Terbaru

Gagal Memotret  Proses dan Hasil  17 Tahun Dana Otsus Aceh di Bidang Pendidikan 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

Oleh Tabrani Yunis

Malam ini, Senin tanggal 3 Februari 2026, aku sedang menikmati avocado espresso di Gerobak Arabica coffee, warung kopi, tempat aku mangkal setiap hari. Maklum sudah pensiun. Tak punya harus masuk kantor seperti para pejabat PNS atau ASN di negeriku, Indonesia. Ya, Indonesia, bukan Konoha.  Jadi, aku bisa menikmati racikan kopi Arabica Gayo highland, yang begitu terkenal saat ini.

Aku menikmatinya setiap hari. Alhamdulilah. Bisa menikmati avocado espresso setiap hari adalah sebuah nikmat Allah yang sangat berharga di masa pensiun, yang  gaji pensiunnya cukup-cukup makan. 

Sambil menikmati minuman segar itu, ingatanku  dibawa melayang pada rasa  kesal yang dialamı pada tanggal 25 Januari 2025. Ah, untuk apa harus teringat dengan acara itu. Aku mencoba mengalihkan ingatan itu, tapi hanya dalam hitungan dua atau tiga menit, kembali teringat. Ya sudah. Mungkin karena momentum itu telah memunculkan rasa jengahku, atau palak juga, karena alasan-alasan rasional. 

Ada baiknya bila kuceritakan apa yang terjadi pada tanggal 25 Januari 2025 itu, ya kan? Sebab, kalau tidak diceritakan dengan jelas, nanti dikatakan pula aku menebar kebencian atau memproduksi hoaks. Bahaya sekali bukan?  Hmm, bisa Bahaya, bisa tidak. Di zaman edan begini, di negeri kita ini, yang berbahaya itu bagi wong cilik yang miskin. Kalau punya banyak uang? Itu lain lagilah ceritanya. Eh, apa ya kronoloji?

Nah, pagi Sabtu, 25 Januari 2025 itu, Aku bergerak cepat darı rumahku di Lampoh Keude, yang jaraknya sekitar 200 meter dari Universitas Abul Yatama. Aku bergegas keluar, mengantarkan anakku ke SMA Negeri 3 Banda Aceh. Hanya dalam waktu 20 menit bisa tiba di SMA Negeri 3,. 

Anakku Ananda Nayla turun darı mobil menuju ke kelasnya dan aku bersama Anak yang kedua, Aqila Azalea Tabrani Yunis langsung tancap menuju ke POTRET Gallery yang berada di Jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya, Banda Aceh.

Setiba di POTRET Gallery, waktu sudah menunjukan pukul 07.45 WIB, aku mengumpulkan karyawan atau pramuniaga di POTRET Gallery untuk memberikan arayan, karena aku mau ikut acara. Kilihat jam di HPku dan waktu sudah pukul 08.00 WIB. Artinya aku harus kembali tancap gas, bergegas  melaju ke gedung Walikota, Banda Aceh, ikut acara yang sangat aku tunggu-tunggu. 

Apalagi, berdasarkan pengumuman panitia, peserta harus hadir sebelum pukul 08.30 WIB. Aku harus tepat waktu dan tidak mau dikatakan tidak patuh dengan waktu yang ditetapkan. Lagi pula, aku memang sangat antusias untuk berpartisipasi aktif dalam acara itu.

Sebenarnya, sejak beberapa hari sebelumnya, usai mendaftar lewat online, animoku begitu memuncak untuk bisa ikut serta dalam sebuah acara yang bertajuk Outlook Pendidikan itu. Ibarat orang yang sedang kebelet. Biasalah, sudah lama tidak ikut kegiatan seminar atau workshop.

Jadi wajar kalau  mau cepat saja. Lantas, mengapa begitu ingin cepat hadir? Salah satu alasannya  adalah belum mendapat konfirmasi darı panitia, lulus atau tidak seleksi hadir. Karena hingga malam Sabtu, tidak ada hasil konfirmasi yang aku terima. Jadi wajar kalau ngos-ngosan. 

Setiba di kantor Walikota Banda Aceh, kuparkirkan mobil di dekat pos Satpam, lalu menuju pintu masuk yang bisa dapat akses ke lift.  Dengan sedikit gugup aku menekan tombul lift. Tak enak kalau peserta penuh, dan aku belum mendapat konfirmasi dari panitia. Bisa malu, kalau tidak diizinkan masuk.

