Oleh Dr. Taufik Abdul Rahim
Provinsi Aceh yang berada paling ujung Barat Pulau Sumatera menyimpan pelbagai cerita, sejarah, catatan hidup, heroism, perlawanan terhadap penjajahan, melawan diskriminasi, juga menyimpan berjuta asa bagi penduduk, masyarakat serta rakyatnya.
Dalam catatan goresan tinta emas,kesejarahan pernah memiliki peradaban atau ketamadunan ke-lima terbesar dunia, juga memiliki pahlawan yang sangat berani melawan penjajahan, intervensi asing, bahkan ada yang merambah serta menguasai dunia maritim, seperti Keumalahayati (perempuan hebat, Laksamana Besar Perempuan Dunia).
Bukan hanya itu, juga para pahlawan lainnya memiliki kapasitas serta kompetensi yang diakui dunia internasional, bahkan menjadi pahlawan nasional. Sehingga nilai politik dan kepemimpinan Aceh acapkali menjadi “role model” bagi kepemimpinan dunia internasional, nasional dan lokal.
Dalam kosa kata ataupun terminologi bahasa, Pemimpin ini bermakna secara bebas adalah, orang atau seseorang yang memiliki pengaruh, kharisma, kewibawaan, memiliki kapasitas mengatur atau memimpin maupun mengelola kehidupan masyarakat yang lebih baik, dengan kapasitas dan atau kompetensi yang mampu menjadikan kehidupan masyarakat/rakyat menjadi lebih baik, makmur, sejahtera, berkeadilan, merata dan harmonis.
Dengan menggunakan istilah Adam Smith, menjadikan “the wealth of nation” negara yang makmur dan sejahtera sebagai salah satu indikator kehidupan secara ekonomi dan politik. Dalam konteks kehidupan masyarakat Islam, ini selaras dengan Aceh sebagai daerah syari’at Islam, menjadikan masyarakat Aceh yang “baldhatun thayyibatun warabbun ghafur”.
Dalam pemahaman pakar, maka pemimpin, menurut Don Hellriegel dan John W. Slocum, Jr (1989) adalah, kemampuan untuk memengaruhi, memberi inspirasi dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan, melibatkan tiga hal yaitu pemimpin, pengikut clan situasi tertentu.
Kemudian, menurut John W. Gardner (1990) yaitu, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Karena itu pemimpin dalam konteks politik Aceh, menurut Brennan (2020) mengusulkan beberapa jenis kekuatan manusia yang juga terkait dengan hubungan kekuasaan.
Kemudian diperkuat oleh Robert M. Mc Iver (1954), bahwa kekuatan itu ada sebagai lapisan atau piramida, berhubungan dengan kekuasaan. Tidak hanya menyiratkan bahwa banyak orang bergantung pada seorang penguasa. Kekuasaan secara konsisten menyiratkan kerangka berlapis yang berbeda.
Berkaitan dengan Aceh, sebagai pemimpin politik hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 yang lalu, maka pada dasamya kemampuan untuk mempengaruhi orang atau suatu kelompok untuk mencapai tujuan tersebut terdapat pada kekuasaan.
Jadi, menurut James L. Gibson, John. M. Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr(1996), kekuasaan tak lain adalah kemampuan untuk mendapatkan orang lain untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pihak lainnya. Dalam kaitannya secara lebih spesifik, ke-Islaman selaku daerah syari’at Islam, maka disebutkan juga kata Ulil Amri yang satu akar dengan kata amir.
Kata Ulil Amri berarti pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 59: artinya “Hai orang-orang yang beriman patuhilah Allah SWT dan Rasul-Nya serta yang memerintah di antara kamu.” Dengan demikian pemimpin Aceh mesti memiliki perilaku ulil amri yang mejadi contoh dan keteladanan dalam masyarakat Aceh.
Sehingga asa rakyat Aceh terhadap pemimpin yang digadang-gadang akan dilantik adalah, “Ulil Amri” bukan penguasa atau pemerintah kafir yang menjajah masyarakat Islam, juga bukan pemimpin musyrik atau munafik. Ini juga diperkuat dalam hadist. Istilah pemimpin dijumpai dalam kalimat ra ‘in atau amir, seperti yang disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari Muslim: “Setiap orang di antaramu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya.”
