https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Friday, October 31, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda Analisis

Pengusaha Taipan, Kasta Ekonomi Yang Tidak Mesti Identik Dengan Kultur Kecinaan

Redaksi Oleh Redaksi
3 years ago
in Analisis, Artikel, ASEAN, CINA, Ekonomi, Taipan
Reading Time: 4 mins read
A A
0
6
Bagikan
55
Melihat
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh : Hendrajit,

Pengkaji geopolitik dan wartawan senior.

Karena beberapa hari ini saya disibukkan dengan kajian tentang kemungkinan aliansi strategis Yahudi diaspora dan Cina diaspora pasca Covid-19, beberapa buku terkait dua subyek tersebut jadi fokus bacaan saya minggu terakhir ini.

Buku karya Joe Stodwell, Asian Godfathers , terbitan 2007 lalu,  adalah salah satu yang cukup inspiratif dan membuka cakrawala baru mengenai Overseas China alias Cina rantau, dan the Taipan. Serta dimana segi perbedaannya yang paling substansial.

Siapakah yang kerap saya sebut China Diapora?

Pada 1996, sebelum meletus Krisis Moneter atau Krisis Finansial Asia, majalah Forbes mendaftar 8 penguaha Asia Tenggara di antara 25 teratas, dan 13 di antara 50 teratas. Yang mana harta pribadinya saja mencapai lebih dari 4 miliar dolar AS.

Mereka antara lain adalah: Li-Ka shing, Robert Kuok, Dhanin Chearavanot, Liem Soel Liong, Tan Yu dan Kwek Leng Beng. Inilah para pengusaha Taipan yang menguasai ekonomi Asia Tenggara.

Menariknya, meski Asia mengalami krisis moneter 1997-1998, mereka malah makin berjaya, begitu cerita Joe Studwell, dalam bukunya yang menarik Asia Godfathers. Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa.  Pertanyaannya bagaimana mereka bisa begitu kuat? Studwell, yang analisisnya saya sepakati pada garis besarnya, berkesimpulan bahwa mereka terwarisi dari peninggalan sistem kolonial era Inggris, Amerika dan Belanda, semasa mereka menjajah negara-negara di Asia Tenggara.

Studwell menulis: “Dalam hubungan ini, elit politik memberikan konsesi-konsesi monopoli kepada elit ekonomi, yang biasanya di dalam industri-industri jasa dalam negeri, sehingga memungkinan kelompok yang disebut belakangan ini bisa meraup kekayaan dalam jumlah besar.”

Ketika di era pasca kolonial, Studwell berkesimpulan bahwa pola ini tidak berubah. Elit politik penguasa baru yang notabene merupakan kaum pribumi, tetap menyuapi para pengusaha Taipan binaannya itu . Sehingga para Taipan tersebut dengan leluasa bisa menyedot celah-celah ekonomi, dengan memberi saham kepada para tuan politik mereka yang baru.

Ironinya di sini. Kelas Taipan ini melayani kepentingan politik, dan menghasilkan kekayaan pribadi yang amat besar. Namun tidak memberi sumbangan apa-apa bagi pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara.

📚 Artikel Terkait

Kekuatan Kreativitas dan Sejarah Kelam Manusia Indonesia

Dibantu Dapur Umum, Pemko Ucapkan Terima Kasih Kepada BNPB

SEANDAINYA AKU TAK MENJADI GURU

Menggores Asa Pemimpin Politik Baru Aceh

Mereka misterius dan tak tersentuh. Jalinan kontak yang mereka bangun dalam memperkuat dan mempertahankan bisnisnya adalah dengan Dunia Bawah Tanah seperti Triad Cina, atau  Yakuza Jepabg, maupun jaringan kejahatan terorganisir lainnya.

Berarti kita harus jeli betul melihat lanskap Asia Tenggara itu sendiri, agar tidak salah baca tentang ulah para Taipan ini. Asia Tenggara, kalau menelisik ke era kolonial klasik tiga abad yang lalu, Asia Tenggara merupakan sejarah yang terikat erat dengan migrasi -migrasi orang-orang Eropa dan Amerika(seperti para penguasa kolonial dan sebaliknya), Cina, India, Sri Lanka, Yahudi Diaspora dan lain sebagainya. Belum lagi warga pribumi yang beraneka-ragam etnik dan agamanya.

Meski saya masih memakai data beberapa tahun lalu, namun saya berani mengatakan kurang lebihnya sama, mengenai data mentah terkait keunggulan para Taipan ini. Saham Cina dari ekuitas yang sudah listing di pasar-pasar saham ASEAN diperkirakan antara 50 hingga 51 persen, tergantung negaranya.

Ini tentu saja mencolok mengingat etnis Cina di Filipina hanya 2 persen, di Indonesia hanya 4 persen, di Thaland 10 persen, di Malaysia 29 persen, dan di Singapura 70 persen.

Yang mungkin harus diwaspadai dari sudut pandang kultural dalam mengamati sepak-terjang Taipan adalah, kita tidak boleh mencampur-adukkan antara Cina rantau dengan para Taipan.  Sebab beberapa kajian mengenai migrasi Cina ke Asia Tenggara membuktikan, meskipun orang-orang Cina rantau punya pendapatan di atas rata-rata di kota-kota pesisir Jawa dan Sumatra misalnya, atau di kota-kota non-metropolitan di Thailand, banyak keluarga Cina turun-temurun beberapa generasi tetap hidup melarat.

