Oleh Rosadi Jamani
Ada kawan ngirim video. Sebuah adegan sinetron di televisi. Mayat berbau gas, keranda ditimpa tabung gas melon. Sinetron yang pas dengan kondisi gas melon langka. Yok kita bahas isi videonya sambil seruput kopi tanpa gula.
Suasana kampung yang biasanya tenang tiba-tiba berubah jadi neraka penciuman. Empat orang berdiri gagah, bersiap memandikan mayat. Tapi, begitu kain penutup dibuka, bau gas menyengat langsung menyerang.
Hidung mereka berkerut, mata berair, dan mulut mengumpat. “Ini mayat atau pabrik gas bocor?” teriak salah seorang, sambil melompat mundur seperti ketemu hantu. Bau itu begitu kuat, sampai-sampai kucing-kucing di sekitar kabur, ayam-ayam berhenti berkokok, dan pohon-pohon seakan layu menahan napas.
Ustaz datang, membawa niat suci untuk memimpin prosesi. Tapi, begitu mendekat, wajahnya langsung pucat. “Astagfirullah, ini bau apa? Kayak ada tabung gas melon meledak di sini!” ujarnya sambil menutup hidung dengan kain sarung. Tapi, sebagai seorang ustaz, dia tak menyerah. “Tetap mandikan! Ini fardhu kifayah!” serunya, sambil matanya berkaca-kaca bukan karena haru, tapi karena bau.
Prosesi pun berlanjut. Mayat itu akhirnya dimandikan, tapi bau gasnya tak juga hilang. Malah, semakin kuat. Seolah-olah mayat itu membawa seluruh tabung gas yang pernah dia curi semasa hidupnya. Saat digotong ke kuburan, seluruh warga kampung ikut mengiringi, tapi dengan jarak aman. Semua orang menutup hidung, wajah mereka pucat, seolah sedang menghadapi wabah.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara keras. Sebuah mobil pikap yang membawa tabung gas melon 3kg kecelakaan. Tabung-tabung gas berhamburan, menggelinding seperti bola-bola neraka. Salah satu tabung meluncur deras, menuju keranda mayat itu. Bruuk! Tabung gas menimpa keranda, seolah alam semesta sedang tertawa terbahak-bahak. “Ini karma atau komedi?” bisik seorang warga, sambil matanya melotot.
Kenapa mayat ini bau gas? Ternyata, semasa hidupnya, dia adalah pengusaha gas yang licik. Kurangi timbangan, timbun tabung, naikkan harga saat langka. Rakyat kecil menjerit, tapi dia tertawa sambil menghitung uang.
Kekayaannya menumpuk, tapi dosanya juga menggunung. Sekarang, di akhir hayatnya, bau gas itu seperti kutukan yang tak pernah pergi.
Saat keranda itu akhirnya sampai ke kuburan, bau gas masih menyengat. Bahkan, saat tanah mulai menutup liang lahat, bau itu masih terasa. Seolah-olah alam semesta berkata, “Kau bawa gas ke kuburmu, ya? Baiklah, nikmati saja!”
Di atas langit, awan-awan bergulung, seolah menangis. Bukan karena sedih, tapi karena bau gas yang terlalu menyengat.
Ini bukan sekadar cerita tentang mayat yang bau gas. Ini adalah potret ironi kehidupan, di mana kezaliman sering kali dibayar dengan cara yang tak terduga. Semoga kita semua bisa belajar dari kisah ini, sebelum alam semesta memutuskan untuk “mengirimkan” karma kita dalam bentuk yang lebih menyengat.
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar