https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Thursday, October 9, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda Cerpen

Sang Putri

Reza Fahlevi Oleh Reza Fahlevi
9 months ago
in Cerpen, Sastra
Reading Time: 12 mins read
A A
0
7
Bagikan
73
Melihat
🔊

Dengarkan Artikel

POTRET – Bu Friska berjalan santai menuju kelas dua empat dengan seorang anak perempuan. Anak itu mengenakan seragam putih-putih; seragam yang selalu dikenakan oleh siswa-siswi MIN pada hari Senin dan Selasa. Kepalanya juga tertutup rapi dengan helaian jilbab yang sederhana.

Begitu Bu Friska dan gadis cilik itu tiba di kelas yang sudah dipenuhi oleh murid-murid lain, sang wali kelas lantas bergumam, “Assalamu’alaikum.”

Para murid yang hadir menjawab salam Bu Guru dengan cukup antusias. “Wa’alaikumussalam…” kata mereka serentak.

“Hari ini,” lanjut Bu Friska sembari memegang bahu anak perempuan tadi, “kita ada teman baru.”

Perkataan sang wali kelas sontak membuat semua murid bersorak ria. “Yeeeeeeeyyyy…”

“Mau tahu namanya siapa?”

“Mauuu, Buuu.”

Maka, Bu Friska menoleh ke si anak perempuan dan memintanya memperkenalkan diri. Anak itu lantas dengan percaya diri menganggukkan kepalanya.

“Hai, semua… nama saya Putri Natasya. Saya biasa dipanggil Putri. Suatu hari nanti, saya ingin jadi dokter,” kata anak perempuan itu seraya mengumbar senyuman yang cukup syahdu. Salam perkenalan sang gadis cilik disambut tepuk tangan meriah oleh siswa-siswi lainnya.

***

Sebuah gempa bumi nan dahsyat baru saja mengguncang Kota Angan. Guncangan sekuat itu diperkirakan berkisar delapan skala Richter. Tapi, bisa saja angkanya lebih dari delapan karena para pakar memprediksi akan terjadinya tsunami. Meski berpotensi air laut mengamuk ke daratan, sampai beberapa menit belum ada tanda-tandanya. Walau demikian, semua orang di kota itu sudah melarikan diri ke tempat aman — mereka berjaga-jaga seandainya air laut benar-benar menerobos ke daratan.

Di pinggir jalanan yang sepi, juga di bawah pohon rindang, Putri duduk di sebuah bangku sembari membaca buku. Di depan wanita itu ada sebuah meja persegi yang di atasnya terdapat banyak jenis kue yang tertutup rapat oleh wadah berbentuk bulat. Sudah dua belas tahun berlalu sejak hari perkenalannya di MIN — juga sudah dua belas tahun lamanya sejak dia bermimpi menjadi seorang dokter. Kini, sang wanita sudah lulus dari SMA. Tapi, dia tidak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi — ia juga tidak meraih cita-citanya menjadi seorang dokter. Ia hanya berjualan kue setiap hari dari pagi hingga sore.

Sudah lebih dari lima jam Putri duduk sembari membaca buku dan menjaga dagangannya. Dari waktu selama itu, kue yang ia jual baru dibeli oleh dua orang saja. Hal itu terjadi karena jalanan tempat wanita ini berjualan sepi pengunjung. Memang, biasanya saat sore hari, banyak orang yang lewat, tapi mereka terlihat enggan berhenti untuk membeli dagangannya.

Ketika waktu Dzuhur tiba, Putri sudah bersiap-siap meninggalkan dagangannya sementara untuk menunaikan salat. Sambil membawa sebuah ember yang ukurannya tidak terlalu besar, ia berjalan menyeberangi jalanan menuju sebuah sungai — ia mengambil air, lalu kembali lagi dan mulai berwudu.

Sekitar delapan menit setelahnya, Putri pun selesai melaksanakan salat. Kebiasaannya sejak kecil tak pernah berubah; wanita ini menengadahkan kedua tangannya dan mendoakan kedua orang tuanya yang sudah tiada, juga tidak lupa berdoa agar dagangannya laku. Begitu dirinya selesai, ia pun bangkit dan menoleh ke arah dagangannya. Sang wanita sedikit terkejut saat melihat sudah ada seorang perempuan yang berdiri di situ — usianya terlihat sekitar dua puluh sembilan tahun. Lantas, Putri pun buru-buru beranjak dan melayani si pembeli.

