Oleh Tabrani Yunis
Ketika masih duduk di bangku kelas 3 SMP Negeri Manggeng, Aceh Barat Daya (dulu Aceh Selatan) pada tahun 1978-1979, ibu saya berkata: “Top (nama kecil pangilan ibu), Ibu inginbertanya sedikit tentang sekolahmu, bagaimana kelanjutan pendidikanmu? Kita tidak punya biaya. Kalaupun mau sekolah, hanya ada dua pilihan, pertama, bersekolah di kampung dan kamu masuk SMA yang ada di kampung, atau pilihan kedua, kamu melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Tapak Tuan”.
Inilah dua pilihan berat yang harus saya hadapi saat itu. Kedua pilihan ini tidak menjadi keinginan saya. Alasannya, kalau melanjutkan ke SMA, saya akan menganggur setelah itu. Karena pasti tidak mampu melanjutkan ke Perguruan Tinggi yang lokasinya berada di Kota Banda Aceh. Lalu, kalau masuk SPG, saya tidak punya minat sedikitpun untuk menjadi guru. Saya menganggap menjadi guru adalah sebuah bencana. Kala itu, saya menyakasi kondisi kehidupa, atau nasib guru yang belum begitu beruntung. Ya, konidisi guru-guru kelihatannya sangat marginal saat itu. Ke sekolah hanya dengan berjalan kaki, kalaupun ada yang lebih mewah hanya naik sepeda seperti yang digambarkan Iwan Fals dalam elegi Oemar Bakri. Pokoknya, tiada kecerahan yang terbentang di depan mata guru. Maka, walau saya dari keluarga miskin, saya melihat tidak ada perbaikan nasib kalau nanti menjadi guru. Itulah gambaran pikiran saya yang membuat saya tidak mau menjadi guru.
Maka, ketidaksukaan saya menjadi guru pada saat itu, saya utarakan pada sang ibu. Dengan nada sedih saya berkata: “Bu, saya tidak suka menjadi guru. Saya tidak punya bakat untuk mengajar seperti guru-guru yang ada di sekolah di kampung kita. Hanya satu yang saya inginkan. Saya mau menjadi seorang penyuluh pertanian”. Saya bangga melihat para penyuluh pertanian yang begitu hebat. Karena saat itu dikampung saya sering diputar film layar tancap keliling yang menceritakan tentang pertanian. Pendeknya saya terobsesi oleh para penyuluh pertanian yang dalam pikiran saya sangat menarik. Ya, sekali lagi saya utarakan pada ibu “Sungguh, Bu, cita-cita saya bukan menjadi guru. Saya sangat ingin menjadiseorang penyuluh pertanian. Kalau ibu meminta saya masuk SPG, lebih baik saya tidak melanjutkan sekolah. Biarlah saya di kampung menjadi tukang becak, atau nganggur saja”.
Ibu merasa sedih mendengar ungkapan perasaan saya. Beliau memang tidak mampu untuk menyekolahkan saya, apalagi hingga ke kota Banda Aceh. Ibu punya harapan besar pada saya, kelak kalau saya tamat SPG, bisa cepat mendapat pekerjaan sebagai guru, lalu bisa membantu adik-adik untuk bersekolah. Namun, keinginan saya untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) tak dapat dibendung. Akhirnya beliau merelakan saya berangkat ke Banda Aceh untuk melanjutkan ke SPMA Banda Aceh. “Ibu hanyaberdoa”, begitu ucapan beliau di telinga saya. Suara itu lembut, dan membakar semangat saya.
