Dengarkan Artikel
Oleh : Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang, CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)
Koperasi sebagai badan hukum persona ficta, menurut UU Minerba yang belum lama ini diterbitkan dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mendapat izin kelola usaha tambang. Ini sebuah kemajuan karena selama ini koperasi tidak diberikan peluang untuk masuk ke sektor ekonomi yang selama ini banyak dimonopoli oleh swasta korporasi besar kapitalis.
Namun demikian, ada hal yang perlu dijadikan catatan, bunyi Undang Undang ini tidak imperatif, alias berpotensi hanya menjadi macan kertas seperti regulasi regulasi menyangkut ekonomi lainya. Badan hukum koperasi dimasukkan sebagai alternatif, namun tidak akan banyak juga terlibat karena di lapangan bisa saja dihambat dalam bentuk kebijakan atau hanya diperankan sebagai sub-ordinat dari model pengelolaan tambang korporatif kapitalis. Dilibatkan sebagai anak bawang, hanya dijadikan sebagai bentuk afirmasi bahwa telah berikan peluang atau kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha. Atau bahkan hanya sebagai afirmasi moral.
Kalaupun nanti dimunculkan sebagai laporan, minimnya keterlibatan koperasi akan segera distigma karena tidak memiliki kecukupan modal, tidak memiliki skill memadai dan juga tidak memiliki kompetensi. Sebuah stigma yang biasa diterima oleh koperasi di Indonesia. Masalah yang tentu sudah menjadi bagian dari rekayasa dari regulasi.
Sebetulnya, jika mencermati isi dari UU Minerba, semua orang diperbolehkan untuk mendapatkan izin usaha pengelolaan tambang. Sebab semua orang boleh dirikan perusahaan tambang. Apapun itu profesi atau status individu itu dalam pergaulan sosialnya. Mau dia pengusaha, dosen, mahasiswa, agamawan atau profesi lainya. Hanya justru lucunya secara spesifik di UU ini menunjuk institusi seperti ormas agama.
Menurut saya, justru yang terpenting adalah bagaimana tambang itu dapat dikelola dengan bijak. Oleh lembaga bisnis yang memang diakui. Baik itu sebagai badan usaha yang melekat pada diri pribadi sebagai badan hukum ( nutural lijk) atau sebagai badan hukum yang diciptakan oleh badan hukum (persona ficta).
Sebetulnya, jika kita lihat dari aspek badan usaha, maka ada dua jenis badan usaha. Badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum yang berarti melekat badan hukum pribadinya sebagai nutural lijk dari orang seorang yang mengusahakan bisnis tersebut.
Lazimnya, badan usaha yang berbadan hukum yang direkognisi di Indonesia itu hanya dua ; yaitu badan perseroan dan koperasi. Menurut UU Ciptakerja, badan usaha berbadan hukum yang terbaru ditambahkan badan hukum BUMDes.
Hanya tiga badan hukum bisnis privat yang diakui oleh negara. Sementara badan hukum lainya seperti Ormas, Perkumpulan, Yayasan, dan lain sebagainya tidak masuk dalam kategori badan hukum yang ditujukan untuk jalankan aktifitas bisnis. Walaupun dalam praktiknya mereka juga jalankan bisnis.
Sementara itu badan usaha yang melekat pada badan hukum publik pemerintah, baik itu pusat maupun daerah adalah bentuknya Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum). Hanya saja, menurut UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU Badan Usaha Milik Daerah(BUMD), muncul kewajiban untuk memilih badan hukum Perseroan ketika mereka mulai melibatkan kepemilikan di luar saham negara atau keluar dari fungsi sebagai layanan publik (public servise obligation).