Lonteku… Terima kasih
Atas pertolonganmu di malam itu
Lonteku… Dekat padaku
Mari kita lanjutkan cerita hari esok
Lirik lagu Lonteku karya Iwan Fals itu memiliki perspektif beragam. Lagu yang terdapat di album milik Iwan Fals yang berjudul Ethiopia. Album tersebut pertama kali dirilis pada 10 Maret 1993.
Meski banyak yang beranggapan lonte bermakna negatif. Namun dalam bahasa jawa, kata lonte bermakna berani atau nekat. Dalam bahasa sunda bermakna bodoh.
Lalu apa kira-kira yang dimaksud dengan lonte dalam lagu Iwan Fals tersebut. Jika kita baca lirik sebelum dan sesudahnya, Iwan Fals memaknai lonte sebagai perempuan yang menjual kenikmatan biologis.
Profesi yang dianggap hina dan melanggar norma serta etika itu, ternyata tetap eksis hingga hari ini. Dan jika dikaitkan dengan lagu ‘kupu-kupu malam’, kita boleh tersenyum.
Kita menghina lonte namun bagaimana dengan penikmat lonte. Cukup bermoral dan beretika mereka. Lalu bagaimana dengan politisi yang kemarin bersama rakyat sekarang berpasangan dengan oligarki.
Kebijakan demi rakyat diubah kebijakan pro bohir dan partai politik. Apakah tindakan itu cukup bermoral dan beretika. Apakah halal bagi kita menyebut mereka ‘lonte’. Lebih muliakah mereka yang mempermainkan suara rakyat.
Barangkali kita menyebut lonte sebagai trash of society, bolehkah kita menyebut politisi berprilaku demikian sebagai trash of democracy?.
Mari kita jernihkan pikiran. Tanpa memihak, bahkan oleh pikiran dan kepercayaan sendiri. Kita juga tidak dipengaruhi frame negatif soal lonte. Lalu kita coba berpikir ulang. Dan bertanya, mengapa kita harus menghardik lonte dan memuliakan pengkhianat amanat rakyat.
Padahal secara substantif keduanya sama. Melanggar moral dan etika. Bahkan politisi yang khianat amanat dan merampok uang rakyat, lebih merugikan orang banyak. Masihkah kita memuja dan memujinya, mencari muka padanya.
Masih banggakah kita bercengkrama dengan politisi demikian. Bahkan berswafoto sambil menikmati beberapa bungkus rokok dan nasi. Jangan-jangan kita tak lebih baik dari lonte yang menjajakan tubuhnya. Sementara kita menjual pikiran ke politisi-politisi dengan harapan naik kelas sosial.
Jika demikian, apa beda kita dengan pekerja seks (lonte). Bukankah mereka juga demi naik kelas sosial. Mereka juga tidak peduli latar belakang konsumen. Ada uang ada kenikmatan biologis.
Standar ganda menunjukkan kita belum ilmiah. Ini ‘penyakit’ yang paling banyak saat ini. Kita berteriak pekerja seks sampah sosial, lah politisi yang merampok uang rakyat dibela habis-habisan.
Akhirnya kita terjun menikmati kemunafikan. Kita terus dalam gua. Debat kaum pandir kita saksikan di media sosial, televisi, bahkan di institusi pendidikan. Dan kita pun tetap lonte yang menghardik lonte.