Dengarkan Artikel
Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si
Kecemasan atau fobia terhadap kamera atau difoto, yang dikenal sebagai fotofobia (meskipun istilah ini juga bisa merujuk pada kepekaan terhadap cahaya) atau scopophobia (ketakutan akan dilihat atau ditatap), bisa menjadi pengalaman yang sangat mengganggu bagi sebagian orang. Meskipun secara rasional banyak orang berpendapat bahwa batas antara ruang privat dan publik sudah jelas, persepsi individu terhadap privasi seringkali lebih kompleks dan bersifat pribadi.
Fobia kamera bukan sekadar “tidak suka difoto” atau “malu”. Ini adalah kecemasan yang intens dan irasional yang dapat memicu respons fisik dan emosional yang signifikan, seperti detak jantung cepat, berkeringat, gemetar, napas pendek, mual, bahkan serangan panik (Davey 2018). Pemicunya bisa beragam, mulai dari ketakutan akan penilaian orang lain, ketidakpuasan dengan penampilan, hingga pengalaman traumatis di masa lalu yang melibatkan difoto atau direkam (Antony dan Swinson 2017).
Beberapa alasan mengapa seseorang memiliki fobia kamera meliputi: (1) Citra Diri Negatif: Orang yang tidak puas dengan penampilan mereka mungkin merasa sangat cemas saat difoto karena takut melihat diri mereka dalam cahaya yang tidak menyenangkan. (2) Ketakutan akan Penilaian: Ada ketakutan bahwa foto akan diunggah ke media sosial dan menjadi sasaran kritik atau ejekan. (3) Hilangnya Kontrol: Merasa kehilangan kontrol atas citra mereka atau bagaimana gambar mereka akan digunakan setelah diambil. (4) Pengalaman Traumatis: Beberapa orang mungkin memiliki pengalaman negatif di masa lalu yang terkait dengan foto, seperti foto yang disalahgunakan atau menjadi bagian dari intimidasi. (5) Gangguan Kecemasan Sosial: Fobia kamera bisa menjadi bagian dari gangguan kecemasan sosial yang lebih luas, di mana individu merasa takut akan situasi sosial dan diperiksa oleh orang lain (Stein dan Stein 2008).
Persepsi Ruang Privat dan Publik
Meskipun secara hukum dan sosial ada definisi yang jelas tentang ruang privat dan publik, persepsi individu terhadap privasi dapat bervariasi. Apa yang kita anggap sebagai ruang publik yang aman untuk kamera, mungkin dirasakan sebagai invasi privasi oleh orang yang menderita fobia.
Banyak orang dengan tepat mengidentifikasi bahwa toilet atau bilik pengakuan dosa adalah ruang privat meskipun berada di fasilitas publik. Namun, bagi sebagian orang, kamera di tempat-tempat seperti toko swalayan atau kampus bisa terasa seperti pengawasan yang terus-menerus, bahkan jika tidak ada niat buruk. Ini bukan berarti mereka tidak memahami perbedaan antara privat dan publik, tetapi kecemasan mereka memutarbalikkan persepsi tersebut.
Fobia kamera “harus dihapuskan” dan “adalah penyakit psikososial yang berbahaya” menyoroti dampak serius dari kondisi ini. Namun, menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa begitu saja dihilangkan mungkin kurang realistis. Fobia adalah kondisi kesehatan mental yang membutuhkan pemahaman dan dukungan, bukan sekadar penolakan atau penghapusan paksa.
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fobia dan bagaimana hal itu memengaruhi individu dapat membantu mengurangi stigma dan meningkatkan empati. Fobia dapat diobati dengan berbagai terapi, seperti terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi pajanan (exposure therapy). CBT membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif yang terkait dengan fobia, sementara terapi pajanan secara bertahap memperkenalkan individu pada pemicu fobia dalam lingkungan yang aman dan terkontrol (Antony dan Swinson 2017).
Di ruang publik, mungkin ada kebutuhan untuk menyeimbangkan hak untuk mengambil foto dengan kenyamanan individu. Ini bisa berarti adanya zona “bebas foto” di beberapa area atau meningkatkan kesadaran tentang kesopanan saat mengambil foto di sekitar orang lain. Mengakui fobia sebagai kondisi kesehatan mental yang valid dan mempromosikan akses ke layanan kesehatan mental adalah kunci untuk membantu individu yang menderita.
Fotofobia atau scopophobia adalah kondisi nyata yang dapat menyebabkan penderitaan signifikan. Alih-alih menyalahkan individu, pendekatan yang lebih efektif adalah memahami akar penyebab fobia dan menyediakan dukungan serta sumber daya yang diperlukan untuk membantu mereka mengelola dan mengatasinya.
Mari kita telaah scopophobia atau fotofobia dari perspektif antropologi psikologi. Bidang ini menjembatani kajian budaya (antropologi) dengan proses mental dan perilaku individu (psikologi), menawarkan pemahaman yang lebih kaya tentang bagaimana pengalaman internal terbentuk oleh konteks sosial dan budaya.
Scopophobia dan Fotofobia dalam Lensa Antropologi Psikologi
Dari sudut pandang antropologi psikologi, scopophobia (ketakutan ekstrem terhadap ditatap atau dilihat) dan fotofobia (ketakutan ekstrem terhadap difoto atau kamera) bukan sekadar masalah individual, melainkan fenomena yang sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya dan pengalaman sosial.
