Pilar Yang Tak Tergantikan
Selama puluhan tahun, Tgk Gampong dan Tgk Inong telah menjadi penopang literasi Al-Quran di kampung. Mereka adalah guru yang mengajar dengan cinta, bukan angka. Mereka tidak sekadar mengevaluasi hafalan, tapi juga menanamkan makna dan akhlak.
Karena itu, kebijakan pendidikan Islam masa kini perlu:
● Memberikan ruang formal bagi Tgk Gampong sebagai guru tamu di sekolah,
● Memberi pelatihan berbasis kearifan lokal, bukan mengganti dengan sertifikasi nasional semata,
● Mengalokasikan dana desa atau BOS untuk mendukung operasional TPQ yang berbasis komunitas.
Mengaji di Rumah, Melanjutkan di Surau, Dikuatkan di Sekolah, sebagai penutup tulisan ini semoga menjadi slogan bagi kita semua karena masa depan literasi Al-Qur’an tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah, apalagi dijadikan proyek administratif. Ia tumbuh dalam cinta orang tua, teladan guru lokal, dan dukungan komunitas. Menghidupkan kembali tradisi mengaji selepas Magrib, melibatkan Tgk Gampong dalam sistem pendidikan, dan menjadikan keluarga sebagai motor penggerak adalah fondasi utama.
Jika pendidikan agama hanya menjadi angka di rapor, maka kita kehilangan ruhnya. Tapi jika ia tumbuh di rumah, dirawat di surau, dan dikuatkan di sekolah—maka kita tak sekadar membentuk santri, tapi membangun peradaban.
Catatan Penulis: Tulisan ini bagian dari serial opini “Pendidikan Islam Masa Kini: Jalan Tengah antara Sistem dan Tradisi” yang mengajak masyarakat, pendidik, dan pengambil kebijakan untuk membangun jembatan antara kebijakan formal dan praktik lokal yang telah mengakar.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