Namun, catatan nasib memang berbeda dari apa yang saya inginkan. Isyarat seperti yang dipesankan agama menyangkut soal langkah, rezeki, pertemuan, dan maut adalah empat hal yang tidak bisa ditolak dan diatur sendiri. Ini merupakan ketentuan Allah SWT. Maka setelah ujian akhir SMP usai, abang saya yang terpaksa berhenti kuliah dari Fakultas Hukum Unsyiah karena kurang biaya, menemani berangkat ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan ke SPMA. Ia bersedia membiayai sekolah saya. Seakan impian segera menjadi nyata. Tentu saja saya sangat gembira. Betapa tidak, sekolah yang saya impikan itu berada di kota Banda Aceh yang jaraknya lebih kurang 400 km dari kampung halaman tempat saya dilahirkan. Dengan penuh
semangat saya bersama ibu, setelah menerima ijazah, langsung mengurus surat jalan dan berbagai keperluan yang menjadi persyaratan untuk masuk SPMA. Setelah itu, sayapun berangkat menuju Banda Aceh dengan modal semangat, tekad dan doa sang ibu.
Suatu hal yang mungkin juga lazim terjadi pada orang lain, sebagai anak yang berasal dari kampung, saya memang sangat terkejut bahkan agak tercengang dengan kota yang baru, yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya merasa seperti tersesat di belantara kota kala melihat kondisi di kota Banda Aceh. Masa pendaftaran belum dimulai. Barulah sekitar satu minggu berada di Banda Aceh, pendaftaran penerimaan siswa baru pun dimulai. Kebetulan saat itu pendaftaran yang pertama dibuka adalah pendaftaran di SPG Negeri Banda Aceh. Abang saya berkata “Top,sekarang pendaftaran sudah dimulai, apakah kita daftarkan dulu di SPG?” Saya kembali berkata“Bang, saya tidak mau jadi guru, saya mau masuk SPMA, tetapi abang berkata“Kalau nanti kau tidak lulus SPMA, mau kemana? Mau pulang kampung lagi?
Sungguh sangat dilematis. Kalau tidak mendaftar SPG, dan tidak lulus di SPMA, boleh jadi saya tidak sekolah dan akan pulang kampung. Sementara dalam diri saya sudah tertanam tekad dan janji pada diri sendiri dan juga pada ibu bahwa sekali kaki melangkah untuk menuntut ilmu di perantauan, saya berpantang pulang sebelum berhasil. Apapun dan dalam kondisi apa pun saya harus tetap melanjutkan sekolah di Banda Aceh. Maka, dengan berat hati saya mendaftarkan diri ke SPG Negeri Banda Aceh. Keterpaksaan ini semakin terasa karena ketika mendaftar, ijazah asli yang saya serahkan kepada panitia penerimaan siswa baru, tidak dikembalikan pada saya. Penahanan ijazah ini lalu menjadi petaka bagi saya. Muara dari penahanan ijazah ini adalah kegagalan untuk meraih cita-cita di masa kecil itu. Saya tidak bisa lagi mendaftarkan diri ke SPMA, karena tidak bisa menunjukkan ijazah asli. Ini benar-benar sebuah petaka. Tampaknya garis tangan saya memang untuk menjadi guru. Ketika pengumuman tiba, saya pun dinyatakan diterima di SPG Negeri Banda Aceh yang sama sekali bukan impian saya.
Ya, suka atau tidak. Likes or dislikes, SPG ternyata menjadi tempat saya harus belajar. Saya harus belajar menjadi guru. Walau pada mulanya sangat tidak mencintai profesi guru. Inilah sebuah realitas kehidupan yang mungkin harus saya terima, tidak bisa ditolak. Saya harus menerima kenyataan bahwa bisa saja atau mungkin inilah jalan hidup yang harus ditempuh. Karena saya sangat sadar bahwa saya dilahirkan dari keluarga miskin. Saya tidak tahu, apakah kemiskinan yang dialami oleh kedua orang tua saya saat itu berbentuk kemiskinan absolut, kemiskinan struktural atau bentuk-bentuk kemiskinan lainnya. Kemiskinan inilah mungkin yang mengharuskan saya untuk menjadi guru.
