Jejak Perempuan di Palagan Nusantara
Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
Andi Depu Maraddia Balanipa, pahlawan wanita berjilbab asal Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, merupakan seorang pejuang yang memimpin pasukan melawan Belanda pada 1946. Perjuangan Andi Depu tidak sebentar. Ia termasuk pahlawan wanita yang ikut berperang melawan Belanda dan Jepang. [1]
***
Di ufuk Sulawesi Barat, Mandar memeluk laut,
Di sana lahir seorang perempuan dengan tekad membatu.
Andi Depu, namanya terukir dalam sejarah,
Bukan sekadar ibu bangsa,
Namun penjaga nyala api kemerdekaan.
Di tanah penuh ombak dan buih,
Ia tak sekadar berdiri.
Ia berlari, membawa panji merah putih,
Di tengah ancaman penjajah yang merendahkan negeri.
Baginya, tanah Mandar bukan sekadar kampung,
Namun ibu yang harus dijaga.
Tahun-tahun kolonial menancapkan luka,
Darah dan air mata menghias tiap sudut tanah air.
Namun Andi Depu tak gentar,
Ia seorang perempuan,
Namun keberaniannya melampaui gunung-gunung tinggi.
Membentangkan bendera pusaka,
Ia berteriak kepada dunia,
“Ini Mandar, tanah kami, bukan untuk dirampas!”
Ketika Belanda mencoba merenggut kebebasan,
Andi Depu berdiri di garis depan.
Seakan-akan tubuhnya adalah benteng,
Yang menolak setiap peluru penjajah.
Ia tak gentar, bahkan ketika kematian mendekat,
Karena bagi Andi Depu,
Mati demi tanah air adalah hidup yang sesungguhnya.
Di sebuah subuh yang basah oleh embun,
Mandar dirundung ketakutan.
Penjajah datang dengan bayonet dan senapan,
Namun Andi Depu maju,
Menyematkan harapan pada setiap langkahnya.
“Ini republik, rumah kita bersama,
Tak akan kubiarkan diinjak oleh kaki asing.”
Ketika sang merah putih berkibar,
Itu bukan sekadar kain,
Namun simbol perjuangan, cinta, dan keberanian.
Andi Depu menjahitnya dengan darah,
Menegakkannya dengan doa,
Dan melindunginya dengan nyawa.
Ia tak hanya melawan dengan senjata,
Namun dengan pendidikan dan kata-kata.
“Anak-anak Mandar harus belajar,” katanya,
“Karena pena lebih tajam dari pedang.”
Ia mengajarkan cinta pada bangsa,
Menghidupkan semangat perjuangan,
Di hati generasi yang hampir padam.
Namun perjuangan bukan tanpa harga.
Keluarganya menjadi sasaran,
Rumahnya dibakar, tanahnya dirampas.
Namun ia tersenyum, meski hatinya bergetar,
Karena ia tahu, kemerdekaan lebih berharga
Dari apa pun yang bisa dimiliki seorang manusia.
Belanda berusaha menundukkannya,
Dengan janji dan ancaman.
Namun Andi Depu tetap teguh,
“Jangan pernah menjual jiwa untuk kenyamanan.”
Katanya kepada anak-anaknya,
Dan kepada rakyat yang ia cintai.
Ketika republik ini berdiri,
Ia bukan hanya menyaksikan,
Namun menjadi bagian dari sejarahnya.
Di bawah bendera merah putih,
Ia berdoa untuk tanah airnya,
Agar selalu merdeka, selalu berjaya.
Kini, nama Andi Depu hidup dalam setiap ombak Mandar,
Dalam nyanyian angin di pantai,
Dan di hati setiap anak Indonesia.
Ia bukan hanya seorang pahlawan,
Namun cahaya yang tak pernah padam.
Ia mengajarkan bahwa perempuan adalah penjaga bangsa,
Bahwa keberanian tak mengenal jenis kelamin,
Dan bahwa cinta pada tanah air adalah warisan terbesar.
Andi Depu, sang lentera dari Mandar,
Menyala abadi dalam sejarah bangsa.
Ia adalah bukti bahwa perjuangan,
Bukan sekadar milik mereka yang berpedang,
Namun juga milik mereka yang berjiwa besar,
Yang mencintai negerinya dengan seluruh hati.
***
Rumah Kayu Cepu, 28 Januari 2025.
CATATAN:
[1] Puisi esai ini diinspirasi dari kisah Andi Depu yang lahir di Tinambung, Mandar, Sulawesi Barat, pada 1907. Ia dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang berani mengibarkan bendera merah putih di masa penjajahan Belanda.
https://tirto.id/pahlawan-nasional-2018-kisah-andi-depu-bertempur-demi-republik-c9E9