“Silakan, Kak. Mau yang mana?” tanya Putri dengan senyumnya yang teduh.

Si pembeli lantas menunjuk beberapa kue basah — semantara itu Putri sigap mengambilnya menggunakan jepitan dan memasukkannya ke dalam plastik putih. Ketika si pembeli memberikan uang, ia mulai berbicara.

“Ngeri ya gempa di Kota Angan,” kata perempuan itu.

Sembari mengambil uang, Putri menyahut, “Iya, Kak. Dengar-dengar berpotensi tsunami, ya?”

“Katanya sih. Tapi sampai sekarang air lautnya belum naik. Doakan saja semoga gak terjadi tsunami.”

“Iya, semoga saja.”

“Tapi, kerusakan karena gempa juga parah banget.”

Putri spontan mengangguk. “Betul, Kak. Kasihan sekali yang rumahnya hancur,” katanya dengan wajah sedih.

“Iya. Salah satunya rumah orang tua aku.”

Putri tersentak ketika mendengar ucapan si pembeli. Seketika dia tidak bisa berkata-kata selain kedua matanya mulai berkaca-kaca.

“Untungnya mereka selamat. Cuma ayah aku — kakinya patah karena tertimpa reruntuhan,” lanjut si pembeli sambil tersenyum cerah. Dia terlihat cukup tenang meskipun ada musibah yang sedang menguji keluarganya di Kota Angan.

Sang pembeli wanita melirik buku yang dibaca oleh Putri tadi, lalu mengalihkan pandangannya ke wanita itu. Ia spontan tersenyum saat menyadari ada air mata yang menitik membasahi pipi Putri.

“Kenapa? Kok kamu nangis?” tanya si pembeli.

“Eh…” gumam Putri yang refleks mengusap air matanya, “Ha-ha-ha… enggak kok, Kak. Aku sedih aja dengar kabar tentang orang tua Kakak. Tapi juga bahagia karena mereka selamat. Aku doakan semoga keluarga Kakak di sana selalu dalam lindungan Allah — terutama ayah Kakak.”

Si pembeli semakin tersenyum cerah, lebih cerah dari sebelumnya. “Makasih, ya. Semoga doa terbaik juga kembali ke kamu,” katanya yang segera beranjak ke mobil.

Baru saja sampai ke mobil, si pembeli tadi kembali lagi ke Putri. Ia lagi-lagi menatap buku yang dibaca oleh wanita itu — kali ini tatapannya jauh lebih fokus. “Maaf…,” ujarnya, “Kalau boleh tahu nama kamu siapa, ya?”

“Oh… Putri, Kak.”

“Aku Alissa. Jadi, sehari-hari kamu memang jualan? Atau ini cuma sampingan?”

“Sehari-hari aku memang jualan, Kak.”

“Kesibukan lain?”

“Untuk sekarang gak ada.”

“Kuliah?”

“Enggak, Kak,” jawab Putri.

Lantas, wanita bernama Alissa tadi melanjutkan, “Kebetulan banget nih… aku lagi nyari orang untuk ikut bantu korban-korban gempa di Kota Angan. Kamu mau gak? Memang kerjaannya cuma sementara dan statusnya pun sebagai relawan. Tapi, digaji, lho.”

Putri sendiri tidak langsung menjawab — ia malah mengumbar senyuman. Di sisi lain, Alissa paham bahwa wanita itu sedang bingung ingin memutuskan apa.

“Gak apa-apa. Kamu boleh mikir-mikir dulu,…” kata Alissa sembari memberi sebuah kartu yang tertera nomor ponsel. “Nanti, kalau kamu tertarik bisa hubungi aku di nomor itu. Tapi, jangan lama, ya — paling lambat besok lah karena lusanya aku langsung berangkat ke Kota Angan.”

Sambil mengangguk, Putri menjawab, “Oh… iya, baik-baik, Kak. Terima kasih sebelumnya.”

Alissa menanggapi ucapan Putri dengan mengangguk dan kemudian beranjak pergi.

