Dengarkan Artikel
Oleh Khairuddin
Kepala SMA Negeri 1 Matangkuli, Aceh Utara
Belakangan ini semakin membahana saja sorotan terhadap penghasilan guru. Kita pasti tidak percaya ucapan Menkeu Sri Mulyani bahwa guru dan dosen adalah beban negara. Kelihatan teknologi deep fake sedang mengerjai Menkeu tersebut. Namun pada kenyataannya, Sri Mulyani memang mengungkapkan bahwa keuangan negara dibebankan lebih besar pada bidang pendidikan.
Anggaran pendidikan Indonesia dalam APBN untuk tahun 2025 ditetapkan sebesar ± Rp 757,8 triliun, meningkat dari tahun 2024 yang tercatat sebesar ± Rp 665 triliun. Jadi, secara angka absolut, anggaran pendidikan naik sekitar Rp 92,8 triliun dari tahun 2024 ke 2025. Tapi tunggu dulu, biaya pendidikan bukan berarti sepenuhnya dinikmati oleh pendidik secara langsung.
Mari kita breakdown. Nominal Rp. 757,8 Triliun itu yang langsung dinikmati dalam rekening guru sebesar 178,7 Triliun dalam bentuk tunjangan guru dan dosen. Tunjangan profesi guru yang sekarang langsung ditransfer dari pusat juga tidak ujug-ujug bisa diperoleh dengan mudah.
Jika sulit memperoleh jam sebanyak minimal 24 jam, bisa jadi tunjangan tersebut telat diperoleh bahkan mungkin hangus. Artinya 178,7 Triliun bisa saja tidak terpakai habis jika secara kuantiatif beberapa guru tidak memenuhi syarat 24 jam atau dosen tidak memenuhi syarat tunjangan profesi.
Dengan demikian, lonjakan anggaran yang besar di atas, memang bukan untuk pendidik secara langsung dan artinya tidak ada perkembangan baru dalam hal kesejahteraan guru. Gaji yang tidak naik serta tunjangan profesi yang penuh verifikasi. Kemana sisanya ?!. Pemerintah punya program sekolah rakyat yang kerjasamanya dengan Kementeriaan Sosial tapi dananya dari Kemendikdasmen, sebesar Rp. 24,9 Triliun. Begitu juga dengan sekolah Garuda Transformasi yang kerjasama dengan Kemendiktisaintek, tapi dananya dari Kemendikdasmen sebesar Rp. 3 Triliun.
Meski masih bersisa besar, namun tidak ada yang menyentuh guru secara langsung, paling besar alokasi dana melebihi plot mana pun adalah pada program Makan Bergizi Gratis sebesar Rp. 335 Triliun atau menguras sebesar 44,2% sementara yang diterima oleh guru secara langsung melalui Tunjangan Profesi hanya sebesar 23,6%.
Ketika masyarakat membaca alokasi dana pendidikan yang kabarnya menyusutkan 20% APBN, pantas saja mereka beranggapan guru sudah cukup sejahtera. Pada ratusan triliun anggaran di atas, selain MBG dan TPG juga untuk pembangunan sekolah dari kemeterian yang lain, revitalisasi sekolah Kemendikdasmen, BOS – BOP, PIP – KIP termasuk beasiswa pendidikan lainnya serta jangan lupa sekolah kedinasan milik kementerian lain juga memperoleh support dari Kemendikdasmen.
Tetiba tanpa angin tanpa badai bahkan tanpa hujan, Menteri Agama RI Nasaruddin Umar mengingatkan kembali profesi guru sebagai tugas mulia yang jika mencari uang jangan menjadi guru. Pernyataan ini keluar ketika beliau membuka Pendidikan Profesi Guru Agama secara Nasional melalui Zoom Meeting dan Youtube Livestreaming. Beliau memang menyampaikan secara santun, menasehati, namun forum yang harusnya berbicara kualitas guru yang harus dipertanggungjawabkan justru diisi oleh nasehat guru tidak beoleh berorientasi seperti pedagang. Kadang kita lupa, nasehat pun butuh ruang dan momen yang tepat untuk menyampaikannya.
Seluruh guru sudah pasti tidak berorientasi lagaknya pedagang. Meski menjadi pedagang juga pekerjaan mulia. Nabi Muhammad Rasulullah SAW juga memulai karir dan dakwah sebagai pedagang di usia yang sangat muda. Setiap guru pasti tahu penghasilan yang mereka dapatkan hanya melalui gaji bulanan, syukur-syukur dapat tunjangan. Parahnya Kementerian Agama paling banyak menyisakan guru yang belum sertifikasi. Bahkan terancam guru Pendidikan Agama di tahun mendatang harus membayar mandiri jika ingin ikut PPG sebagai syarat memperoleh tunjangan profesi.