Dalam banyak kebudayaan, identitas seseorang sangat terkait dengan bagaimana mereka dipersepsikan oleh komunitas. Pandangan orang lain, baik secara langsung maupun melalui media seperti foto, dapat menjadi penentu status, reputasi, dan harga diri. Bagi penderita scopophobia, tatapan orang lain atau lensa kamera bisa diinterpretasikan sebagai penilaian, pengawasan, atau bahkan ancaman, yang dapat mengikis rasa aman identitas mereka (Durkheim 1912). Ini bukan hanya tentang rasa malu pribadi, tetapi rasa terancamnya “wajah” atau citra diri yang telah dibangun dalam konteks sosial.
Dalam budaya modern yang didominasi oleh media sosial dan representasi visual, ada tekanan besar untuk menyajikan diri yang “sempurna” atau sesuai harapan. Foto menjadi alat utama representasi ini. Bagi mereka yang fobia, kamera merampas kemampuan mereka untuk mengontrol representasi diri ini. Hasil foto bisa jadi tidak sesuai dengan citra ideal yang ingin mereka tampilkan, atau bahkan menyebar tanpa izin, sehingga memicu kecemasan akan hilangnya agensi atas diri mereka di ranah publik (Goffman 1959).
Di banyak kebudayaan, konsep “mata jahat” (evil eye) masih sangat kuat. Tatapan atau pandangan tertentu diyakini dapat membawa kemalangan atau penyakit. Meskipun fobia kamera modern tidak secara langsung terkait dengan takhyul ini, akar historis ketakutan akan pandangan orang lain bisa jadi memiliki resonansi budaya. Kamera, sebagai “mata” mekanis yang merekam, bisa secara tidak sadar memicu ketidaknyamanan primordial terhadap pengawasan yang merugikan (Malinowski 1922).
Beberapa kebudayaan memiliki tabu atau pantangan terkait pengambilan gambar individu atau objek tertentu, terutama jiwa atau roh. Meskipun masyarakat modern umumnya tidak lagi memegang kepercayaan bahwa foto dapat “mencuri jiwa,” sisa-sisa pemikiran ini mungkin berkontribusi pada ketidaknyamanan bawah sadar terhadap kamera, terutama jika ada riwayat budaya yang kuat terkait hal tersebut.
Panopticon Sosial
Perkembangan teknologi digital dan media sosial telah mengubah sifat “dilihat” dan “difoto”. Dulu, foto adalah peristiwa sesekali; kini, kamera ada di mana-mana, dan gambar bisa menyebar secara instan. Ini menciptakan “panopticon sosial” di mana individu merasa selalu diawasi atau berpotensi terekam (Foucault 1975). Bagi mereka yang rentan, intensitas pengawasan visual ini bisa menjadi sangat membanjiri, memicu rasa cemas yang kronis.
Budaya media sosial juga mempromosikan bentuk narsisme baru dan perbandingan sosial yang konstan. Tekanan untuk terlihat baik di foto, dan melihat foto “sempurna” orang lain, dapat memperburuk ketidakpuasan tubuh dan kecemasan sosial, yang pada gilirannya memperkuat fobia terhadap kamera.
Seseorang mungkin memiliki fobia kamera karena pengalaman traumatis di mana kamera atau foto memainkan peran, seperti difoto dalam situasi memalukan yang kemudian viral, menjadi korban doxing (penyebaran informasi pribadi) melalui foto, atau menjadi target cyberbullying yang melibatkan gambar. Pengalaman-pengalaman ini, meskipun bersifat pribadi, terjadi dalam bingkai budaya digital yang memfasilitasi trauma tersebut.
Lingkungan sosial tertentu mungkin secara tidak langsung memperparah scopophobia atau fotofobia. Misalnya, lingkungan sekolah atau tempat kerja yang sangat kompetitif dan menekankan penampilan, atau keluarga yang terlalu kritis terhadap citra fisik, dapat menanamkan kecemasan yang termanifestasi sebagai fobia terhadap kamera.
Singkatnya, antropologi psikologi melihat scopophobia dan fotofobia sebagai manifestasi dari interaksi kompleks antara psikologi individu (predisposisi genetik, riwayat pribadi) dan lingkungan sosiokultural (norma kecantikan, penggunaan teknologi, sistem kepercayaan). Fobia ini bukan sekadar ketakutan individual yang irasional, tetapi sebuah respons yang terbentuk dan diperkuat oleh cara masyarakat kita terstruktur dan cara kita saling memandang dan merepresentasikan diri.[]
REFERENSI
Antony, Martin M., dan Richard P. Swinson. 2017. The Shyness and Social Anxiety Workbook: Proven, Step-by-Step Techniques for Overcoming Your Fear. Edisi ke-3. New York: Guilford Press.
Davey, Graham. The anxiety epidemic: The causes of our modern-day anxieties. Hachette UK, 2018.
Durkheim, Émile. 1912. The Elementary Forms of the Religious Life. New York: Free Press.
Foucault, Michel. 1975. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books.
Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Garden City, N.Y.: Doubleday.
Malinowski, Bronislaw. 1922. Argonauts of the Western Pacific: An Account of Native Enterprise and Adventure in the Archipelagos of Melanesian New Guinea. London: Routledge & Kegan Paul.
Stein, Murray B., dan Dan J. Stein. 2008. Social Anxiety Disorder: From Neurobiology to Treatment. Washington, D.C.: American Psychiatric
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




