Oleh Rosadi Jamani
Betapa indahnya negeri ini. Antrean panjang di mana-mana. Bak parade penderitaan. Nenek-nenek kelelahan, ada yang sampai meninggal. Tapi apa? Bahlil, sang Menteri ESDM, tetap bergeming. Teguh seperti karang di tengah badai protes. “Ini hanya masa penyesuaian,” katanya. Penyesuaian? Rakyat antre berjam-jam, bahkan berhari-hari, tapi Bahlil bilang ini hanya soal waktu. Waktu untuk apa? Untuk menunggu nenek-nenek lain tumbang?
Anggota Dewan berteriak. “Hentikan kebijakan yang menyusahkan rakyat!” Tapi Bahlil? Dia hanya tersenyum. Mungkin di kepalanya, ini semua hanya drama. Rakyat kecil yang ribut-ribut. Padahal, dia bilang, “Tidak ada pengurangan volume, tidak ada pengurangan subsidi.” Oh, tentu saja. Rakyat percaya. Percaya bahwa antrean sepanjang itu hanya ilusi. Percaya bahwa nenek yang meninggal itu hanya mimpi buruk.
Bahlil berjanji. “Kami akan memperbaiki aturan.” Memperbaiki? Aturan yang baru saja diterapkan, tapi sudah bikin kekacauan? Aturan yang memaksa rakyat beli elpiji 3 kg hanya di pangkalan resmi Pertamina. Warung-warung? Tutup. Pengecer? Gulung tikar. Rakyat? Terlunta-lunta.
Tapi Bahlil bilang, ini untuk kebaikan. Agar harga terkontrol. Agar subsidi tepat sasaran. Betapa mulianya. Tapi di mana kontrol itu ketika harga di pasaran melambung sampai Rp20 ribu? Di mana tepat sasarannya ketika rakyat harus antre berjam-jam hanya untuk dapat satu tabung gas?