Karena penghasilan pada profesi guru sangat minim, berkisar rerata Rp. 4 s.d 5 take home pay per bulan, tidak sedikit guru yang menjadi pedagang, montir, ojol, sepulang sekolah. Semua pekerjaan tambahan tersebut tidak kalah mulia dengan profesi guru. Maka yang mulia Menteri Agama komparasi tersebut bisa menyanyat hati guru meski disampaikan dengan cara menasehati. Jika hanya profesi guru, maka pekerjaan mulia tersebut tidak pernah akan membuat guru kaya, tidak ada pula guru sejati yang menjadikan pekerjaan ini sebagai sumber mencari kekayaan.
Kurang mengajar 24 jam saja terancam miskin. Tentu dalam hal ini, guru tidak mencari kekayaan, tidak mencari uang, tapi mencari kelas untuk menutupi kewajiban minimal 24 jam agar tidak miskin.
Penghasilan atau gaji guru itu jika tanpa ditopang oleh tunjangan profesi hanya cukup untuk kehidupan yang separuh bulan. Maka tidak mengherankan, hampir seluruh guru menjadi investor di Bank daerah. SK guru yang paling banyak menjadi jaminan kehidupan di Bank.
Survey Kompas juga membuktikan bahwa profesi yang paling banyak menjadi korban pada pinjaman online adalah guru. Mungkin sebagian orang akan tertawa membaca survey Kompas tersebut, tapi bagi pengambil kebijakan, hal tersebut sebenarnya patut dijadikan kecemasan bersama. Guru profesi paling mulia, tapi hampir kolaps menutupi biaya hidup. Guru pahlawan tanpa tanda jasa, tapi kenyataannya pahlawan tanpa tanda kehidupan.
Para pejabat negara yang sering menggaungkan guru sebagai profesi mulia, bahkan memuliakan sebagaimana definisi pada pembelajaran mendalam, ketahuilah anda yang bisa membuat kebijakan. Meneriakkan kekhawatiran ini hingga merumuskan porsi uang yang benar dan tanpa ketimpangan untuk membayar gaji guru.
Secara manusiawi, kami guru juga cemburu, punya gaji pokok yang sama dengan aparatur negara yang lain, tapi penghasilan yang dibawa pulang ke rumah paling hebat dengan tambahan satu kali gaji pokok, itu pun dengan rasa was was ketertutupan jam.
Apakah guru tidak boleh dapat penghasilan banyak, cukup dengan label profesi paling mulia, sehingga guru sudah menghidupi diri dari belas kasihan kata “mulia” ?!. Guru tidak akan berjualan sebagaimana pedagang karena modal guru hanya pengetahuan yang terus berkembang. Tapi tugas Pemerintah membuat guru menjadi kaya. Apa tidak mungkin guru punya gaji take home pay sebesar Rp. 20 juta per bulan ?!. Bisa saja. Terlebih para pejabat mereka itu tidak mau menjadi guru karena sebenarnya tahu profesi mulia yang sebenarnya relatif melarat.
Kekayaan Indonesia itu melimpah. Indonesia penghasil Nikel dan Sawit terbesar di dunia. Timah, tembaga, emas, batubara, Indonesia Top Ten of the World. Jangankan dihilirisasi, dijual mentah saja Indonesia bisa kaya. Siapa pula yang menilep uang tersebut ?!, guru ?!. Beberapa pengamat ekonomi dan hukum mengklaim jika saja dikelola tanpa korupsi, dikelola dengan benar, tanpa bekerja pun masyarakat Indonesia bisa memperoleh uang cuma-cuma sebesar Rp. 20juta per bulan.
Jadi apa sulitnya menaikkan gaji guru karena Indonesia punya kekayaan alam yang melimpah termasuk akuisisi pertambangan freeport yang belum terasa menjadi bagian dari kemakmuran rakyat Indonesia. Benar bahwa guru profesi paling ramai, tapi masih sedikit membebani anggaran negara. Guru harus kaya, harus sejahtera. Bagaimana kami meyakinkan pendidikan akan berjalan dengan baik, jika pulang sekolah kami harus menjadi pedagang. Jaminan kesejahteraan pula yang membuat kami dimuliakan dalam profesi ini.
(herudbudi@gmail.com)