https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Tuesday, September 23, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda # Bedah Puisi

Proses Kreatif Menulis: Dari Luka Menjadi Cahaya

Redaksi Oleh Redaksi
4 weeks ago
in # Bedah Puisi, # Tadarus Puisi, #Gerakan Menulis, Artikel, Baca Puisi, Budaya Menulis, Gemar menulis, Menulis
Reading Time: 3 mins read
A A
0
6
Bagikan
56
Melihat
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh Emi Suy

Menulis, bagi Emi Suy, adalah semacam perjalanan batin. Ia tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari riuh kegelisahan, dari percakapan diam antara jiwa dan pengalaman. Menulis menjadi jembatan antara luka dan pemaknaan, sebuah jalan sunyi di mana energi negatif dijahit ulang menjadi kain kehidupan yang lebih utuh. Dalam arti ini, menulis bukan sekadar aktivitas rekreatif, melainkan terapi jiwa: sebuah katarsis yang mengubah perih menjadi kata, dan kata menjadi cahaya.

Menulis sebagai Terapi dan Katarsis

Setiap benturan hidup meninggalkan retakan. Namun, dalam menulis, retakan itu tidak ditutup rapat-rapat, melainkan diberi ruang untuk berbicara. Kata-kata menjadi benang, kalimat menjadi jahitan yang menyatukan sobekan rasa. Di sanalah proses terapi berlangsung: pelepasan, penerimaan, dan perdamaian. Menulis adalah upaya menjaga kewarasan, sebagaimana air yang terus mengalir agar tidak menjadi rawa yang keruh.

Puisi sebagai Medium Menjahit Luka

Pilihan terhadap puisi adalah pilihan pada bahasa yang paling intim. Puisi tidak lahir dari kehampaan, melainkan dari suara-suara berisik di kepala yang mencari pintu keluar. Ia seperti lorong kecil tempat seseorang bisa menghela napas, menyulam kata demi kata menjadi selimut yang menghangatkan luka. Bagi Emi Suy, menulis puisi adalah cara memeluk diri sendiri dan jika beruntung, pelukan itu sampai juga pada orang lain, menghibur, menguatkan, atau sekadar menemani ruang batin pembacanya.

Membaca sebagai Fondasi Menulis

Namun, setiap jahitan butuh pola. Membaca adalah pola itu. Membaca realitas, membaca kejadian, membaca perasaan, bahkan membaca diam. Menulis tanpa membaca ibarat menjahit tanpa cahaya benang bisa kusut, kain bisa sobek. Dengan membaca, penulis menyalakan lampu di ruang kerjanya: ia bisa melihat lebih jernih, memilih warna kata dengan lebih sadar, dan menenun pengalaman menjadi karya yang bermakna.

📚 Artikel Terkait

Sajak dan Essai Alkhair Aljohore

ADAKAH SETITIK KERINDUAN UNTUKKU?

Potensi Guru Penggerak Dalam Memajukan Pendidikan

Puisi-Puisi Zach Baseer

Publikasi sebagai Cermin Kualitas

Karya yang dipublikasikan ibarat layang-layang yang dilepas ke langit. Ia bisa terbang tinggi, bisa juga jatuh tersangkut di dahan. Tetapi justru di situlah nilai publikasi: memberi kesempatan karya menemukan takdirnya. Proses kurasi redaksi dan respon pembaca menjadi cermin yang memperlihatkan kualitas tulisan. Seperti wajah yang tak bisa kita lihat tanpa cermin, kualitas karya pun lebih mudah dikenali oleh orang lain dibanding oleh diri sendiri.

Sastra sebagai Penjaga Kemanusiaan

Di tengah deru mesin digital dan kecerdasan buatan yang kian canggih, sastra tetap hadir sebagai pengingat: bahwa manusia tidak hanya mesin berpikir, tetapi juga jiwa yang perlu disentuh. Sastra memperhalus karakter, mengajari kita arti empati, dan menjaga kehangatan dalam peradaban yang dingin oleh algoritma.

Sebagaimana dikatakan Simone de Beauvoir, “Sastra adalah saksi hidup dari perjuangan manusia untuk menemukan dirinya sendiri.” Maka menulis puisi, betapapun sederhana, adalah upaya kecil yang ikut menjaga api kemanusiaan agar tidak padam.

