Dengarkan Artikel
Oleh Luhur Susilo
(Guru SMPN 1 Sambong dan Anggota Satupena Blora)
Pengantar
Lingkar Waktu Nusantara bukan sekadar rentetan tahun. Ia adalah luka yang menjelma kenangan, perlawanan yang menjelma harapan.
Dari retakan pohon tua, sejarah menjalar seperti urat dalam tubuh bumi—mengalirkan narasi bangsa dari sabak impian hingga tapak berdarah.
Di antara lingkar-lingkar kayu yang membatu, kita membaca bagaimana negeri ini menulis dirinya sendiri—dengan air mata, bambu runcing, dan nyanyian sunyi.
Puisi ini adalah upaya mengguratkan kembali suara yang kadang luput, wajah yang kerap hilang dari album besar sejarah.
Ia bukan sekadar catatan waktu, tapi jejak kesaksian.
Jejak kita.
LINGKAR WAKTU NUSANTARA
Pada lingkar seabad sepuluh warsa
kulihat Nusantara memanggil satria winingit
di panggung sejarah yang berselimut api (2016)
Putra-putra wana menyisir belantara
meninggalkan puing hutan dan kemarau panjang (2006)
Tlah kutahankan gelora revolusi tanpa pertumpahan dara pada panca warsa lalu dari kramat raya 164 dan membuncah pula sebuah daya kekuasaan yang tak terhindarkan (1996)
Sejuk kaki gunung Muria menyapa hangatnya persahabatan yang tumbuh dari perambah belantara jati jalinan kemanusiaan sejati (1986)
Ingus masih menyusup di rongga napas,
tapak dan lengan berserak
sementara tangan punggawa agung
menghardikmu ke ujung lara (1976)
Dasa warsa setua angin berlalu
saat bala muda melantang suara
di antara bungkus nasi yang menimbuni Jayakarta (1966)
Gedhong-gedhong magrong-magrong,
rakus kita memeluk tanah
menunggu darah mengucur
dari ujung sesembahan bernama “rampas” (1956)
Masih hangat pematang
oleh bangkai bersungkuran—pelor Nippon
yang merampas kembang pertiwi,
tawa petani,
dan anak-anak
bergegas mengangkat bambu
dari pinggir belantara,
menggotong sabak impian (1946)
Tembang pengantar mimpi
di bawah purnama tanpa canda
dalam dekapan Banaspati Nedherland,
Chino wau greget nggempal Welandi,
pirso ana lebeting distrik Kedungtuban,
plunturane kwarise, Blora nagaranipun
kang miyarso miwah pungkure.
Akhire, bangsa kang kebak roso murko
maring nagara liyo, atur panguwoso tanpo upomo (1936)
Eyang-eyang kakung membusur langkah
di bawah garis gemintang
temali sepi yang menggalang angan (1926)
Nini-moyang mengurat syair
di rentang petualang
dengan pena sunyi
dan rindu yang membatu (1916)
Tunas-tunas baru mengurai Nusantara
dalam pernik kanvas perlawanan (1906)
Eyang Tumenggung memrasasti
bokor dan arca jantan jago
dalam kemilau medhang kamolan
yang menepi di kelok bengawan (1896)
Terdamparlah
pada kebun bantaran sejarah,
tanah-tanah perdikan yang renta (1886)
Berlumpur
dan nganga oleh waktu
menyelusuri belantara utara (1876),
menyeruak dalam hampar perjanjian
yang belum benar-benar selesai (1866)
Epilog
Dari lingkar yang paling dalam hingga yang paling muda,
sejarah tidak pernah benar-benar usai—ia tumbuh bersama kita.
Apa yang telah mereka tanam dengan darah dan nyala,
harus kita rawat dengan kesadaran dan cinta yang bekerja.
Kini, tugas kita bukan sekadar mengenang.
Tugas kita adalah menyambung sulur-sulur harapan itu,
mengukir lingkar baru di batang waktu Indonesia
dengan keberanian yang tak kehilangan welas asih,
dan dengan langkah yang tak lupa akar.
Mari menjadi bagian dari lingkar berikutnya.
Karena sejarah bukan hanya tentang yang telah terjadi—
ia juga tentang siapa yang mau melanjutkannya.
__ Rumah Tua, 5 Mei 2025