Dengarkan Artikel
Oleh Tabrani Yunis
Bagian kedua
Pagi ini, Kamis 20 Maret 2025, saya diajak ikut berbicara dalam acara Selebrasi pagi, yang merupakan program dari radio Antero, Banda Aceh. Kali ini radio ini mengangkat tema tentang Rapor Pendidikan Aceh dengan menghadirkan beberapa narasumber secara online. Saya salah satunya.
Nah, ketika menerima undangan lewat WhatsApp yang mengangkat tema rapor pendidikan Aceh, ingatan saya kembali kepada sebuah tulisan saya yang belum tuntas atau selesai saya tulis. Ya, tulisan yang sudah lama ingin diselesaikan, namun masih tetap terbengkalai.Tulisan itu, pun ingin ditulis sebagai lanjutan dari tulisan sebelumnya. Tulisan bagian pertama yang merupakan tulisan awal, untuk melanjutkan telaahan terhadap kegiatan Refleksi Akhir Tahun 2024, Sektor Pendidikan Aceh, yang dimuat di Potretonline, pada Hari Rabu, 24 Desember 2024. Tulisan itu telah mendapat respon beragam dari para pembaca.
Kala itu, respon-respon yang penulis terima secara langsung di meja- meja Warung Kopi, ketika menikmati sajian, Arabica Gayo High land coffee dan juga lewat pesan di Whatsapp usai membaca tulisan itu. Ada yang komentar singkat, seperti mantap kali tulisannya. Ada pula yang menambahkan informasi lain yang mengayakan perspektif penulis terkait masalah yang dibicarakan.
Sayangnya tulisan kedua untuk keberlanjutannya tertunda-tunda karena, kegiatan lain, membaca, mengedit tulisan-tulisan yang masuk ke meja redaksi Majalah POTRET (Potretonline.com) dan Majalah Anak Cerdas (majalahanakcerdas.com), yang semakin hari terus bertambah banyak tulisan masuk. Tulisan-tulisan yang harus didahulukan pemuatannya, agar bisa mempercepat kebahagiaan para penulis di POTRET dan Majalah Anak Cerdas.
Nah, pagi ini ketika sedang duduk sejenak di sebuah bangku Panjang, terbuat dari Kayu, di depan POTRET Gallery yang berada di jalan Prof. Ali Hasyimi, Banda Aceh, penulis diingatkan kembali oleh acara selebrasi pagi pada kegiatan yang bertajuk “Refleksi Akhir tahun Pendidikan Aceh” yang menghentak keluarnya pertanyaan di benak.
Apa yang menghentak, reaksi saya dengan kedua acara tersebut? Ada yang membuat saja jengah ketika kegiatan Refleksi Akhir tahun pendidikan Aceh dan acara selebrasi pagi tentang rapor pendidikan Aceh adalah terkait penggunaan frasa Pendidikan Aceh. Walau sebenarnya ini diangagp masalah kecil atau remeh temeh. Bagi saya, penggunaan frasa Pendidikan Aceh itu sangat rancu dan keliru. Kerancuan itu, terasa ketika adas klaim tentang kualitas Pendidikan, misalnya. Kita sering sekali mendengar atau membaca berita atau ulasan yang menyebutkan kualitas Pendidikan Aceh rendah.
Tentu ketika mendengar ungkapan tersebut, muncul pertanyaan lanjutan, Pendidikan yang mana? Formal, informasl atau non formal? Lalu, adakah disebutkan Pendidikan Aceh di dalam qanun nomor 11 tahun 2014 tentang penyelenggaraan Pendidikan di Aceh? Sebaiknya diamati. Maka, pertanyaan lanjutan adalah adakah system Pendidikan Aceh? Kalau ada seperti apa konsep Pendidikan Aceh tersebut.
Semoga saya tidak silap, sebab setelah diamati, tidak ditemukan frasa Pendidikan Aceh. Oleh sebab itu, ketika membaca berita dan juga tulisan di spanduk bertuliskan refleksi akhir tahun pendidikan Aceh di acara yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Aceh ini, frasa itu terasa begitu mengganjal. Bagaimana Dinas Pendidikan Aceh melakukan refleksi akhir tahun pendidikan Aceh yang saya fahami itu, tidak mungkin. Saya bertanya, apa yang dimaksudkan dengan Pendidikan Aceh, mengapa Dinas Pendidikan yang wilayah atau tupoksinya membawahi insitusi Pendidikan setingkat SMA/SMK dan SLB melakukan refleksi Pendidikan Aceh yang seharusnya merefleksikan secara holistic tentang system Pendidikan Aceh? Lalu, pagi ini, pada acara selebrasi pagi di radion Antero 102 FM, mengangkat tema rapor Pendidikan Aceh. Lalu muncul pertanyaan baru, apakah rapor Pendidikan Aceh tersebut memuat semua hasil evaluasi terhadap semua institusi dan jenjang Pendidikan Pendidikan di Aceh dari jenjang Pendidikan dasar (SD), Mengengah Pertama (SMP), Menengah Atas (SMA/SMK) serta Perguruan Tinggi yang ada di Aceh? Ternyata dalam penjelasan Kadisdik provinsi Aceh, hanya mengcover jenjang SMA/SMK, sementara rapor adalah Pendidikan Aceh. Bukankah ini sebuah kerancuan?