Malam harinya, Putri sedang berada di kamarnya. Ia duduk di atas tempat tidur dengan menyandarkan bahu ke badan ranjang serta meluruskan kedua kakinya. Di tangan sang wanita terdapat kartu yang diberikan oleh Alissa. Ia sedang memikirkan keputusannya apakah ikut ke Kota Angan sebagai relawan atau tetap berjualan.

Putri jelas tidak bisa semena-mena mengambil keputusan karena sosok yang mengajaknya adalah orang asing. Ia baru pertama kali berjumpa dengan Alissa — meskipun wanita itu terlihat ramah dan santai, tapi tetap saja dia orang asing. Meski demikian, saat memperhatikan wajah Alissa, Putri dapat merasakan bahwa ajakan perempuan itu benar-benar serius.

Ada sekitar dua puluh menit Putri memikirkan keputusannya sampai kemudian dia pun memilih menghubungi Alissa. Ketika wanita itu menjawab telepon, mereka berdua sempat berbasa-basi sedikit sebelum akhirnya Putri mengatakan bahwa ia siap menjadi relawan di Kota Angan.

“Wah, senang rasanya kamu mau ikut gabung. Oke deh, besok pagi jam delapan aku jemput kamu di tempat biasa kamu jualan, ya. Aku gak jadi berangkat lusa karena harus jumpai keluarga,” kata Alissa.

“Baik, Kak. Terima kasih sudah ngajak aku gabung,” jawab Putri. Meski dia sudah memutuskan pergi ke Kota Angan bersama Alissa sebagai relawan, namun sebenarnya hati wanita ini masih ragu. Ia ragu apakah ajakan itu benar atau hanya sekadar modus. Akan tetapi, semua ia serahkan kepada Allah. Apa pun yang terjadi nanti, niatnya ke Kota Angan semata-mata untuk membantu korban gempa dan tidak lebih.

Keesokan harinya, Putri sudah berdiri di pinggir jalan tempat dirinya berjualan. Ia mengenakan pakaian serba hitam, termasuk jilbabnya. Dia juga membawa tas ransel berisi baju dan perlengkapan lainnya.

Tak lama berselang, dari kejauhan Putri melihat sebuah mobil sedan abu-abu melaju mendekatinya. Ketika sudah sampai di tempat Putri berdiri, kaca depan mobil itu terbuka, menampakkan Alissa yang duduk di bagian kemudi.

“Udah lama, ya?” tanya Alissa.

“Enggak kok, Kak,” jawab Putri.

Tanpa banyak basa-basi, Alissa meminta Putri untuk segera masuk ke mobil, dan kendaraan itu langsung melaju. Sambil menyetir, Alissa banyak menanyakan tentang Putri. Dari sekian pertanyaan, Alissa baru menyadari bahwa Putri adalah anak yatim piatu yang tinggal seorang diri. Sejak lulus SMA, Putri pernah bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe sebelum akhirnya memutuskan berjualan kue.

“Oh, jadi gitu, ya. Turut berduka atas orang tua kamu,” kata Alissa.

“Iya, Kak. Makasih.”

“By the way, kamu cewek hebat, kok. Walaupun sendirian, kayaknya kamu nggak pernah ngeluh, ya. Aku bisa lihat dari wajah kamu… kamu bukan tipe cewek yang suka ngeluh.”

Putri sedikit tertawa mendengarnya. “Yaa, kalau mau ngeluh, belum tentu hidup kita jadi lebih baik—yang ada malah lebih buruk, kan.”

“Betul,” sahut Alissa sambil sekilas melirik ke arah Putri. Ia lalu menyadari sesuatu. “Eh, Putri… tasnya taruh aja di belakang. Kan susah kamu duduknya.”

“Eh… iya, Kak,” sahut Putri seraya beralih menghadap ke belakang. Alih-alih menaruh tasnya di atas kursi, ia memilih meletakkannya di bawah. Saat menaruh tas, matanya tak sengaja menangkap sebuah baju putih yang tersangkut di jendela pintu belakang bagian kanan. Pemandangan itu membuat Putri penasaran.

Ketika kembali duduk, Putri memberanikan diri bertanya kepada Alissa. “Kak, maaf… sebenarnya Kak Alissa ini kerja apa, ya?”

