Dengarkan Artikel
Oleh: [Al Asy’ari] – Konservasi Kota, Mahasiswa Magister Arsitektur, Universitas Syiah Kuala
Apakah Jejak Sistem Perkeretaapian Kolonial Layak Diselamatkan?
Pusaka kota bukan hanya bangunan-bangunan indah yang berdiri megah, tetapi juga sistem dan jaringan yang membentuk identitas kolektif suatu kota. Salah satu warisan yang hampir terlupakan di Banda Aceh adalah sistem perkeretaapian kolonial, yang dikenal sebagai Trem Aceh. Sistem ini tidak hanya mencakup stasiun dan rel, tetapi juga perumahan pegawai, depo, dan pendukung lanskap yang membentuk suatu kawasan bersejarah. Sayangnya, warisan ini tersebar dalam kepingan-kepingan yang tersembunyi, dan terancam dilupakan oleh laju pembangunan modern.
Sistem Perkeretaapian Koetaradja adalah Infrastruktur Kolonial yang Terstruktur
Kereta api di Aceh dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1876, dimulai dari Stasiun Koetaradja membawa hasil bumi dari perdalaman Aceh menuju pelabuhan Ulee Lheue. Jalur ini kemudian tersebar ke wilayah pedalaman dan menjadi jaringan sepanjang ±502 km hingga Besitang. Jalur ini dikenal sebagai Atjeh Tramweg Maatschappij, meskipun fungsinya melampaui trem biasa, menjadi tulang punggung logistik dan militer kolonial. Jejaknya masih bisa dilihat dalam bentuk jembatan tua, pondasi rel, serta bangunan utilitas dan rumah pegawai di kawasan Blower (https://id.wikipedia.org/wiki/Atjeh_Tram).

Peta-peta lama menggambarkan bagaimana sistem ini terintegrasi dengan jaringan kota kolonial, pelabuhan Ulee Lheue, dan pasar Koetaradja, menunjukkan betapa strategis dan terencana sistem ini dibangun. Untuk menghubungkan bala bantuan tentara Hindia yang merupakan bagian dari jalur terkonsentrasi, diputuskanlah untuk membangun jalur kereta sepanjang 16 pos yang berbeda. Pos tersebut berada dalam lingkaran Koetaraja sebagai pusatnya (wikipedia.org/wiki/Atjeh_Tram). Rute yang dibangun:
1. 1884 Ketapang Doea

2. 1 Agustus 1884 Lambaro
3. 1885 Lam Joeng (via jembatan Demmeni, Kroeng Tjoet)
4. 1885 Ketapang Doea – Lam Djamee
5. 1885 Ketapang Doea – Lam Reng (via Lam ara dan Lam Peroet)
6. Juni 1886Lam Baroe – Lam Joeng (melalui Lam Permai, Tjot Iri, Roempit & ule Kareng)
7. 1885–1889 Lam Baroe – Lam Reng (dibuka kembali 1 Maret 1891)
8. Februari 1890 Lamb Tehoe – Lam Reng
Kawasan dan Jejak yang Masih Tersisa
Meski sebagian besar rel telah hilang, beberapa titik fisik masih dapat ditemukan di kawasan Lambaro dan Krueng Raya. Bangunan eks-kereta seperti rumah dinas, depo, dan pondasi jembatan masih berdiri, meski tak difungsikan. Ini membuktikan bahwa sistem perkeretaapian kolonial pernah membentuk morfologi dan dinamika ruang kota Banda Aceh.
Mengapa Perlu Dikonservasi sebagai Kawasan warisan?
Pendekatan konservasi yang hanya fokus pada satu bangunan akan gagal menangkap makna utuh dari sistem perkeretaapian Koetaradja. yang perlu dikaji adalah sistem sebagai lanskap budaya suatu jaringan fisik dan sosial yang membentuk ruang kota dan memori masyarakat. Sistem ini adalah bentuk awal dari pembangunan berorientasi transit di Aceh, dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan sosial yang berkembang di seputar jalur kereta dan stasiunnya.
Objek utama yang dapat dijadikan titik konservasi antara lain:
- Stasiun
- Depo dan bengkel kereta
- Jejak rel dan jembatan.
- Menara dan pos sinyal yang tersebar di sepanjang jalur.
Bagaimana konservasi pusaka kereta api yang dilakukan di kota-kota lain?
Upaya konservasi sistem perkeretaapian sebagai warisan kawasan telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia Contoh keberhasilan konservasi sistem perkeretaapian dapat dilihat di:
- Museum Kereta Api Ambarawa berhasil mengonservasi bangunan kolonial dan menghidupkan kembali jalur rel sebagai wisata kereta uap, menciptakan pengalaman sejarah yang edukatif dan utuh melalui pelestarian elemen pendukung kawasan.
- Kota Lama Semarang menampilkan jejak jalur kereta lama melalui desain lanskap, signage historis, dan narasi kota tanpa mengaktifkan kembali rel fisik, namun tetap mempertahankan peran historisnya dalam membentuk morfologi ruang kota.
- Surabaya Pelestarian Memori Kolektif Berbasis Teknologi, meskipun tidak ada aktivasi ulang rel, konservasi dilakukan melalui dokumentasi sejarah, pelabelan tapak, dan penyusunan rute berbasis aplikasi digital untuk mengedukasi publik tentang sistem trem kolonial sebagai bagian dari sejarah kota
Ketiga kota ini menunjukkan bahwa konservasi tidak selalu berarti restorasi fisik, tetapi juga bisa dilakukan melalui narasi, interpretasi ruang, dan pemanfaatan teknologi untuk menghidupkan kembali memori kolektif serta fungsi historis dalam wajah kota masa kini.
Pendekatan Konservasi yang Bisa Dilakukan di Banda Aceh
Beberapa pendekatan konservasi sistem perkeretaapian Koetaradja antara lain:
- Pelestarian Fisik dan Arsitektur yaitu melindungi struktur sisa seperti stasiun, jembatan, dan rumah pegawai dengan intervensi minimal.
- Kawasan Konservasi dengan menetapkan jalur lama sebagai zona warisan yang mempertahankan pola ruang dan fungsi sosial.
- Interpretasi dan Edukasi Publik membuat papan informasi, jalur tematik, dan aplikasi digital untuk mengenalkan sejarahnya.
- Fungsi Ulang (Adaptive Reuse) yaitu menghidupkan kembali bangunan lama sebagai museum, galeri, atau ruang komunitas.
- Pelibatan Komunitas dengan mengajak masyarakat, sejarawan, dan pemerintah dalam menyusun narasi sejarah bersama.
- Revitalisasi jalur historis dengan menjadikan jalur lama sebagai taman linear, jalur sepeda, atau jalur wisata sejarah.
Penutup
Konservasi sistem perkeretaapian kolonial di Banda Aceh bukan semata upaya menyelamatkan bangunan tua atau rel yang tersisa, tetapi sebuah langkah strategis dalam merawat memori kolektif kota dan menumbuhkan kembali kesadaran akan identitas ruang yang terbentuk dari sejarah panjang interaksi sosial dan teknologi. Koetaradja, sebagai simpul penting dalam jaringan logistik dan transportasi kolonial, menyimpan potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan warisan yang tidak hanya bernilai sejarah, tetapi juga edukatif dan ekonomis melalui pariwisata berbasis sejarah kota.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini





