Dengarkan Artikel
Oleh Alkhair Al-Johore@
Di antara pena yang bersinar,
Banyak suara, tetapi sunyi.
Seperti embun pagi menanti mentari,
Hiduplah bait-bait yang berdiri sendiri.
Penulis datang silih berganti,
Ada yang terperuk di kerusi roda
Ada yang terbaring dek angin akhmar
Ada yang hampir alzheimer
Layaknya dedaunan kuning jatuh kering
Menyemai kritik di bumi,
Membuang busuk, bangkai kata tersakiti.
Dalam dunia tulisan yang serba kreatif,
Kita terperangkap dalam seribu jargon.
“Seni adalah suci” – kata mereka sinis,
Namun, realiti semakin berantakan.
Penyair berpuisi tentang kemakmuran,
Sementara korupsi menjadi “kebudayaan.”
Kita menari dalam ironi, menjijikkan,
Negara kaya, rakyat miskin terbeban.
Di sudut sana, siapa yang mendengarkan?
Kata-kata falsafah hampa, riuh tak berfaedah.
Apakah sastera hanya alat bersuka?
Ataukah ia pedang bagi suara rakyat jelata?
Di saat pena terpencar, suaranya bersoal,
Mengapa manusia berputar dalam kegelapan?
Dengan imajinasi, biarpun kaku,
Kita ingin memprovokasi, tapi suara tak menonjol.
Penyair berjalan, di lorong-lorong remang,
Menghadapi cermin sosial yang berdebu.
Seni seharusnya memaksa kita bertanya,
Namun ia terjebak dalam angan-angan hampa.
Apakah kita hanya terus menanti?
Bait demi bait tidak berfungsi,
Bila kita dapat memberi kuasa kepada suara?
Pena dan kertas adalah rempah,
bukan panah!
Pena tajam penulis ditumpulkan oleh badan Ngo sendiri
Suara penyair dibisu dan dibonsaikan
Banyak syarat di rantai besi
Pada lidah pena penulis yang berani dan jujur.
Jadilah puisi yang beku dan jumud
Berselut dan berlumut!
Adakah puisi untuk mengampu dan menjilat?
Adakah puisi untuk asmaraloka dan cinta berahi?
Usah dimandulkan senandung bahasa
Atau mahu dikasi atau dikembiri saje!
Biar bergelempang sajak dan puisi
Berdebu dan berterbangan seumpama sampah!
Alkhair Aljohore@
Johor, Malaysia
22.10.24
#belangsung kawa rakan-rakan, penulis sejati.