📚 Artikel Terkait

Mendamba Presiden Pro Perempuan dan Keberagaman

Pemanfaatan Lahan Perkarangan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pondok Pesantren Hidayatullah Mentawai

Piala Donya

Musim Luruh Membisik Kata-kata

“Aku dokter,” jawab Alissa sambil tetap fokus menyetir.

Putri yang mendengar itu spontan tersenyum. Jawaban Alissa mengingatkannya pada masa kecil saat masih bersekolah di MIN. Dokter adalah cita-cita yang tak pernah bisa digapai Putri. Namun, hatinya cukup senang karena kini ia duduk di samping seorang dokter sungguhan.

“Enak, Kak, jadi dokter?” tanya Putri.

“Enak atau enggaknya tergantung pribadi. Kalau bagi aku, jadi dokter itu tanggung jawab. Sekarang kewajiban aku melayani orang-orang sakit. Jadi, aku nggak mikir enak atau enggaknya—yang penting aku tetap menjaga kewajiban aku sebagai dokter.”

“Iya… betul sih.”

“Kamu pasti pengen jadi dokter, kan?”

Pertanyaan Alissa mengejutkan Putri. “Kok tahu, Kak?” tanyanya seraya melirik wanita itu.

“Aku tahu karena pernah lihat buku tentang kedokteran di tempat jualan kamu waktu aku beli kue,” jelas Alissa.

“Oh, tapi cuma dari lihat buku itu Kak Alissa udah tahu aku pengen jadi dokter?”

“Yang kamu baca itu beda. Buku itu biasa dipakai sama orang-orang yang pengen belajar jadi dokter. Kalau cuma hobi membaca, kayaknya nggak akan pilih buku yang kamu baca. Makanya, waktu aku lihat buku itu, aku langsung kepikiran kamu bukan sekadar hobi membaca, tapi tertarik jadi dokter.”

“Oh… hahaha, gitu ya, Kak.”

“Karena buku itu, aku akhirnya mutusin buat ngajak kamu ke Kota Angan.”

“Eh, yang bener, Kak?”

“Iya. Aku ini bukan tipe orang yang gampang ngajak orang asing. Tapi aku bisa baca sikap seseorang dari bahasa tubuhnya, ucapannya, dan apa yang ada di sekitarnya. Itu yang aku lakuin waktu kita ngobrol pas aku beli kue kamu.”

Putri mulai menyadari siapa Alissa sebenarnya. Dalam hati, ia cukup bahagia karena memutuskan pergi ke Kota Angan bersama seorang dokter yang ternyata hebat membaca karakter seseorang.

***

Perjalanan mereka memakan waktu empat jam. Begitu tiba di Kota Angan, keduanya langsung dihadapkan dengan pemandangan mengerikan. Banyak bangunan runtuh dan sebagian besar sudah rata dengan tanah. Selain itu, banyak mayat terkapar di jalanan. Sebagian sudah ditutupi kain seadanya, sebagian lain hanya terbaring tanpa ada yang mengurus.

Putri hanya bisa diam melihat pemandangan itu. Ia tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Ini pertama kalinya ia melihat kerusakan parah dan tumpukan mayat di sepanjang jalan.

Alissa memperlambat laju mobil karena banyaknya reruntuhan dan jalan yang retak-retak. Setelah beberapa saat, mereka tiba di kediaman orang tua Alissa. Rumah itu hancur lebur. Alissa buru-buru keluar dari mobil. Tiga orang menghampirinya: satu laki-laki dan dua perempuan. Mereka tampaknya saudara-saudara Alissa. Tanpa banyak bicara, mereka mengantar Alissa ke sebuah tenda tak jauh dari rumah itu.

Di dalam tenda, Alissa menemui ayahnya yang terbaring lemah. Kaki kanan pria itu sudah diperban seadanya, tapi tampak ada warna kemerahan yang diyakini darah. Alissa langsung menangani kaki ayahnya yang patah akibat tertimpa reruntuhan. Sementara itu, Putri membantu mengambil berbagai perlengkapan yang dibutuhkan. Setelah beberapa saat, kaki ayah Alissa dibalut dengan perban baru.

“Ayah hebat! Ica bangga deh,” kata Alissa sambil tersenyum.

“Ayah cuma ngelakuin apa yang Ayah bisa waktu gempa,” jawab pria itu.

Seorang wanita berkacamata menimpali, “Kalau bukan karena Ayah, Mama sudah nggak ada lagi.” Wanita itu adalah ibu Alissa.

