Terbaru

Pemancing Ikan: Optimisme, Kesabaran dan Iman

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

Biasanya Anda akan mendapati sosok-sosok yang memancarkan aura ketenangan ini, duduk atau berdiri di tepi sungai yang mengalir perlahan, di dermaga kayu yang usang, atau di atas perahu yang mengapung di tengah lautan biru: para pemancing ikan.

Dalam kesunyian yang mereka pilih, dalam kesabaran yang mereka pelihara, ada pelajaran mendalam tentang optimisme dan keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa rezeki datang dari Allah. Dan tentu saja, ada juga sisi kocak dari dunia para pemancing yang membuat hidup mereka penuh warna.

Sahabat saya Bang Faisal Hadi, sang mantan Koordinator Koalisi NGO HAM Aceh itu pernah berkata: “pemancing ikan adalah orang yang paling optimis di dunia”. Kalau tidak bagaimana mungkin mereka, para pemancing itu, bisa yakin bahwa ikan-ikan di lautan yang sedemikian luas, yang bebas berenang ke tujuh samudera dan enam benua lain itu, kok bisa secara khusus datang tanpa diundang ke Pelabuhan UleeLheu, Ujong Pancu atau spot-spot pemancingan favorit manapun. Dengan sukarela menyangkutkan bibir dan mulut mereka di mata pancing si pemancing.

Memancing itu adalah seni, kata Abang kandung saya, seorang maniak dalam pancing memancing. Bukan sekadar aktivitas mencari ikan, melainkan seni menunggu dengan sabar, sekaligus menjaga harapan. Seorang pemancing bisa duduk selama berjam-jam, bahkan seharian penuh, tanpa mengeluh. Namun saya selalu gagal paham, mengapa sipemancing selalu kembali lagi untuk memancing, walau hasil tangkapan tidak selalu sebanding dengan susah payah dan waktu yang dihabiskan.

Ini memang mencerminkan optimisme mendalam: keyakinan bahwa selama ia berusaha, ikan pasti akan datang. Atau bahasa syar’iyahnya: tawakal, menyerahkan hasil kepada kehendak Allah setelah melakukan ikhtiar.

Tentu saja ada momen-momen kocak yang tak terelakkan. Pernahkah Anda melihat pemancing yang terlalu asyik memandangi gadget bermedsos ria sampai-sampai umpannya dimakan ikan dan ia baru sadar setelah ikannya kabur? Atau komedi tragis saat seorang pemancing sadar ia “boncos”, biaya untuk umpan, makan siang, kopi dan ongkos transport ke lokasi pemancingan lebih besar dari harga ikan yang didapat.

Juga komedi “cheating”, tak dapat ikan di lokasi pemancingan, lalu singgah di pasar ikan membeli ikan sekilo, dua kilo biar nggak malu dengan orang di rumah. Pemancing memang sabar, tapi kadang sabarnya diselingi drama komedi.

Keimanan pada Rezeki yang Tak Terduga

Seorang pemancing tak pernah tahu ikan apa yang akan ia tangkap. Terkadang ia berharap mendapat ikan besar, tetapi yang tersangkut di kail justru ikan kecil. Kadang-kadang malah lebih kocak: yang tersangkut bukan ikan, melainkan sandal jepit, plastik, atau buah kelapa bolong (boh u leupieng atau keutupong). Namun, ia tidak pernah merasa kecewa. Baginya, setiap tangkapan adalah rezeki yang telah Allah tetapkan. Bahkan jika ia pulang dengan tangan kosong, ia tetap merasa bersyukur karena telah diberi kesempatan menikmati alam dan menjalani proses yang memperkaya batin.

Kalau si pemancing lepasan pesantren atau rajin menonton video UAH, UAS atau Buya Yahya, lalu anda kritik, hmmm..siap-siaplah akan diceramahi. Seorang pemancing sekaligus sufi-wannabe ini kontan menyitir firman Allah. “Dan tidak ada suatu makhluk pun yang bergerak di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.”

Memangbenar sih, Wahai Akhi Sufi (wannabe), Ayat Quran Surat Hud: 6 ini. Tapi jangan-jangan Anda mengutipnya hanya sekadar memenangkan debat dan menangkis “serangan para haters” saja.