Dengan demikian, yang memiliki alas kepemimpinan di Aceh dari berbagai diskusi asa kepemimpinan Aceh yang dilantik, mungkin saja serentak secara nasional, bukan alas Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang disitir beberapa kalangan, mesti tunduk dan patuh secara UUPA. Sesungguhnya yang masih menjadikan alas UUPA menjadikannya tetap berada di Aceh adalah, hanya keberadaan Lembaga Wali Nanggrou (LWN), Istilah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Komisi Independen Pemilihan (KIP). Sementara terhadap alas lainnya yang masih ada selaras dengan UUPA yang banyak dipertanyakan, serta diterabas oleh Pemerintah Pusat Jakarta, mesti mengikuti aturan mainnya, dominasi keputusan pusat secara hirarki pemerintahan. Karena Aceh adalah bahagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Silahkan tunduk dan patuh terhadap organisasi pemerintahan model Indonesia.
Jadi Aceh bukan lagi “role model” yang dapat menjadi ikutan secara politik kepemimpinan sebagaimana asa sesuai dengan keistimewaan, kekhususan (lex specialist) yang illusion and utopia, sebagaimana yang diinginkan sebelumnya. Kekuasaan politik Aceh saat ini adalah, berlaku dalam kekuasaan politik “patron and client”. Aceh dan pemimpin Aceh mesti tunduk dan patuh sebagai cuan kepada tuannya di Pemerintahan Pusat Jakarta.
Perbincangan juga berbagai diskusi yang berkembang di tengah kehidupan rakyat Aceh, tentang asa kepemimpinan Aceh di tengah nilai keraguan kompetensi ini sangat dominan menjadi rujukan pemikiran serta penilaian kepemimpinan Aceh. Meskipun saat ini pentahelix pemimpin Aceh mencoba merangkul untuk kolaborasi sebahagian akademisi, aktivis masyarakat sipil, pengusaha, partisan aktor politik, media massa, aktivis politik serta lingkungan dan lain sebagainya.
Namun demikian penilaian kompetensi dalam memutuskan masa depan Aceh akan dilihat pada 100 dan 200 hari kerja kepemimpinan, meskipun indikator 100 dan 200 hari kerja tidak ada dasar hukumnya.
Namun demikian, evaluasi dan monitoring kepemimpinan modern yang dipahami secara luas oleh rakyat, ini penilaian awal akan memperlihatkan kecenderungan keberhasilan, atau setelah hitungan hari tersebut akan memberikan pertunjukan lainnya, tidak berbeda dengan pemimpin sebelum-sebelumnya.
Jika menggunakan bahasa pasaran rakyat akar rumput “meuramah” seperti contoh pemimpin sebelumnya. Sehingga yang mesti dilakukan dalam kepemimpinan asa rakyat Aceh merujuk Peter L. Wright dan David S Taylor(1994) adalah, praktik kepemimpinan berkaitan dengan memengaruhi tingkah laku dan perasaan orang lain,baik secara individual, maupun kelompok dalam arahan tertentu.Kemudian diperkuat pemikiran John P. Kotter (1990) yaitu,kepemimpinan menunjuk pada proses untuk membantu mengarahkan dan memobilisasi orang atau ide-idenya.
Dengan demikian, di Aceh yang diperlukan adalah kepemimpinan yang erat sekali hubungannya dengan konsep kekuasaan, yang mana Aceh memiliki keunikan serta keistimewaan goresan sejarah dan tamaddun masa lalu. Maka beralaskan kepada goresan keadaban serta kesejarahan yang beradab serta bertamaddun masa lalu, dengan kekuasaan pemimpin memperoleh alat untuk mempengaruhi perilaku para pengikutnya.
Maka merujuk kepamimpinan kepadapikiran dari Miftah Toha (1994) adalah, terdapat beberapa sumber dan bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan paksaan, legitimasi, keahlian, penghargaan, referensi, informasi dan hubungan. Secara tegas kepemimpinan Aceh untuk memenuhi asa rakyat Aceh agar dapat hidup makmur serta sejahtera, memiliki legitimasi serta komptensi yang tinggi.
Kemudian memiliki referensi kenegarawanan, mampu memberikan serta menerima informasi secara baik dan berkualitas agar kritikan tidak dasumsikan sebagai “hate speech” untuk koreksi dan perubahan serta evaluasi kepemimpinan, juga memiliki hubungan dengan berbagai pihak secara baik didukung oleh kemampuan mengorganisir keterlibatan pentahelix.