***

Keesokan harinya, Alissa dan Putri mulai bertugas sebagai relawan kesehatan. Mereka mencari korban selamat, sedangkan relawan lain mengurus korban meninggal. Alissa, sebagai ketua relawan, memberikan instruksi kepada tim medis dan tim-tim lainnya.

Kerja sama sangat diperlukan. Putri terlihat cukup bersemangat membantu korban yang kesusahan berjalan dan cepat akrab dengan rekan-rekan relawan lainnya. Di suatu momen, Putri bergegas menemui Alissa yang sedang mengangkat puing-puing gedung.

“Kak, Kakak nggak perlu angkat-angkat beginian. Biar aku aja,” ujar Putri.

“Nggak apa-apa,” sahut Alissa santai.

Putri pun membantu Alissa. Bersama beberapa relawan lain, mereka menemukan seorang anak kecil yang menangis di bawah reruntuhan. Anak itu segera dibawa ke tenda untuk diberikan perawatan.

Saat Dzuhur, sebagian relawan beristirahat. Putri menunaikan salat lalu berdoa panjang, mendoakan korban gempa baik yang selamat maupun meninggal dunia. Setelah itu, ia duduk di bawah pohon sambil menyantap nasi.

“Makan yang banyak biar ada tenaga. Kerjaan kita masih panjang,” ujar Alissa yang tiba-tiba duduk di sebelah Putri sambil membawa sepiring nasi.

“Kak Alissa juga. Jangan sampai dokternya malah jatuh sakit nanti,” sahut Putri tertawa kecil.

“Panggil aku Ica aja. Aku nggak biasa dipanggil Alissa,” kata Alissa.

“Oh, siap Kak Ica.”

Kedua wanita ini mulai berbincang-bincang sambil melahap nasi. Wajah mereka terlihat kusam karena debu, juga tampak cukup lelah. Namun, semua itu masih belum cukup membuat keduanya mengeluh.

“Putri…” gumam Alissa, “maaf ya. Mungkin enggak setiap hari kita bisa makan nasi. Persediaan makanan di Kota Angan dalam keadaan darurat. Bantuan pun belum bisa sampe tepat waktu karna banyak jalan yang rusak —  bahkan sebagian ada yang sama sekali gak bisa dilewati. Jadi, mungkin ada saatnya nanti kita makan apa adanya dan mungkin pun — ”

“Kak…” Putri langsung memotong omongan Alissa, “gak apa kok. Semua orang lagi dalam kesusahan. Dan memang udah jelas kan tujuan kita datang ke sini untuk membantu mereka. Jadi jelas kan, kak… bantuan makanan harus diutamakan untuk para korban. Sisanya… aku secara pribadi enggak mempermasalahkan itu.”

Alissa spontan langsung tersenyum. “Kamu memang cewek yang hebat, Put. Gak salah aku ajak kamu ke sini.”

Putri sedikit tersipu malu mendengar ungkapan Alissa. Wajahnya terlihat agak merona. “Oh ya, kak… boleh tanya?”

“Boleh.” sahut Alissa.

“Kenapa kakak kok pengen turun tangan juga ikut bantuin angkat-angkat puing reruntuhan? Kan, harusnya kakak kontrol kami kerja aja sambil fokus ngobatin korban-korban?”

“Memang kita relawan medis, tapi kerja sama nomor satu. Kita berada di daerah yang baru aja diterpa bencana alam — semua situasinya sulit. Jadi, sekecil apapun itu, aku tetap akan berusaha membantu. Tanggung jawab relawan memang kayak gitu. Untuk sekarang, aku mengesampingkan statusku sebagai dokter. Di sini, aku bukan cuma dokter, tapi juga relawan yang harus siap membantu siapa aja yang butuh.” jelas Alissa.

Perkataan sang dokter memukau diri Putri. Ia semakin menaruh rasa hormat kepada wanita itu.

***

Malam sekitar pukul sepuluh, para relawan mulai beristirahat. Mereka berdiam dengan mendirikan tenda. Ada beberapa tenda yang digunakan untuk para relawan dan juga untuk merawat para korban yang selamat. Di situ pula keluarga Alissa kini menetap setelah rumah mereka hancur tak tersisa.