Teman pemancing yang lebih pintar berkilah bahwa rezeki bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga proses perjalanan yang penuh makna. Rezeki bisa berupa ikan tangkapan, tetapi juga ketenangan, kebahagiaan, atau hikmah dari alam. Dan tentu saja, cerita lucu untuk dibagikan di warung kopi esok paginya.

Termasuk “rezeki” itu adalah hak untuk bersombong-ria (bragging). Abang saya pernah bragging, bahwa pancingnya pernah dimakan ikan yang matanya saja sebesar karung beras. Itu baru matanya saja, badannya sebesar apa? Tak pernah bisa diperlihatkan ke publik karena ikan, dengan ukuran yang masya Allah itu, menarik tali pancing sampai putus dan lalu ia lari ke tengah lautan dalam. Mana fotonya? Ah, sayang sekali, begitu Abang saya mengambil telepon genggamnya untuk memfoto, batere teleponnya habis. Akhhh….!

“Harmoni dengan Alam”

Para pemancing adalah orang-orang yang akrab dengan alam. Mereka tahu bilakah waktu terbaik untuk memancing, apakah saat fajar menyingsing atau senja menjelang malam. Yang sudah ahli bahkan menyertakan tanda-tanda alam, seperti arah angin atau pergerakan air, sebagai referensi sebelum mengambil keputusan hal ikhwal memancing ini. Keintiman ini menunjukkan sikap rendah hati. Mereka menyadari bahwa mereka hanyalah bagian kecil dari ciptaan Allah yang luas, dan keberhasilan mereka sangat bergantung pada kehendak-Nya.

Namun, ada saat-saat ketika alam bermain-main dengan mereka. Pernah mendengar cerita pemancing yang lari terbirit-birit karena penunggu sungai datang ingin bergabung: Si Aya, Pak Aya dan Buaya? Atau pemancing yang tiba-tiba kehilangan sandal karena terseret sungai?

Atau bahkan hujan badai datang tiba-tiba setelah setengah hari cerah cemerlang? Semua ini menambah bumbu humor dalam kehidupan mereka.

Pemancing Laut Dalam, Pinggir Pantai, dan Sungai: Ragam Gaya, Sama Semangatnya

“It has multifaces”, kata orang. Dunia memancing berwajah banyak. Pemancing laut dalam berani menghadapi ombak besar dan hamparan luas, seolah tak berujung dan kedalaman laut yang menciutkan nyali. Mereka mengincar ikan-ikan besar seperti tuna atau marlin.

Drama terjadi saat ikan besar itu memberikan perlawanan sengit. Tidak jarang, joran patah, tali putus, atau pemancing malah tercebur karena terlalu bersemangat menarik tangkapan!

Lalu ada pemancing pinggir pantai, yang lebih santai. Mereka menikmati deburan ombak kecil, sambil sesekali terkena cipratan air asin yang menyegarkan. Ada cerita tentang sandal yang habis tercabik-cabik karang tajam, kailnya tertarik oleh kepiting yang lari sekuat tenaga. Plus tak lupa bragging kepiting itu capitnya bisa melingkari pinggang seorang laki-laki dewasa saking besarnya si capit. Yang ketika si kepiting lari sekuat tenaga, suara napasnya yang ngos-ngosan sampai terdengar si pemancing.  Tangkapan berharga yang luar biasa, yaitu kalau kepiting super itu berhasil ditangkap. Karena sama seperti ikan super di atas, kepiting yang ini pun juga berhasil kabur. Tanpa bisa difoto. Halah…

Dan yang terakhir pemancing khusus sungai dan air tawar.Tak kalah serunya pemancing ini menghadapi tantangan lain. Mereka sering berurusan dengan ikan-ikan kecil yang cerdik dan sulit ditangkap. Atau sebaliknya manakala mereka memilih memancing di perairan di pedalaman, sungai, danau atau rawa jauh di tengah hutan, berbagai kisah luar biasa juga terjadi.

