Oleh Rosadi Jamani
Dulu, hidup lebih sederhana. Gas 3 kg ada di warung depan rumah. Tinggal keluar, bawa tabung, bayar, pulang. Selesai. Tak perlu strategi, tak perlu perjalanan jauh, tak perlu seminar motivasi untuk tetap bertahan dalam antrean.
Tapi kini, semuanya berubah. Entah karena terlalu bahagia, terlalu nyaman, atau terlalu mudah, pemerintah merasa rakyat butuh tantangan baru. Maka lahirlah kebijakan mutakhir, pengecer dilarang menjual gas elpiji 3 kg!
Maka, dimulailah era baru. Sebuah petualangan epik. Jika dulu perjalanan menuju gas hanya selemparan sandal, kini butuh perjuangan. Dari yang semula 100 meter, kini bisa 1 kilometer. Seperti program fitness nasional, tapi tanpa trainer, tanpa motivator, dan tanpa janji tubuh ideal.
Lalu muncullah sang Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dengan wajah penuh ketulusan. “Saya memahami penderitaan rakyat,” katanya, seolah rakyat hanya butuh dipahami, bukan diberi solusi konkret.
“Ini hanya sedikit peralihan,” lanjutnya. Tentu saja, ‘sedikit peralihan’ ini hanyalah istilah halus untuk “Coba sabar dulu, siapa tahu terbiasa?”
Namun, jangan khawatir. Ada solusi! Kata Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, ini bukan larangan, melainkan “perbaikan penyaluran.” Karena, kata beliau, pengecer tidak benar-benar dilarang. Mereka hanya didorong untuk menjadi agen resmi.
Ya, didorong. Persis seperti mendorong mobil mogok di tanjakan. Butuh tenaga, butuh semangat, dan butuh keajaiban agar sampai tujuan.
Caranya? Daftar jadi agen resmi. Daftarnya lewat Online Single Submission (OSS). Sebuah sistem yang, bagi banyak rakyat, masih terdengar seperti mantra dari dunia lain.
Kini, tukang warung yang dulunya menjual gas di samping rak mie instan harus bertransformasi. Dari pengecer kecil menjadi agen resmi.
Persyaratannya? Mendaftarkan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Karena tentu saja, setiap warung kecil di gang sempit pasti punya laptop, internet stabil, dan waktu luang untuk memahami sistem pendaftaran birokratis online.
Tapi, semua ini demi “jangkauan LPG 3 kg lebih tepat sasaran.” Begitu kata Hasan.
Tepat sasaran?
Sasarannya siapa?
Kalau dulu gas tinggal angkat dari warung sebelah, sekarang harus jalan berkilo-kilo, apakah itu berarti sasarannya bukan rakyat kecil, tapi atlet lari maraton?
Tapi rakyat Indonesia tidak mudah menyerah. Mereka tetap antre. Tetap berjuang. Tetap membawa tabung hijau kesayangan, meski harus berjalan jauh, meski harus menahan rintik hujan dan terik matahari.
Mereka melangkah, bukan hanya demi gas, tetapi demi hak mereka sebagai warga negara. Demi bisa memasak, demi bisa bertahan hidup.
Di kejauhan, Menteri Bahlil tersenyum. “Mohon kasih kami waktu sedikit saja,” katanya.
Rakyat pun mengangguk pelan. Dalam hati mereka berkata, “Baik, Pak. Kami kasih waktu. Sampai kapan? Sampai kami terbiasa, atau sampai kami menyerah?”
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar