Dengarkan Artikel
Oleh Emi Suy
Menulis, bagi Emi Suy, adalah semacam perjalanan batin. Ia tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari riuh kegelisahan, dari percakapan diam antara jiwa dan pengalaman. Menulis menjadi jembatan antara luka dan pemaknaan, sebuah jalan sunyi di mana energi negatif dijahit ulang menjadi kain kehidupan yang lebih utuh. Dalam arti ini, menulis bukan sekadar aktivitas rekreatif, melainkan terapi jiwa: sebuah katarsis yang mengubah perih menjadi kata, dan kata menjadi cahaya.
Menulis sebagai Terapi dan Katarsis
Setiap benturan hidup meninggalkan retakan. Namun, dalam menulis, retakan itu tidak ditutup rapat-rapat, melainkan diberi ruang untuk berbicara. Kata-kata menjadi benang, kalimat menjadi jahitan yang menyatukan sobekan rasa. Di sanalah proses terapi berlangsung: pelepasan, penerimaan, dan perdamaian. Menulis adalah upaya menjaga kewarasan, sebagaimana air yang terus mengalir agar tidak menjadi rawa yang keruh.
Puisi sebagai Medium Menjahit Luka
Pilihan terhadap puisi adalah pilihan pada bahasa yang paling intim. Puisi tidak lahir dari kehampaan, melainkan dari suara-suara berisik di kepala yang mencari pintu keluar. Ia seperti lorong kecil tempat seseorang bisa menghela napas, menyulam kata demi kata menjadi selimut yang menghangatkan luka. Bagi Emi Suy, menulis puisi adalah cara memeluk diri sendiri dan jika beruntung, pelukan itu sampai juga pada orang lain, menghibur, menguatkan, atau sekadar menemani ruang batin pembacanya.
Membaca sebagai Fondasi Menulis
Namun, setiap jahitan butuh pola. Membaca adalah pola itu. Membaca realitas, membaca kejadian, membaca perasaan, bahkan membaca diam. Menulis tanpa membaca ibarat menjahit tanpa cahaya benang bisa kusut, kain bisa sobek. Dengan membaca, penulis menyalakan lampu di ruang kerjanya: ia bisa melihat lebih jernih, memilih warna kata dengan lebih sadar, dan menenun pengalaman menjadi karya yang bermakna.
Publikasi sebagai Cermin Kualitas
Karya yang dipublikasikan ibarat layang-layang yang dilepas ke langit. Ia bisa terbang tinggi, bisa juga jatuh tersangkut di dahan. Tetapi justru di situlah nilai publikasi: memberi kesempatan karya menemukan takdirnya. Proses kurasi redaksi dan respon pembaca menjadi cermin yang memperlihatkan kualitas tulisan. Seperti wajah yang tak bisa kita lihat tanpa cermin, kualitas karya pun lebih mudah dikenali oleh orang lain dibanding oleh diri sendiri.
Sastra sebagai Penjaga Kemanusiaan
Di tengah deru mesin digital dan kecerdasan buatan yang kian canggih, sastra tetap hadir sebagai pengingat: bahwa manusia tidak hanya mesin berpikir, tetapi juga jiwa yang perlu disentuh. Sastra memperhalus karakter, mengajari kita arti empati, dan menjaga kehangatan dalam peradaban yang dingin oleh algoritma.
Sebagaimana dikatakan Simone de Beauvoir, “Sastra adalah saksi hidup dari perjuangan manusia untuk menemukan dirinya sendiri.” Maka menulis puisi, betapapun sederhana, adalah upaya kecil yang ikut menjaga api kemanusiaan agar tidak padam.
Proses kreatif menulis bagi Emi Suy adalah proses menjahit ulang diri sendiri. Dari luka lahirlah kata, dari kata lahirlah makna, dari makna lahirlah keteguhan untuk melanjutkan hidup. Menulis adalah terapi sekaligus perayaan, katarsis sekaligus pencerahan, pribadi sekaligus sosial. Pada akhirnya, setiap tulisan akan menemui takdirnya sendiri, sebagaimana benih yang jatuh di tanah: ada yang hilang dimakan burung, ada yang tumbuh menjadi pohon rindang. Dan menulis adalah ikhtiar menanam, dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti, pohon itu akan memberi teduh bagi siapa pun yang singgah di bawahnya.
Epilog: Puisi sebagai Peta Jalan Pulang
Pada akhirnya, puisi bukan hanya rangkaian kata, melainkan sebuah peta jalan pulang. Jalan yang menuntun jiwa dari ketercerai-beraian menuju keutuhan. Dari riuh kegelisahan menuju ruang sunyi yang damai. Puisi adalah kompas yang menunjukkan arah ketika batin tersesat di hutan luka, sekaligus obor kecil yang menyala di lorong gelap kehidupan.
Bagi perempuan, menulis puisi adalah kerja menjahit: jahitan yang mungkin sederhana, tapi cukup untuk menutup robekan yang menganga di dalam diri. Dengan jarum kata dan benang makna, perempuan bisa menyulam perih menjadi keindahan, kerapuhan menjadi kekuatan. Tidak ada yang bisa menjahit luka itu selain dirinya sendiri dan puisi memberi ruang serta bahasa untuk itu.
Rainer Maria Rilke pernah menulis: “Puisi lahir bukan dari perasaan yang mudah, melainkan dari pengalaman yang dijalani sampai ke kedalamannya.” Barangkali karena itu, puisi selalu memberi jalan pulang: ia lahir dari luka, tapi sekaligus menjadi cahaya yang menuntun kita kembali pada rumah batin yang lebih utuh — rumah yang bernama kesembuhan.