Dengarkan Artikel
Oleh: ERWIN JOKO SUSANTO
Di sebuah desa kecil yang terpencil, terdapat sebuah rumah tua yang konon katanya angker. Rumah tersebut ditinggalkan oleh seorang tua yang konon katanya memiliki ilmu hitam. Bahkan digosipkan oleh penduduk setempat bahwa pak tua yang dulu pernah tinggal di rumah tersebut mempraktikkan ilmu santet untuk mencelakai orang. Mengingat banyaknya penduduk yang meninggal dunia dan akibat didemo oleh penduduk sekitar, kini penghuninya pergi entah ke mana.
Seorang remaja bernama Jono sangat penasaran dengan rumah tersebut. Ia ingin membuktikan bahwa cerita-cerita itu hanyalah omong kosong belaka. Tanpa pikir panjang, Jono memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tersebut. Namun, begitu masuk, Jono memang merasa ada yang aneh, seperti melihat bekas perapian, tanaman lavender dan bekas lilin yang besar-besar.
Saat berada di dalam rumah, Jono mendengar suara-suara aneh yang membuatnya semakin takut. Namun, suara itu bukanlah suara hantu atau makhluk gaib, melainkan suara-suara yang menceritakan tentang bagaimana orang-orang di desa tersebut menghina dan merendahkan pendapat orang yang tak lain adalah pak tua yang pernah tinggal di situ.
Suara-suara itu membuatnya tidak tahan sampai harus menutup telinga dan lari sekencang-kencangnya uuntuk keluar dari pintu rumah itu.
Ketika berada di luar, Jono sempat menyimpulkan apakah suara-suara aneh itu yang membuat pak tua tidak betah tinggal di rumahnya dan minggat entah ke mana.
Tiba-tiba Jono semakin merasa bersalah karena selama ini ia juga pernah merendahkan pendapat orang lain. Jono teringat saat dahulu pernah duduk di kelas bersama kelompoknya, sedang berdiskusi tentang topik yang akan mereka presentasikan.
Saat temannya, Dika, memberikan ide tentang topik presentasi, Jono langsung menolaknya dengan nada sinis.
“Ah, ide itu terlalu klise. Kita harus mencari topik yang lebih menarik,” ujar Jono dengan nada merendahkan.
Dika terlihat kecewa, namun tetap tersenyum, “Tapi aku pikir topik ini bisa menarik perhatian banyak orang.”
Jono hanya menggelengkan kepala dan mengabaikan pendapat Dika. Ia merasa bahwa pendapatnya lebih penting dan tidak menghargai ide dari temannya.
Flashback berlanjut ke saat Jono sedang berlatih untuk pertandingan debat di sekolah. Ia mendengar pendapat dari teman satu timnya, Maya, tentang bagaimana mereka sebaiknya mempersiapkan argumen-argumen mereka. Namun, Jono malah menertawakan pendapat Maya.
“Kamu tidak mengerti, Maya. Aku sudah lebih berpengalaman dalam debat. Kita harus melakukannya dengan cara saya,” ujar Jono dengan nada sombong.
Maya hanya menunduk dan mengangguk, meskipun terlihat kecewa dengan sikap Jono.
Flashback berakhir dengan Jono duduk sendirian di kamarnya, merenungkan kembali semua momen dimana ia merendahkan pendapat orang lain. Ia mulai menyadari bahwa sikapnya yang selalu merasa benar sendiri dan tidak menghargai orang lain. Ia pun berjanji untuk lebih menghargai pendapat orang lain setelah pengalaman misterius dan berhasil keluar dari rumah tersebut.
Setelah berhasil keluar dari rumah tersebut, Jono bercerita kepada penduduk desa tentang apa yang ia dengar di dalam rumah tersebut. Dari penemuan Jono, orang-orang sekitar yang dulunya pernah mengecam keberadaan pak tua karena anggapan memiliki ilmu hitam kini semakin sadar ditambah keterangan beberapa ahli akademisi dalam bidang herbal dan kedokteran di desa tersebut yang pernah menjelaskan bahwa bunga lavender yang dibiarkan tumbuh di dalam rumah itu ternyata bermanfaat untuk mengusir nyamuk dan sekali lagi nyamuk demam berdarahlah yang menyebabkan banyaknya korban apalagi terlambat mendapat perawatan medis.
Namun nasi sudah menjadi bubur, artinya warga setempat tidak sempat untuk meminta maaf atas tuduhan, fitnah yang dialamatkan ke pak tua dan kini mereka hanya menyesal karena telah menyakiti hati pak tua sehingga ia telah pergi entah ke mana. Tak seorangpun tahu keberadaannya. Akhirnya, menghargai dan tidak menghakimi orang yang berbeda pendapat adalah hal yang sangat penting.
Mereka pun berjanji untuk lebih menghargai pendapat orang lain dan tidak lagi merendahkan.
Kisah penduduk desa terhadap pak tua di rumah tua itu mencerminkan stereotip dan menggambarkan sikap dan prasangka negatif. Orang-orang di desa itu mungkin telah membuat asumsi negatif tentang si tua dan rumahnya berdasarkan cerita-cerita yang beredar, tanpa benar-benar mengenalnya, sehingga pak tua menjadi semakin minder dan tak mudah untuk bergaul dengan banyak orang. Sikap minder tersebut diinterpretasikan oleh masyarakat sekitar sebagai sikap sombong. Jono sendiri mungkin terinspirasi oleh pengalaman di rumah tua tersebut untuk lebih memahami bahwa prasangka negatif terhadap orang lain tidaklah benar, dan bahwa menghargai pendapat orang lain penting untuk memahami perspektif yang berbeda.