Dengarkan Artikel
Oleh: Azharsyah Ibrahim
Tidak ada yang lebih mendebarkan bagi seorang ayah, selain menanti kelahiran buah hati. Apalagi ketika jarak ribuan kilometer memisahkan. Di Arkansas, Amerika Serikat, seorang mahasiswa asal Aceh menunggu kabar diiringi doa. Sementara di kampung halamannya, pada waktu yang sama, seorang bayi mungil tengah bersiap menyapa dunia. Inilah kisah tentang rindu, doa, dan cinta yang tak mampu diputus jarak.
—
Senin sore, 10 September 2007, sekitar pukul 16.30 waktu Arkansas, Amerika Serikat bagian Selatan. Saya tengah menempuh pendidikan magister di University of Arkansas. Tak ada jadwal kuliah hari itu, sehingga saya memilih tetap di apartemen. Suasana sore yang tenang mendadak pecah oleh bunyi tit-tot HP jadul saya.
Sebuah SMS masuk dari Ayah saya di Aceh: “Si nyak karap lahe.” Beliau menyampaikan bahwa anak kedua saya hampir lahir. Sewaktu berangkat dulu, istri saya sedang hamil anak kedua kami.
Di kampung halaman, waktu sudah 12 jam lebih cepat. Selasa pagi, 11 September 2007, sekitar pukul 04.30. Dunia seperti terbelah dua, di satu sisi, saya menanti penuh gelisah di negeri orang; di sisi lain, kehidupan baru bersiap hadir di tanah kelahiran.
Info ini diketahui Erizar, seorang kawan seperjuangan yang sedang menempuh pendidikan di kampus yang sama. Kami duduk bersama, membaca Surah Yasin, memanjatkan doa agar proses kelahiran berjalan lancar. Di negeri asing, hanya doa yang bisa jadi penghubung.
Tak lama kemudian, menjelang pukul 18.00 waktu setempat, SMS kedua datang. Ayah menuliskan kabar bahagia, seorang bayi perempuan lahir dengan selamat. Ibu dan bayi sehat. Saya tak kuasa menahan haru. “Alhamdulillah,” berulang kali terucap, bercampur rindu yang semakin menebal.
Namun teknologi kala itu belum semudah sekarang. Untuk mengirim foto, harus lewat email dengan akses internet yang terbatas dan mahal. Apalagi istri saya tinggal di kampung, jauh dari fasilitas digital. Foto-foto bayi mungil itu baru saya nikmati beberapa bulan kemudian.
Ketika gambar itu akhirnya sampai, kerinduan saya tak lagi bisa ditahan. Senyumnya, tatapannya, dan wajah mungilnya jauh lebih indah dari bayangan yang selama ini saya simpan. Hati saya semakin ingin segera pulang.
Maka ketika liburan musim panas tiba, saya langsung membeli tiket pesawat ke Banda Aceh. Alasan akademik saya catat rapi, sekaligus mengumpulkan data penelitian. Namun alasan sesungguhnya sederhana, saya ingin segera menatap langsung wajah bidadari kecil itu.
Setiba di Bandara Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh, hati saya berdebar kencang. Saya mencari-cari sosok bayi yang selama ini hanya hadir di dalam foto. Ayah saya berkata, mereka menunggu di mobil karena si kecil agak rewel.
Langkah saya bergegas menuju mobil. Dan ketika pintu terbuka, di sanalah ia. Bayi mungil yang hanya saya kenal lewat bayangan dan gambar. Meski ia belum mengenal siapa yang mendekapnya, ikatan batin ayah-anak begitu kuat. Hanya butuh beberapa saat, ia pun tenang dalam gendongan saya. Seolah dunia tahu, kasih sayang sejati tak butuh pengenalan panjang.
Refleksi
Kisah ini bukan sekadar tentang kelahiran seorang anak, yang hanya ditulis sebagai hadiah ulang tahun bagi sang anak. Ia adalah cerita tentang cinta yang tak pernah mampu diputus oleh jarak. Tentang bagaimana doa bisa menjembatani ribuan kilometer. Tentang kesabaran yang tumbuh karena keterbatasan.
Bagi para ayah, ibu, atau siapa pun yang pernah menanggung rindu karena jarak, kisah ini mengingatkan bahwa ikatan hati jauh lebih kuat daripada keberadaan fisik. Rindu memang menyiksa, tapi perjumpaan yang akhirnya datang menjadi obat paling manjur.
Kadang hidup menuntut kita pergi jauh demi cita-cita. Namun, justru keluarga yang menunggu dengan doa dan cinta menjadikan perjuangan itu berarti.
Di era ketika jarak bisa ditembus video call dalam hitungan detik, kisah ini mengingatkan bahwa cinta sejati tak pernah bergantung pada teknologi. Cinta sejati hanya butuh satu hal, hati yang selalu terikat, meski raga terpisah lautan.
Silahkan Komentar