Saat ini, Putri sedang duduk di depan tenda sambil mengaji. Sementara itu, Alissa terus memerhatikan aktivitas wanita itu. Ia takjub mendengar suara Putri yang indah saat melantunkan ayat-ayat suci. Lalu, ketika sudah selesai mengaji, sang dokter pun datang menghampiri Putri.

“Rutin?” tanya Alissa yang langsung duduk di sebelah Putri.

“Iya, kak. Aku selalu ngaji sebelum tidur.”

“Ternyata… bukan cuma paras kamu aja yang indah —  kamu juga punya kebiasaan yang indah.”

Putri tidak menyahut ucapan Alissa —  ia hanya tersenyum malu.

“Tapi, aku suka tipe orang kayak kamu. Aku belum pernah liat kamu ngeluh selama ini —  yang ada malah aku liat kamu ngisi waktu dengan aktivitas-aktivitas positif begini. Gak terbayang udah berapa banyak pahala kamu tuh,” lanjut Alissa.

Memang Putri perempuan yang terlihat cukup tenang. Pembawaannya selalu santai seperti tidak memiliki masalah hidup. Padahal, dia sudah hidup sendirian sejak SMA — bahkan ibunya sudah lebih dulu meninggalkannya saat ia berumur tiga belas tahun. Sekarang, dengan hidup sendirian dan berjuang mencari nafkah sambil berjualan kue, Putri tak pernah sekali pun mengeluh meski ia tidak pernah bisa menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter.

***

Hari-hari selanjutnya, Putri dan Alissa serta rombongan relawan lainnya tetap bekerja seperti biasa. Tidak butuh waktu lama bagi Putri untuk beradaptasi. Dia membantu pekerjaan Alissa dengan cukup baik. Bahkan, setelah satu minggu menjadi relawan kesehatan, wanita itu sudah dipercaya untuk menangani korban-korban gempa yang terluka lumayan parah. Oleh karena ia sudah terlalu banyak membaca buku pedoman tentang kedokteran dan juga tentang cara penanganan pertama pada orang yang terluka, wanita itu pun dapat memahami apa yang seharusnya ia lakukan ketika menangani korban-korban bencana gempa.

Alissa sendiri memerhatikan Putri dengan cukup jeli. Cara wanita itu melayani para korban bencana gempa terlihat seperti seorang dokter profesional. Walaupun terlihat lelah, Putri tetap menangani mereka dengan sepenuh hati —  terutama dengan senyumannya yang sangat syahdu itu.

Kini, sudah lima bulan sejak Putri menyetujui ajakan Alissa menjadi relawan kesehatan di Kota Angan. Dan, dengan situasi yang sudah mulai kondusif serta membaik, sudah saatnya wanita itu kembali ke kota asalnya.

“Gak terasa ya udah lima bulan aja kita di sini.” ujar Alissa kepada Putri. Saat ini mereka sedang berada di dalam sebuah tenda.

“Iya nih kak,” jawab Putri mengiyakan sambil memasukkan pakaiannya ke dalam tas ransel, “Syukur banget akhirnya situasi di Kota Angan sudah mulai membaik. Walaupun masih ada PR untuk menyembuhkan sebagian korban yang trauma, tapi aku yakin mereka pasti mampu melalui semua ini.”

“Eh Putri… makasih ya udah mau bantu aku. Aku gak tau caranya harus berterima kasih gimana ke kamu karna ucapan aja pasti gak pernah cukup.”

“Jangan gitu dong Kak Ica. Kakak malah yang udah bantuin aku jadi relawan kesehatan. Sekarang aku punya pengalaman yang luar biasa.”

“Putri… kamu memang tulus banget. Semoga Allah membalasnya berkali-kali lipat.”

“Aamiin,” jawab Putri.

Situasi menjadi hening sesaat. Alissa hanya berdiri dan memerhatikan Putri yang masih sibuk merapikan pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam ransel. Tak lama berselang, ada sesuatu yang terbesit di dalam pikirannya.

“Ngomong-ngomong…” kata Alissa, “apa rencana kamu begitu pulang dari sini?”

“Aku bakal jualan lagi kak.”

“Kamu ga tertarik kuliah? Kan katanya ingin menjadi dokter?” tanya Alissa sambil mengumbar senyuman.