Suatu ketika ada pemancing yang terpaksa mengundurkan diri, membatalkan memancing di sungai itu setelah melihat ada satu makhluk meloncat keluar dari air menyambar seekor kera kecil dan menelannya satu kali hap. Kera yang malang itu sedang berayun-ayun di dahan pohon yang menggantung rendah di atas permukaan sungai. Mana foto buktinya?
Ah, Anda sudah tahu jawaban pertanyaan ini…

Micro Fishing Tanago: Komunitas Pemancing Khusus Ikan Kecil di Jepang

Di Jepang, ada komunitas unik yang memancing ikan kecil(micro fishing), yang terkecil yang bisa mereka tangkap. Ini disebut seni kuno Tanago Fishing yang berasal dari zaman samurai lebih dari 200 tahun yang lalu. Ukuran terbesar yang dibolehkan adalah seukuran koin uang logam, bayangkan kecilnya. Istilah tanago sendiri artinya “ikan di telapak tangan”

Lagi-lagi mereka mengklaim aktivitas ini bukan sekadar memancing, melainkan seni! Para anggota komunitas menggunakan alat-alat pancing miniatur yang dirancang khusus untuk ikan kecil. Bahkan mata pancingnya saja harus dikikir di bawah lensa pembesar yang umum dipakai tukang reparasi jam, saking kecilnya. Mendapatkan ikan berukuran sangat kecil saat memancing adalah sumber kebanggaan,semakin kecil ikannya, semakin besar kebanggaan yang diwakilinya. Karena semakin kecil ikan yang ditangkap, semakin besar bukti keterampilan sang pemancing.

C30640E3-2896-4187-83F4-786CE9BD3C84.jpg

(Kredit Foto: Oddity Central. Tanago fish compared to coin inside the fisherman palmhand)

Optimisme yang Menular

Tidak pernah menyerah adalah kredo, sekaligus keunikan lain yang dimiliki pemancing. Jika hari ini gagal, mereka akan kembali esok hari dengan semangat baru. Mereka memperbaiki teknik, mengganti umpan, atau mencoba lokasi berbeda. Semangat ini mencerminkan optimisme sejati yang menular. Orang-orang yang berada di sekitar pemancing sering kali ikut terinspirasi oleh ketenangan dan keyakinan mereka.

Dari para pemancing, kita belajar bahwa optimisme sejati terletak pada penerimaan dan rasa syukur. Mereka mengajarkan kita untuk tidak terlalu fokus pada hasil, melainkan menikmati proses. Dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian, kita sering kali tergoda untuk menyerah. Namun, seperti pemancing, kita diajak untuk terus berusaha dan percaya bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah.“

Kesabaran Prabowo berjuang jadi presiden sampai empat kali dan kalah terus sampai akhirnya dalam kali kelima berhasil juga, adalah contoh sejati seorang pemancing yang optimis dan pantang menyerah” kata pemancing yang tiba-tiba menjadi pengamat politik pinggiran dalam obrolan warung kopi kami hari itu. Waduh…?

Jadi, lain kali jika Anda melihat seseorang duduk di tepi sungai dengan kail di tangannya, ingatlah bahwa Anda sedang menyaksikan salah satu contoh terbaik dari optimisme, ketekunan, iman, dan tentu saja, hiburan. Berteman keheningan, para pemancing ikan adalah bukti hidup bahwa rezeki datang dari Allah, dan keyakinan itu adalah sumber kebahagiaan yang sejati — sekaligus sumber cerita kocak yang tak ada habisnya.

 

Redaksi hanya melakukan penyuntingan teknis, seperti: - Mengoreksi kesalahan ejaan, tanda baca, dan struktur kalimat. - Mengatur format dan tata letak teks. - Memastikan konsistensi gaya penulisan. Namun, redaksi tidak melakukan perubahan pada: - Isi dan substansi teks. - Pendapat dan opini penulis. - Data dan fakta yang disajikan. Dengan demikian, penulis tetap bertanggung jawab atas isi dan substansi teks yang ditulis.

Pertarungan di Sebuah Gedung Tua
Ilustrasi
Revitalisasi Nilai Dasar HMI: Membangun Kader Berbasis Teologi, Kosmologi, dan Antropologi
Oleh: Amilda Risky, Peserta LK3 HMI...
Cinta di Era Modern; Solusi Atau Masalah?
Oleh M. Rival Sihab Cinta selalu...
Perempuan Sebagai Inspirator
Reza pernah menulis langsung puisi di...
Gerimis
“Rintik hujan kecil yang membawaku kembali...

SELAKSA

Welcome Back!

Login to your account below

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Add New Playlist