Nampaknya, Cina Diaspora pun, harus kita bedakan dengan fenomena Cina rantau pada umumnya. Sebab Diaspora Cina, yang kelak melahirkan para pengusaha Taipan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, datang ke kawasan ini bersifat sukarela dan atas kehendak sendiri. Dan berdasarkan beberapa kajian mengungkap, diaspora Cina ini punya misi pergerakan untuk menanam pengaruh politik. Bukan melulu bisnis.

Kembali pada Joe Studwell, para taipan atau godfather ini sebenarnya tidak mengidentifikasikan dirinya secara etnis dengan Cina, seperti umumnya Cina Rantau. Menurut penggambaran Studwell, pengusaha Taipan ini merupakan elit yang tidak khas, lebih merupakan aristokrasi ekonomi dari orang-orang luar yang bekerja sama setengah hati dengan kalangan elit lokal.

“Secara kultural, para godfahter (taipan) adalah para bunglon yang cenderung berpendidikan bagus, kosmopolitan, bisa berbahasa asing, dan jauh dari sifat ke-cinaan.”

Dengan demikkian, sejalan dengan pandangan saya selama ini, perilaku mayoritas etnis Cina dari kalangan taipan tidak berbeda secara mendasar dengan para taipan Inggris atau Skotlandia di Hongkong dan Singapura, atau juga para taipan Amerika di Filipina.   Jadi  konteks ketaipanan mendahului watak etnis Cina-nya.

Namun, hanya sampai di sini saya sepakat dalam cara pandang Joe Stodwell. Meskipun saya sepakat dengan Stodwell bahwa selama elit politik saat ini masih mewarisi sistem era kolonial yang memberikan konsesi-konsesi monopoli kepada elit ekonomi yang di Asia Tenggara didominasi pengusaha taipan, namun saya tidak sepakat pada rekomendasi Stodwell, bahwa solusinya adalah membuka pasar bebas dan persaingan bebas, yang diikuti dengan deregulasi dan debirokratisasi atas dasar skema neoliberalisme.

Meskipun cukup lama bermukim di Beijing,Stodwell nampaknya belum menghayati penerapan sosialisme berwatak Cina yang dibangun sejak era Deng Xioping, yang mana negara sebagai subyek ekonomi harus berpihak pada rakyat, dapat berjalan seiring dengan birokrasi yang sehat dan kebijakan yang terencana dan sistematis.

Begitupun, tesis utamanya yang menolak penyamarataan antara Cina rantau dan the Taipan, saya kira merupakan cara pandang yang cukup menarik.

Karena Cina Diaspora, lebih cocok dengan penggambaran Stodwell mengenai adanya karakteristik budaya tersendiri yang melekat pada entitas taipan ini. Bunglon, cenderung berpendidikan bagus, kosmopolitan, bisa berbahasa asing, dan jauh dari sifat ke-cinaan.

Cara pandang Stodwell yang memisahkan taipan dengan Cina rantau pada umumnya, selain menghindarkan untuk dengan gampang jadi sasaran provokasi anti etnik Cina. bukankah penggambaran sub-kultur taipan itu  persis sama dengan karakteristik Yahudi diaspora yang menyebar di Amerika dan beberapa kota besar Eropa Barat?

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

The Never- Ending Shuffle: Indonesia’s Education Curriculum Can’t Catch a Break
The Never- Ending Shuffle: Indonesia’s Education Curriculum Can’t Catch a Break
26 Oct 2025 • 106x dibaca (7 hari)
Garis Waktu yang Hilang
Garis Waktu yang Hilang
2 Oct 2025 • 62x dibaca (7 hari)
Spirit Nyi Eroh dan Terowongan Geureutee
Spirit Nyi Eroh dan Terowongan Geureutee
24 Oct 2025 • 53x dibaca (7 hari)
The Hidden Crisis: Sexual Violence in Pesantren Is Three Times Higher Than in Regular Schools
The Hidden Crisis: Sexual Violence in Pesantren Is Three Times Higher Than in Regular Schools
21 Oct 2025 • 52x dibaca (7 hari)
Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah
Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah
27 Feb 2025 • 49x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share2SendShareScanShare
Redaksi

Redaksi

Majalah Perempuan Aceh

Related Postingan

Artikel

Kesehatan Mental Remaja

Oleh Redaksi
2025/08/07
0
56

Oleh : Cut Nisya ShabiraSiswa SMAN 1 BIREUEN, Aceh Kesehatan mental remaja kini menjadi perhatian penting yang harus kita pedulikan....

Baca SelengkapnyaDetails

Negara yang Kembali ke Fitrah

Surat Wasiat Christiaan Snouck Hurgronje akan Dibuka Tahun 2036 oleh Notaris di Leiden, Belanda

Postingan Selanjutnya
MENYAMBUT   HARI  MAKMEUGANG  1444 TH  DI ACEH

MENYAMBUT HARI MAKMEUGANG 1444 TH DI ACEH

Manfaat bersepeda bagi Kesehatan

Manfaat bersepeda bagi Kesehatan

PERSAHABATAN AWAK AWAI

Perjuangan Sang Mentari

Keseruan bersepeda dan sejuta manfaatnya

SEPEDA BARU HARAPANKU

SEPEDA BARU HARAPANKU

POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00