Terus terang saja, saya merasa sangat terpaksa untuk bersekolah di lembaga pendidikan guru yang bernama SPG itu. Bagaimana saya bisa berharap besar untuk bisa bersekolah di sekolah-sekolah yang tergolong favorite, sekolah unggul atau apalah namanya yang tergolong elit dan eksklusif. Orang tua saya yang hanya seorang buruh tani dan ibu seorang petani di desa, barangkali telah menjadi sebuah batu sandungan bagi kehidupan saya untuk bisa keluar dari sebuah pilihan berat terhadap sekolah guru. Kemiskinan orang tua saya, memang telah membelenggu dan membenam mimpi saya. Saya merasa sangat tidak bisa terlalu berharap tinggi – tinggi seperti anak-anak lain. Saya memang harus menerima kenyataan ini. Harus belajar menjadi guru secara sungguh-sungguh. Maka sejak itu, hari-hari pertama di SPG saya jalani sebagai sebuah proses untuk menjadi guru. Saya pun harus belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh. Inilah ketentuan hidup.
Ketika tidak bisa lagi memilih, maka ini adalah keinginan ibu yang memang mendapat restu. Kendati menjadi calon guru, bukanlah sebuah profesi impian dan harapan untuk masa depan, semangat baja untuk belajar tetap ditancapkan dalam diri. Saya belajar bangkit dari keterpurukan nasib. Nasib yang membelenggu kehidupan saya, bergelimang kemiskinan. Karena saya sendiri tidak pernah menyangka bisa bersekolah ke kota. Maka, walau bukan sebuah impian, akhirnya saya bertekad untuk bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik. Saya kemudian berikrar pada diri sendiri. Ikrar itu hingga kini masih segar dalam ingatan. Kata-kata yang membaja. Ya Allah, Saya ingin hidup lebih baik dari pada kehidupan orang tua saya. Ikrar ini pula kemudian sangat mendorong semangat saya untuk belajar. Alhamdulilah, sebagai anak yang kurang gizi, hasil usaha belajar yang giat dan tekun tidak menjadi hambatan dan batu sandungan bagi diri saya untuk berprestasi.
Ketika duduk di kelas satu SPG, saya mampu menunjukkan prestasi itu, tatkala rapor yang saya terima saat itu menempatkan saya pada posisi rangking satu. Saya mampu menyaingi teman-teman sekelas yang gizi dan kehidupannya mungkin lebih baik dari apa yang saya alami. Saya bersaing ketat dengan teman sekelas. Sebagai seorang remaja, kebetulan di kelas ada seorang gadis yang anggun yang membuat semangat bersaing dalam diri saya semakin tinggi. Seorang anak kota yang memang suka untuk menjadi guru. Kondisi ekonominya cukup bagus dan ia punya rumah yang pada saat itu tergolong besar. Ia telah menginspirasi saya untuk bersaing secara sehat dan jujur. Karena seperti kita ketahui bahwa sekarang ini, banyak orang yang bersaing untuk mengejar nilai dengan cara-cara yang tidak terhormat, seperti nyontek, atau membeli nilai dan sebagainya. Pendeknya, nilai-nilai yang diperoleh di rapor sudah penuh dengan praktek rekayasa atau manipulasi. Cara-cara yang kita sebut sebagai bentuk ketidak jujuran intlektual.