Nah, kutekan tombol lift, menunggu lift turun darı Lantai 4 dan pintu terbuka lalu naik ke lantai 4 melewati bagian belakang panggung, sambil mengintip situasi, apakah  para peserta sudah memenuhi ruangan. Aku mendengar musik lagu Indonesia Raya. 

Aduh, aku terlambat, kataku. Eh, ketika kuintip dari pintu panggung, acara belum dimulai. Akupun memasuki ruangan mencari panitia untuk registrasi.  Aku kemudian menuju pintu depan untuk registrasi kehadiran. Aku malah masuk sebagai pendaftar yang ke 4 atau 5. Jadi aku masuk peserta yang tercepat. Ya, bagiku ini acara yang sangat penting dan menarik,  yang  membuat aku tak sabar menunggu.

Di dalam ruangan, aku hanya melihat sedikit orang. Belum Kulihat seperempat dari koata peserta yang kantanya hanya untuk 50 orang. Aku terdiam dan melihat flier acara yang menjadi backdrop di panggung. Aku membaca nama-nama narasumber yang ditera di flier. 

Tampaknya harapan atau ekspektasi panitia begitu tinggi hingga menyiapkan tempat yang lumayan besar dan strategis serta nyaman. Nama-nama di backdrop itu ada yang aku kenal. Tak usah kusebutlah nama mereka. Nanti bisa tersinggung atau merasa tidak enak, apalagi aku ceritakan di sini. Kan tidak enak? Apa kata orang-orang nanti?

Tapi, kalau boleh aku boleh jujur. Rasa kecewaku mulai berkecambah. Bayangkan saja, sudah  lebih darı 30 menit düdük berada di ruangan,  perut tidak sempat sarapan, peserta yang ikut acara masih belum ada seperempat. Berbagai pertanyaan pun bergayut di alam sadarku.

Satu persatu pertanyaan yang ada di alam pikiranku tak ada yang jawab. Misalnya, bagaimana ya kegiatan ini akan berjalan, karena narasumber yang seharusnya mempeesentasikan materi, hanya satu yang telah hadir. Prof. Darni Daud. Aku tahu kalau Prof satu ini adalah orang yang bertanggungjawab dan disiplin. Kenal baik, karena abang letting di FKIP Bahasa Inggris saat kuliah di USK ( dulu Unsyiah). 

Sementara narasumber lain yang foto dan nama mereka terpampang di flyer tidak tampak ujung hidung mereka. Pertanyaan, lain ya pukul berapa akan dimulai? Ah sudah lah. Aku memang harus belajar sabar. Padahal selama ini, memang sudah banyak test kesabaran.

Setelah pukul 09.00 lewat, panitia berinisiatif memulai acara. Padahal belum ada narasumber, kecuali Prof. Darni Daud. Jadi, rasanya panitia nekat memulai membuka acara. Acara diawali  dengan pembacaan ayat  suci Al- Quran, disusul dengan  menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne Provinsi Aceh. Semua sudah usai, peserta belum bertambah significant dan narasumber yang tertera di flier juga tak kunjung terlihat.

Ketika acara pembukan selesai, dilanjutkan dengan kata-kata dari Dewan Pengarah dari organisiasi penyelenggara. Sayangnya sang dewan pengarah pun juga tidak hadir.  Aku menyelutuk  sendiri.  Bagaimana ketua dewan pengarah, bisa begini? Kalau aku dewan pengarah, aku akan harus informasikan kepada panitia, tidak bisa hadir, sebelum acara dimulai. 

Akhirnya, panitia meminta moderator untuk memulai. Mempersilakan para narasumber naik ke panggung. Prof. Dr. Darni Daud pertama naik, lalu diikuti darı Perwakilan BPMP, karena yang seharusnya menjadi narasumber tidak bisa hadir. Dua narasumber lagi memang tidak juga ada kabar apa.

Dengan begitu, Prof. Dr. Darni Daud menjadi pembicara pertama yang mengangkat tema pendidikan Aceh di Abad 21. Usai itu, dilanjutkan oleh perwakilan BPMP yang memberi sinyal bahwa narasumber yang seharusnya dilakukan. Aku semakin harus belajar sabar, ketika perutku terasa lapar.

Biasalah ya, kalau orang lapar itu biasanya orang lapar itu pasti tidak sabaran dan cepat marah atau emosional. Betül memang, aku semakin tidak sabar dan merasa geram ketika moderator sengaja tidak menyediakan waktu banyak untuk mendiskusikan atau tanya jawab. Padahal waktu sudah hampir menyentuh pinggiran acara, karena acara berakhir pukul 12.00 WIB.