Kiranya, walau pertanyaan yang remeh temeh dan adanya kerancuan berfikir tentang Pendidikan Aceh, pertanyaan konfirmatif tersebut perlu dijawab agar kita tidak salah persepsi, kalau tidak dikatakan sesat pikir. Dikatakan demikian, karena sesungguhnya selama ini, kita selalu disuguhkan dengan berita-berita atau kabar yang tidak pas mengenai pendidikan yang selama ini cenderung mengejar status citra dengan cara-cara yang tidak menjawab persoalan dasar atau akar masalah pendidikan di Aceh, khususnya.
Sehingga apa yang terjadi di tengah masayarakat dan juga pemerintahan Aceh salah dalam menilai Pendidikan di Aceh. Misalnya, ketika angka kelulusan tamatan SMA/ SMK ke perguruan tinggi, yang disalahkan adalah Pendidikan Aceh. Padahal yang bermasalah adalah jenjang SMA/SMK, tetapi yang tertuduh adalah Pendidikan Aceh secara keseluruhan. Akibatnya, seperti kata pepatah lama, gara-gara nila setitik, rusak gulai sebelanga. Ya, gara-gara kualitas SMA/SMK yang rendah, semua sektor dan jenjang Pendidikan di Aceh dikatakan rendah. Inilah satu dari sekian banyak dampak buruk menggunakan frasa Pendidikan Aceh dan Pendidikan di Aceh.
Padahal, saat ini salah satu perguruan tinggi negeri yang menjadi jantong hate rakyat Aceh, mendapat pengakuan sebagai Universitas terbaik di luar Jawa. Walau masih kita lakukan verifikasi, apanya yang terbaik? Apakah terbaik karena banyak memiliki professor tersohor, atau karena lulusan USK mampu bersaing dengan lulusan Universitas ternama di Indonesia, seperti UI, UGM, dan lain-lain?
Jadi, sekali lagi selama ini penggunaan frasa pendidikan Aceh dalam konteks tupoksi Dinas Pendidikan Provinsi Aceh, merupakan tindakan yang menggeneralisasi pendidikan Aceh. Padahal, kita tidak bisa mengklaim bahwa rapor pendidikan Aceh tahun 2025 ini menunjukan tren positif, bila yang dinilai hanya pada level dan ruang lingkup kerja Dinas Pendidikan Provinsi Aceh pada jenjang pendidikan SMA/SMK dan SLB itu. Lalu disebut sebagai rapor Pendidikan Aceh. Bagaimana dengan Madrasah dari MIN, MTsN, MAN yang dikelola oleh Kemenag, apakah masuk dalam rapor tersebut? Bagaimana dengan SMK yang dikelola oleh Dinas lain?
Ya, yang harus diingat juga bahwa selain, persoalan jenjang pendidikan, pengelola atau penyelenggara pendidikan di Aceh bukan hanya dinas pendidikan provinsi, tetapi ada lagi badan dayah yang mengelola dayah di Aceh, serta dinas lain yang mengelola pendidikan seperti dinas perindustrian, dinas pertanian dan lain. Bagaimana melakukan refleksi pendidikan Aceh, apabila semua dinas dan badan yang mengelola pendidikan di Aceh tidak terlibat kala dinas pendidikan provinsi Aceh melakukan refleksi akhir tahun pendidikan Aceh? Selayaknya kita, termasuk Dinas Pendidikan Provinsi Aceh yang selama ini juga menggunakan frasa Dinas Pendidikan Aceh, harus segera mengubah cara pandang dan pemahaman mengenai frasa Pendidikan Aceh tersebut. Jangan melakukan tindakan generalisasi terhadap Pendidikan di Aceh.Kesalahan ini akan berakibat buruk terhadap citra Lembaga-lembaga dan jenjang penidikan lainnya di Aceh gara-gara, rendahnya kualitas satu jenjang Pendidikan yang ada di Aceh semisal jenjang SMA dan SMK tersebut.
Oleh sebab itu, pemhaman dan tindakan yang keliru dalam penggunaan dua frasa Pendidikan di Aceh dan kekeliriuan mengguankan frasa Pendidikan Aceh itu, harus segera diluruskan, agar tidak menimbulkan sesat pikir dalam melihat dan menilai Pendidikan di Aceh. Untuk itu, Dinas Pendidikan sendiri harus menggantikan papan nama yang terpampang di depan kantor yang bertuliskan Dinas Pendidikan Aceh dengan nama yang benar, Dinas Pendidikan Provinsi, Aceh. Bila ini dilakukan, akan ikut mengubah persepsi Masyarakat tentang tata Kelola Pendidikan di Aceh yang lebih benar. Sehingga tidak mewariskan pemahaman yang salah tentang pendidikan di Aceh kepada para generasi berikutnya. Semoga–
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