“Jujur… sebenarnya pengen sih kak. Tapi, aku udah hitung-hitung semuanya —  pilihan paling tepat ya mungkin cuma berjualan. Aku juga punya niat mau besarin usaha dagangan kue itu sehabis pulang dari sini.”

Putri sebenarnya mendapatkan honor karena sudah turut menjadi relawan kesehatan. Memang, honor yang ia dapatkan lumayan besar dan jauh berkali-kali lipat dari hasil berjualan. Dan, awalnya ia juga berniat ingin kuliah menggunakan uang tersebut. Tapi, setelah berpikir panjang, dengan mahalnya biaya kuliah di kedokteran membuat impiannya pupus. Wanita ini sudah mengkalkulasi semuanya, ia cuma mampu membayar biaya kuliah sampai semester ketiga saja jika hanya menggunakan honor itu.

“Makanya kak… aku mau pake uang itu untuk besarin usaha aku. Aku mau buka di tempat lain yang mungkin bakalan rame pengunjungnya,” kata Putri.

“Sebenarnya, kamu ga perlu pake honor itu untuk biaya kuliah. Kalau kamu pengen kuliah, kamu tidak perlu keluarin uang, kok.”

“Hah? Kok gitu? Trus gimana dong proses perkuliahannya kalo aku ga bayar biayanya?”

“Ada beasiswa…” sahut Alissa, “sebenarnya aku pengen kasih kamu beasiswa. Kamu ga perlu bayar biaya apa pun sampe ntar selesai kuliah. Tugas kamu cuma belajar dan kuliah aja —  urusan biaya gak perlu dipikirin.”

Kedua mata Putri dengan refleks melirik Alissa. “Serius kak?” tanyanya

“Iyaaa… masak bohong sih.”

Putri masih menatap Alissa tanpa bisa berkata apa-apa. Ia masih tidak percaya terhadap yang didengarnya melalui mukut sang dokter. Di balik tatapannya itu, terlihat matanya mulai berkaca-kaca dan hanya selang beberapa detik, air matanya pun mengalir.

“Putri…” ujar Alissa, “aku bisa rasain keinginan besar kamu —  kamu betul-betul pengen jadi dokter, kan? Sekarang, kamu punya kesempatan besar untuk gapai mimpi kamu itu. Kalo kamu memang pengen jadi dokter, kamu harus berusaha dan usaha kamu dimulai dari kuliah. Makanya itu —  mau, ya…”

Putri tidak tahu harus menjawab apa. Ia masih menangis karena terharu. Akan tetapi, kepalanya dengan refleks mengangguk, pertanda dia tidak ingin menolak. Dan, melihat itu, Alissa pun tersenyum cerah. Sang dokter mendekati Putri kemudian memeluknya dengan hangat.

“Kak Ica… makasih —  makasih —  makasih banget,” ucap Putri berkali-kali. Ia tak bisa berhenti melantunkan kata-kata terima kasih karena sangking bahagianya.

“Sama-sama. Semoga suatu hari kita bisa jadi rekan dokter,” balas Alissa sembari tetap terus Putri.

***

Dari berjualan, menjadi relawan kesehatan di Kota Angan sampai kemudian berkuliah di Fakultas Kedokteran —  Putri kini sudah satu langkah berhasil menggapai impiannya. Ia menghadiri kuliah dengan cukup giat, mengerjakan tugas dengan baik serta mampu menjadi mahasiswa panutan di mata dosen. Kepintaran wanita ini sudah tidak perlu diragukan lagi karena hampir semua buku tentang kedokteran sudah ia baca dan itu membuatnya lebih mudah berkuliah di situ.

Beberapa tahun berlalu hingga akhirnya Putri berhasil menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Ia lantas melanjutkan koas sampai kemudian seragam dokter benar-benar tersemat di tubuhnya.

Kini, Putri benar-benar sudah menjadi dokter dan bertugas di sebuah rumah sakit yang sama seperti Alissa. Mereka pun kerap berdiskusi tentang cara menangani pasien atau tentang penyakit-penyakit baru yang cukup berbahaya. Baik Putri dan Alissa sekarang sudah menjadi rekan.

Lantas bagaimana dengan dagangan kue? Putri tetap melanjutkan usaha dagangannya itu. Bedanya, sekarang dia sudah tidak lagi berjualan di pinggir jalan melainkan di sebuah toko. Letak tokonya berada di pusat kota dan sehari-hari terlihat cukup ramai oleh pengunjung.

Putri memperkerjakan beberapa orang di tokonya —  mereka semua perempuan. Dengan demikian, dia tak perlu pusing-pusing lagi memikirkan dagangannya di balik kesibukannya yang menangani pasien di rumah sakit.

Cita-cita yang awalnya dibenamkan oleh Putri, kini terbit lagi dan ia pun berhasil menggapainya. Semua karena doa yang tak henti-henti ia panjatkan kepada Allah, juga karena kutulusannya yang membantu para korban bencana gempa. Keputusannya menjadi seorang relawan kesehatan di Kota Angan sudah mengubah nasib kehidupan Putri. Tentu, ada andil Alissa juga di baliknya.

Meskipun sudah berhasil menjadi dokter, kebiasaan Putri masih tetap sama. Salah satu kebiasaannya yang sudah tertanam sejak MIN adalah mengaji sebelum tidur dengan niat agar pahalanya sampai kepada kedua orang tuanya di alam sana.[]

📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share3SendShareScanShare
Reza Fahlevi

Reza Fahlevi

Lahir di Banda Aceh pada Tanggal 9 september 1996, Reza Fahlevi sudah mulai menyukai dunia kepenulisan sejak masih duduk di bangku SMP. Tulisannya berupa cerita-cerita pendek terdapat di berbagai platform seperti KBM, Fizzo, Blogspot dan sekarang aktif menulis di Medium. Beberapa tulisan Reza dalam bentuk puisi pernah diterbitkan oleh Warta USK. Ia juga pernah memenangkan lomba menulis novel yang diadakan oleh penerbit USK Press serta juga menjadi salah satu penulis dalam dua buku antologi yang berjudul Jembatan Kenangan (Jilid II) dan Kebun Bunga Itu Telah Kering. Selain menulis, Reza turut serta menjadi salah satu tenaga pendidik di sekolah MIN 20 Aceh Besar.

Related Postingan

REFLEKSI DI HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN
POTRET Budaya

SIKLUS WAKTU

Oleh Redaksi
2022/09/16
0
51

Oleh Zulkifli Abdy Hari ini telah Jumat lagi Rasanya baru kemarin Aku masih saja duduk di sini Menikmati hangat mentari...

Baca SelengkapnyaDetails

Perlina

Akulah Momo Kelana

Postingan Selanjutnya
Jejak Perempuan di Palagan Nusantara (1)

Jejak Perempuan di Palagan Nusantara (1)

Pagar di Lautan Ketololan

Pagar di Lautan Ketololan

Terkait Insentif, ATAS Provinsi Aceh Temui Komisi VI DPRA

Terkait Insentif, ATAS Provinsi Aceh Temui Komisi VI DPRA

Jejak Perempuan di Palagan Nusantara (2)

Jejak Perempuan di Palagan Nusantara (2)

Kolaborasi Guru dan Murid MIN 11 Banda Aceh Hasilkan Karya Buku Cerita Bergambar “Faiha dan Bunga Misteri”

Kolaborasi Guru dan Murid MIN 11 Banda Aceh Hasilkan Karya Buku Cerita Bergambar "Faiha dan Bunga Misteri"

POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

🔥 Artikel Paling Banyak Dibaca

Kabar Redaksi
Kabar Redaksi
👁️ 1,951 pembaca 📅 2 Feb 2025
Mengelabui Kata Mulia Untuk Senantiasa Istiqamah
Mengelabui Kata Mulia Untuk Senantiasa Istiqamah
👁️ 2,119 pembaca 📅 7 Sep 2025
Menanti Buah Hati di Negeri Orang
Menanti Buah Hati di Negeri Orang
👁️ 2,013 pembaca 📅 11 Sep 2025
Mengintegrasikan Pendidikan Kebangsaan Indonesia dalam Pelatihan Beauty Queen yang Berbudaya dan Berkepribadian Indonesia
Mengintegrasikan Pendidikan Kebangsaan Indonesia dalam Pelatihan Beauty Queen yang Berbudaya dan Berkepribadian Indonesia
👁️ 1,549 pembaca 📅 7 Sep 2025
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00