Aku berkali- kali ingin minta izin keluar dari ruangan, tetapi merasa enggan dan segan dengan senior. Namun demikian, keputusan akhir, karena acara itu sia-sia bagiku. Tidak seperti yang kuharapkan. Di luar ekspektasi, sehingga merada rugi datang. Ya rugi waktu, rugi dengan yang lain juga.

Tapi itu bisa jadi salahku, terlalu bersemangat, besar sekali ekspektasi dan besar sekali rasa ingin tahu, atawa curiosity, sehingga karena terlalu suka, akhirnya kecewa. Hal itu terbukti. Faktanya, ketika aku melihat flier dengan tulisan “ Outlook Pendidikan Aceh 2025” Refleksi 17 Tahun Dana Otsus Aceh dan Transisi Kebijakan Pendidikan Aceh 2025-2030, libido keinginan tahuku terlalu klimaks.  Aku sudah ceritakan di awal Mengapa aku begitu ingin hadir serta berusaha hadir dengan hasil zero results.

Kok zero?  Ya dong, karena walau ada satu narasumber dan satu lagi pengganti. Materi penting yang kuinginkan tidak kudapati sedikit pun. Padahal, aku sangat ingin tahu seperti apa hasil potretan mereka terhadap pendidikan Aceh yang sarat masalah itu. Pertanyaan yang telah kupersiapkan untuk ditanya kan kepada narasumber saat diskusi, hanya kutanya dalam hati. Walau aku ingin sekali tahu berapa besar dana otsus Aceh untuk pendidikan yang telah dikucurkan? Ke mana saja dana Otsus untuk pendidikan Aceh digunakan? Lalu, adalah semua dana itu dipertanggungjawabkan ke publik?

Begitu banyak pertanyaan yang ingin ditanya,  17 tahun sudah dana Otsus dikucurkan, tak ada yang bisa kutanya dan tak ada jawaban yang bisa kudapat. Kecuali aku menyesal dan kecewa, walau aku tidak boleh mengatakan kalau organisasi penyelenggara tidak professional dan para narasumber yang nama mereka tertera di flier tidak punya rasa tanggungjawab. Ya, aku tidak mau katakan itu. Tidak enak dan tidak etis. 

Jalan terbaik adalah kalau aku ada uang dan waktu, aku akan ajak para narasumber itu ngopi bareng, menikmati avocado espresso atau segelas Sanger dingin atau lemon tea dingin di Gerobak Arabica coffee di Pango, agar aku bisa melemparkan pertanyaan yang sudah aku siapkan saat itu. Ya, sudah lah, untuk apa kita urus dana Otsus Aceh, dana itu bukan untuk kita, dana itu untuk mereka.

Namun, rasa kesal dan kecewaku juga menggumpal ketika panitia gagal menghadirkan para peserta ke tempat dan acara yang cukup menarik ini. Padahal yang namanya seminar atau workshop adalah acara yang disukai banyak orang, apalagi kalau disediakan sertifikat dan cuan. Narasumber apalagi, harusnya punya tanggungjawab setelah mengatakan kesediaaan untuk menjadi narasumber. Tindakan narasumber demikian merupakan tindakan yang mempermalukan penyelenggara kegiatan yang juga menjadi kekecewaan peserta yang hadir. Ya, sudahlah. Mau bilang apalagi?

Redaksi hanya melakukan penyuntingan teknis, seperti: - Mengoreksi kesalahan ejaan, tanda baca, dan struktur kalimat. - Mengatur format dan tata letak teks. - Memastikan konsistensi gaya penulisan. Namun, redaksi tidak melakukan perubahan pada: - Isi dan substansi teks. - Pendapat dan opini penulis. - Data dan fakta yang disajikan. Dengan demikian, penulis tetap bertanggung jawab atas isi dan substansi teks yang ditulis.

Pertarungan di Sebuah Gedung Tua
Ilustrasi
Revitalisasi Nilai Dasar HMI: Membangun Kader Berbasis Teologi, Kosmologi, dan Antropologi
Oleh: Amilda Risky, Peserta LK3 HMI...
Cinta di Era Modern; Solusi Atau Masalah?
Oleh M. Rival Sihab Cinta selalu...
Perempuan Sebagai Inspirator
Reza pernah menulis langsung puisi di...
Gerimis
“Rintik hujan kecil yang membawaku kembali...

SELAKSA

Welcome Back!

Login to your account below

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Add New Playlist