Dengarkan Artikel
Oleh Rival, S
Mahasiswa D3 Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh
Sabtu, 19 Oktober 2024 lalu, Aku Bersama dengan teman- temanku, Anfal, Icun, dan Ibel, berencana pergi refreshing, untuk keluar dari perkara pusingnya konsultasi dan menyusun laporan akhir belakangan ini. Awalnya kami berencana pergi ke bukit tebing Lamreh, di Aceh Besar, Aceh untuk “cuci mata” melihat alam hijau dan laut biru, tapi, di tengah perjalanan awan mendung dan hujan deras menghalangi perjalanan kami. Kondisi ini memaksa kami untuk menepi dan berteduh.
Padahal belum sampai setengah perjalanan ke bukit tebing Lamreh, saat itu terbesit dalam ingatan Icun, ada situs bersejarah di dekat tempat kami berteduh, di daerah Ladong, Kecamatan Masjid Raya, juga di Aceh Besar, yaitu situs “Benteng Indrapatra”. Maka, kami putuskan setelah hujan agak mereda, untuk berbelok sedikit dari tujuan kami, ke arah situs tersebut.
Anehnya, Aku orang Aceh Besar, tapi baru pertama aku pergi ke situs tersebut (mungkin karena merasa bisa pergi kapan saja, jadi tidak terlintas di pikiranku inisiatif untuk pergi ke sana dari diri sendiri).
Awalnya kukira situs benteng Indrapatra seperti tempat wisata biasa, yang ramai dan banyak orang berfoto-foto. Eh, setelah sampai di sana, ternyata tempatnya lumayan sepi, tidak seperti bayanganku. Entah karena hari Sabtu dan bukan hari Minggu, atau tempatnya memang sesepi itu pada hari biasa.
Aku melihat ada sisa sisa bangunan benteng utama berbentuk persegi dengan ukuran kira kira 70×70 meter, dan satu benteng terpisah. Posisi bentengnya cukup strategis, karena berhadapan ke arah laut, hanya beberapa ratus meter saja.
Aku mencoba mencari tahu atau menggali informasi lebih lanjut tentang benteng bersejarah ini. Berdasarkan batu informasi yang terdapat pada benteng tersebut, benteng Indrapatra diperkirakan sudah ada jauh sebelum munculnya Kesultanan Aceh Darussalam (pada awal abad ke-16). Berdasarkan informasi yang kutelusuri dari internet, benteng Indrapatra dibangun pada masa Kerajaan Lamuri. Kerajaan Lamuri diperkirakan sudah ada sejak abad ke-7 sebelum masuknya pengaruh agama Islam di Aceh (fyi pengaruh Islam masuk ke Aceh pada abad ke-9 sampai ke-10 Masehi, hingga kuatnya pengaruh Islam pada abad ke-13 Masehi di masa Kesultanan Samudera Pasai).
Rasa ingin tahuku semakin mengkristal. Karena Aku penasaran kenapa benteng ini dinamakan “Indrapatra” . Aku coba membaca dan mencari informasi di internet. Dari semua informasi yang ku baca, aku dapat simpulkan karena dibangun pada masa kerajaan Lamuri, yang mana pada masa sebelum pengaruh Islam masuk ke Aceh, pengaruh Hindu lebih dahulu ada di masa itu. Kerajaan Lamuri sendiri dikenal sebagai kerajaan yang awalnya menganut agama Hindu-Buddha.
Pengaruh Hindu masuk ke Aceh dari jalur perdagangan dari selat Malaka, Jadi, Nama “Indra” sering dikaitkan dengan tokoh mitologi Hindu yang merupakan dewa langit dan hujan, sedangkan “Patra” bisa berarti “tempat” atau “kekuasaan.” Jadi, nama “Indrapatra” mungkin mengacu pada “tempat kekuasaan Dewa Indra” atau “benteng Indra.”
Kalau berdasarkan batu informasi/plakat di situs benteng tersebut, benteng ini pernah difungsikan sebagai tempat pertahanan utama untuk membendung serangan dan mengusir musuh dari arah selat Malaka yang mana selat Malaka sendiri merupakan jalur perdagangan strategis pada masa itu.
Di dalam benteng, terdapat sisa sisa gazebo atau apalah yang mana didalamnya ada sumur/sumber air. Nah, sebagai mahasiswa D3 teknik sipil, aku cukup kagum dengan ketahanan dan kekokohan benteng Indrapatra ini. Bagaimana orang di abad ke-7 membangun benteng tangguh dengan material batu kapur dan bongkahan batu gunung yang direkatkan dengan campuran kapur, tumbukan kulit kerang, tanah liat, dan putih telur? Bangunan itu dapat bertahan di masa-masa perang Kesultanan Aceh hingga masih bertahan dari terjangan tsunami Aceh tahun 2004.
Sebenarnya benteng ini cukup bagus. Tempatnya tidak kotor, dan tidak ramai. Secara pribadi, aku suka dengan suasananya, suasana perpaduan kenangan sejarah dan ketenangan laut, tentunya di luar masa masa perang dahulu.
Setelah cuaca lebih cerah dan kekaguman terhadap situs tersebut kami rasa sudah cukup, kami melanjutkan perjalanan kami kembali menuju Bukit Tebing Lamreh
𝘗𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 : 𝘙𝘪𝘷𝘢𝘭. 𝘚
Mahasiswa D3 teknik sipil USK