Dengarkan Artikel
Oleh Dr. Nurkhalis Muchtar,Lc, MA
Ulama nusantara yang bersinar dan memiliki keberuntungan di kota Mekkah adalah Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Beliau merupakan guru besar di Masjidil Haram, Mufti resmi dalam Mazhab Imam Syafi’i, memiliki jaringan yang baik dengan pembesar kota Mekkah. Juga menantu seorang hartawan yang dermawan Syeikh Saleh Kurdi. Bahkan menurut catatan Sejarawan Snouck, Syeikh Ahmad Khatib adalah seorang yang kukuh dalam prinsipnya serta benci kepada kaum penjajah Belanda.
Bila ada seorang yang paling mempengaruhi pergerakan kemerdekaan, maka Syekh Ahmad Khatib adalah salah satu figur tersebut. Karena hampir seluruh pendiri organisasi keislaman di Indonesia merupakan murid-muridnya.
Mulai dari Kiyai Ahmad Dahlan pendiri Muhammaddiyah tahun 1912, Hadhratussyaikh Kiyai Hasyim Asy’ari pendiri Nahdhatul Ulama tahun 1926, Syaikh Hasan Maksum pendiri al Washliyah tahun 1930, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang digagas oleh Syeikh Sulaiman al Rusuli Candung, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abbas Qadhi Lawas (ayah dari KH Siradjuddin Abbas sang pengarang), dan gerakan kaum muda Padang yang di garda terdepan ada Syekh Abdul Karim Amrullah Inyiak Doktor (Ayah dari Buya Hamka) dan ulama lainnya yang tersebar di Nusantara kala itu adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Syekh Ahmad Khatib juga sebagai ulama yang produktif dalam menulis. Beliau meninggalkan hampir 50 karya tulisnya, yang paling dikenal adalah Kitab Nafahat ulasan terhadap kitab al Waraqat dalam Ushul Fikih.
Jika dirunut pada era kecemerlangan tersebut, maka di Aceh secara khusus dalam keadaan perang besar-besaran untuk mengusir para penjajah Belanda. Diperkirakan tahun 1881-1891 merupakan era yang paling kelam dalam sejarah perang Belanda. Karena di Aceh ketika itu ada Pemimpin yang gagah berani juga beliau seorang ulama besar yaitu Teungku Syeikh Muhammad Saman di Tiro atau yang dikenal dengan nama Teungku Chik di Tiro.
Beliau juga lulusan dari Kota Mekkah setelah sebelumnya beliau belajar dari banyak para ulama Aceh seperti Teungku Chik Dayah Cut dan ulama lainnya.
Pada masa Teungku Chik di Tiro ada beberapa figur kharismatik yang ikut andil dalam perjuangan, mereka adalah: Teungku Chik Dayah Cut di Tiro, Teungku Chik Tanoh Abee, Teuku Panglima Polem, Teungku Chik Pantee Kulu, Teungku Chik Pante Geulima, Teungku Haji Muda Krung Kalee (Ayahdari Abu Hasan Krueng Kalee), Teungku Chik Buengcala, Teungku Fakinah, Teungku Muhammad Amin di Tiro, Teuku Umar Johan Pahlawan, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren, dan lain-lain.
Maka tidak mengherankan bila orang sekelas Jenderal Kohler harus terbujur kaku di bumi Aceh, karena menghadapi para pejuang tersebut. Karena semboyan para pejuang ketika menghadapi penjajah Belanda “yang panyang takoeh Lhee, yang paneuk takoeh dua”.
Saking takutnya para penjajah, mereka hanya bisa bersembunyi di balik benteng-benteng yang mereka bangun berlapis-lapis.
Kembali ke Syekh Ahmad Khatib, penulis lainnya yang juga karya-karyanya dicetak di Timur Tengah adalah Syeikh Mahfudz bin Abdullah Termas yang merupakan ahli Hadis kebanggaan nusantara.
Saat penulis berkunjung ke Pustaka Masjidil Haram, penulis melihat langsung karyanya dalam beberapa jilid dan menjadi koleksi Perpustakaan Masjidil Haram. Ulama lainnya yang juga menulis kitab penting adalah Syekh Ihsan Jempes Kediri yang merupakan pengarang Kitab Sirajutthalibin dalam dua jilid tebal ulasan terhadap kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al Ghazali.
Dan banyak lagi ulama lainnya sampai tahun 1916, ditandai dengan lahirnya Syekh Muhammad Yasin Padang, ulama Indonesia terakhir yang kiprah keulamaannya diperhitungkan di kancah Internasional.