Proses kreatif menulis bagi Emi Suy adalah proses menjahit ulang diri sendiri. Dari luka lahirlah kata, dari kata lahirlah makna, dari makna lahirlah keteguhan untuk melanjutkan hidup. Menulis adalah terapi sekaligus perayaan, katarsis sekaligus pencerahan, pribadi sekaligus sosial. Pada akhirnya, setiap tulisan akan menemui takdirnya sendiri, sebagaimana benih yang jatuh di tanah: ada yang hilang dimakan burung, ada yang tumbuh menjadi pohon rindang. Dan menulis adalah ikhtiar menanam, dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti, pohon itu akan memberi teduh bagi siapa pun yang singgah di bawahnya.

Epilog: Puisi sebagai Peta Jalan Pulang

Pada akhirnya, puisi bukan hanya rangkaian kata, melainkan sebuah peta jalan pulang. Jalan yang menuntun jiwa dari ketercerai-beraian menuju keutuhan. Dari riuh kegelisahan menuju ruang sunyi yang damai. Puisi adalah kompas yang menunjukkan arah ketika batin tersesat di hutan luka, sekaligus obor kecil yang menyala di lorong gelap kehidupan.

Bagi perempuan, menulis puisi adalah kerja menjahit: jahitan yang mungkin sederhana, tapi cukup untuk menutup robekan yang menganga di dalam diri. Dengan jarum kata dan benang makna, perempuan bisa menyulam perih menjadi keindahan, kerapuhan menjadi kekuatan. Tidak ada yang bisa menjahit luka itu selain dirinya sendiri dan puisi memberi ruang serta bahasa untuk itu.

Rainer Maria Rilke pernah menulis: “Puisi lahir bukan dari perasaan yang mudah, melainkan dari pengalaman yang dijalani sampai ke kedalamannya.” Barangkali karena itu, puisi selalu memberi jalan pulang: ia lahir dari luka, tapi sekaligus menjadi cahaya yang menuntun kita kembali pada rumah batin yang lebih utuh — rumah yang bernama kesembuhan.

📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share2SendShareScanShare
Redaksi

Redaksi

Majalah Perempuan Aceh

Related Postingan

Sekolah Masa Lalu Untuk Anak Masa Depan, Bagai Kaset Rusak yang Kendur Pitanya
#Pendidikan

Sekolah Masa Lalu Untuk Anak Masa Depan, Bagai Kaset Rusak yang Kendur Pitanya

Oleh Frida Pigny
2025/08/01
0
200

Oleh: @Frida.Pigny | https://superschool.ing Ketika kita bertanya, apakah sistem pendidikan dulu lebih baik daripada sekarang? Sering kali yang muncul bukan...

Baca SelengkapnyaDetails

Perempuan Setara

Nasionalisme Jawa-Sentris

Postingan Selanjutnya

Di Ujung Keputusan Ada Harapan

114 Tahun Sawit Aceh Ramah Anak

Puisi-Puisi Agus Yulianto

PBAK FDK 2025: Investasi Karakter Generasi Muda

Merangkai Kata, Menghidupkan Rasa: Cipta Puisi & Wawasan Kebangsaan Republik Rakyat Literasi RRL Kreatif Menggetarkan Hati & Jiwa

Merangkai Kata, Menghidupkan Rasa: Cipta Puisi & Wawasan Kebangsaan Republik Rakyat Literasi RRL Kreatif Menggetarkan Hati & Jiwa

POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

🔥 Artikel Paling Banyak Dibaca

Kabar Redaksi
Kabar Redaksi
👁️ 1,072 pembaca 📅 2 Feb 2025
Mengelabui Kata Mulia Untuk Senantiasa Istiqamah
Mengelabui Kata Mulia Untuk Senantiasa Istiqamah
👁️ 1,352 pembaca 📅 7 Sep 2025
Menanti Buah Hati di Negeri Orang
Menanti Buah Hati di Negeri Orang
👁️ 1,250 pembaca 📅 11 Sep 2025
Mengintegrasikan Pendidikan Kebangsaan Indonesia dalam Pelatihan Beauty Queen yang Berbudaya dan Berkepribadian Indonesia
Mengintegrasikan Pendidikan Kebangsaan Indonesia dalam Pelatihan Beauty Queen yang Berbudaya dan Berkepribadian Indonesia
👁️ 986 pembaca 📅 7 Sep 2025
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00