Tanpa terasa, waktu berlalu. Selama tiga tahun lamanya di SPG, duduk di bangku sekolah SPG, saya menempati rangking satu dan dua. Artinya, suatu ketika teman perempuan yang saya kagumi ini, naik rangking satu pada semester I di kelas 2. Saya sendiri menempati rangking 2. Posisi ini membuat kecemburuan mencuat di hati, lho kok dia yang rangking satu? Saya harus mengejarnya di semester selanjutnya. Rupanya, semangat ini membawa saya pada posisi rangking satu di semester ke dua. Semangat bersaing menjadi modal bagi saya untuk melakukan pengembangan diri sebagai anak pembelajar. Saya belajar dengan sangat giat. Karena saya sadar dan sangat ingat dengan ajaran agama yang mewasiatkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seosorang, kecuali orang itu sendiri yang mengubahnya. Jalan untuk mengubah itu saya tempuh dengan belajar dan terus belajar, berjuang untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Perpustakaan sekolah yang berada di lantai satu gedung SPG itu menjadi tempat belajar kedua selain belajar tatap mula di kelas. Perpustakaan menjadi pilihan untuk dikunjungi saat jam istirahat. Saya tidak ke kantin, karena tidak ada uang untuk menyipi penganan yang dijual di kantin. Hanya sekali-kali bila ada uang jajan. Namun, buah dari pembelajaran selama di SPG tersebut, saya tetap bisa muncul sebagai juara 3 secara umum di sekolah pendidikan guru ini. Dengan selesainya bersekolah di SPG, saya sudah memiliki ijazah untuk bisa melamar menjadi guru. Alhamdulilah pula, ketika tamat, saya dibekali dengan sejumlah uang yang pada saat itu berupa beasiswa yang jumlahnya lumayan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan, yakni perguruan tinggi.
Ijazah SPG yang saya terima di tahun 1982, belum mendorong keinginan saya untuk terus menjadi guru. Apalagi untuk menjadi guru SD yang saya ketahui akan melemparkan saya jauh ke pedesaan yang terpencil. Menjadi guru SD di daerah terpencil dalam pikiran saya, pasti akan memurukkan saya dalam lubuk yang mematikan semangat belajar yang telah saya semai sejak kecil. Maka, walau apapun kondisi hidup saya saat itu, menjadi guru SD masih sangat jauh dari impian. Di perasaan saya, menjadi guru di sekolah dasar, walau kata banyak orang sebuah pekerjaan yang mulia, dalam kenyataannya, guru-guru yang mengajar di sekolah dasar, menanggung beban dan tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik anak-anak bangsa ini. Saat itu, elegi-elegi sedih yang melanda guru-guru SD di tanah air sarat dengan cerita sedih. Bahkan hingga kini, cerita sedih itu masih menyelimuti kehidupan guru, terutama guru SD. Bayangkan saja, begitu banyak guru SD di desa atau di kota yang terpaksa nyambi di luar sekolah. Ada yang menjadi tukang ojek, nyambi menjadi jualan es dan lain-lain.
Maka, berbekal beasiswa yang saya terima ketika tamat SPG yang jumlahnya sebesar Rp 135.000,- saat itu, saya berspekulasi untuk memperbaki nasib. Saat itu, saya berpendapat, kalau pun saya memang harus menjadi guru, bukan menjadi guru SD, tetapi menjadi guru bidang studi. Soalnya, kalau menjadi guru SD, saya harus mampu menjadi guru kelas, yang mengajarkan berbagai mata pelajaran di sebuah kelas di SD. Oleh sebab itu, tatkala musim seleksi mahasiswa baru di perguruan tinggi, saya mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Saya tidak memilih jenjang pendidikan strata 1 (S1), karena pada saat itu, saya sadar bahwa kalau saya melanjutkan ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), saya akan gagal, karena saya yakin akan tersendat dengan biaya. Bagaimana saya bisa kuliah di Perguruan Tinggi dalam waktu yang relatif lama? Kedua orang tua yang saya sayangi, tidak memiliki kemampuan untuk menyekolahkan saya hingga Perguruan Tinggi. Mereka tidak sanggup untuk membiayai pendidikan saya. Ketika itu, malah Ibu saya yang tercinta kembali meminta agar saya melamar jadi guru. Namun tekad saya yang keras, mendorong saya untuk melanjutkan study ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saya memilih ikut tes di program Diploma. Minimal, kalau terpaksa menjadi guru, saya akan mengajar pada jenjang pendidikan lanjutan, yakni sekolah Menengah umum tingkat Pertama (SLTP). Pilihan saya adalah program Diploma 2 tahun., jurusan bahasa Inggris. Pejalaran yang saya sukai sejak di SMP.