Terbaru

GIGI Band dan Majalah POTRET: Menjaga Lentera Literasi di Ujung Zaman

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

Oleh Afridal Darmi

Denting gitar seorang Dewa syahdu mengisi ruang memoriku, saat aku menuliskan essay ini. Lalu suara Armand yang macho mengikuti dengan tenang, anggun sepenuh rasa. Vokalis GiGi Band ini dengan mellow bertutur:

Sebelas Januari bertemu
Menjalani kisah cinta ini
Naluri berkata engkaulah
Milikku

Bahagia selalu dimiliki
Bertahun menjalani bersamamu
Kunyatakan bahwa engkaulah
Jiwaku

Hari ini, sebelas Januari 2025. Eh, tahu-tahu Majalah POTRET sudah 22 tahun aja! Rasanya baru kemarin Bang Tabrani Yuni’s mengumumkan kepada dunia, sekaligus mengajak kami sesama aktivis masyarakat sipil untuk menulis dan mengisi ruang di majalah ini dengan tulisan-tulisan orisinil. Pada saat itu sebagian besar kami, teman-teman Bang Tabrani sendiri,malah mengabaikan kesempatan ini. Berbagai alasan dikemukakan, tidak ada waktulah, lagi fokus pada kerjaan lah, sedang sibuk dengan laporan lembaga lah.

Saya sendiri selain itu sering berkilah dengan alasan formil khas advokat: sedang menulis dan menyiapkan dokumen sidang, Pleidoi untuk si ini dan si itu aktivis HAM yang sedang terkena “jatah” kriminalisasi oleh rezim dan seterusnya.

Namun sebenarnya di bawah permukaan, ada ketidakpercayaan, atau katakanlah skeptis pada POTRET pada awalnya. Tahun-tahun itu adalah tahun yang penuh dengan kasus pelanggaran HAM yang bikin kepala Pekerja HAM seperti saya berasap. Periode tahun 2002-2003 saat POTRET dirintis adalah periode gelap di tengah negeri yang dirobek perang. Sejak Jeda Kemanusiaan berakhir, dan diikuti masa damai yang singkat dalam CoHA (Cessasiton of Hostilities Agreement/Kesepakatan Penghentian Permusuhan) kami semua sedang cemas menanti kembalinya kedua pihak (RI dan GAM) kembali ke meja perundingan damai. Justru di saat seperti itu POTRET dilahirkan dan Bang Tab mengampanyekan gerakan literasi.

Sebagai aktivis sekaligus advokat HAM waktu itu, saya sering berpikir, “Literasi? Apa gunanya membaca kalau dunia ini sudah kacau begini parah? Apa gunanya menulis opini saat teman dan rekan ditangkapi atau dihilangkan? Saat rakyat sipil terbunuh kiri dan kanan?” Literasi rasanya seperti kemewahan: buang-buang waktu, energi, dan umur. Ya ampun, bayangkan saja, kita sibuk bekerja siang malam mencari orang hilang atau membela teman mahasiswa yang ditangkap setelah demo soal keadilan, sementara ada orang sibuk ngomongin metafora dan kisah guru di daerah terpencil.

Tapi suatu hari, di tengah maraknya aksi jalanan dan sidang advokasi yang melelahkan, seorang teman menyodorkan Majalah POTRET. Saya skeptis, tapi tetap membaca. “Wah, ini apa lagi, pasti isinya sok-sok inspiratif,” pikir saya. Eh, ternyata artikelnya membahas perjuangan petani kecil melawan korporasi besar yang merampas tanah mereka. Dalam sekejap, saya merasa seperti ditampar realitas.

Ternyata membaca dan menulis juga bisa jadi bentuk perlawanan!

Di sepanjang perjalanan selanjutnya, di tengah derasnya informasi instan, bagi saya POTRET tetap teguh pada komitmennya untuk menyajikan konten berkualitas, bukan sekadar mengikuti arus tren. POTRET mengingatkan kita bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, melainkan juga soal berpikir, merenung, dan bertindak berdasarkan wawasan yang luas.

Sebuah media yang telah menjadi penjaga lentera literasi di tengah pusaran zaman yang berubah begitu cepat. Bagi saya, dalam usia 22 tahun usianya, POTRET telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan intelektual masyarakat Aceh, bahkan Indonesia. Ia bukan sekadar media, melainkan ruang dialog yang menyatukan cerita, kritik, gagasan, dan harapan dari berbagai penjuru negeri.

Dan jangan lupa. POTRET adalah media untuk kami para aktivis yang semula skeptis dan malas, mulai menulis dan mempublikasikan pikiran, sikap dan laporan lapangan. Jika semula kegiatan advokasi hanya dilaporkan secara internal kelembagaan, atau paling-paling kepada donor. Lewat tulisan populer laporan lapangan itu juga bisa disampaikan ke masyarakat melalui POTRET. Ini berdampingan dengan laporan dan essay tentang sosok-sosok perempuan inspiratif yang menolak tunduk pada penindasan atau keterbatasan. Menolak menyerah pada keadaan dan gigih berjuang di lapangan kehidupan. Menghidupi dirinya dan keluarganya bahkan menjadi contoh untuk komunitasnya.

Kami para aktivis masyarakat sipil ini selayaknya berdiri dengan hormat dan kagum, topi atau kopiah di tangan, takzim menekurkan kepala penuh hormat kepada Bang Tab dan POTRET yang telah dengan jujur dan berani mengangkat suara para perempuan hebat itu, suara-suara dari akar rumput itu, ke media yang dibaca luas di masyarakat.

Namun, hidup itu tidak selalu mulus, apalagi buat POTRET. Bayangkan saja, media cetak di era digital ini seperti dinosaurus yang dipaksa pakai skateboard. Jangankan POTRET surat kabar atau tabloid dan majalah komersial saja kolaps. Dan benar saja, setahun lalu Bang Tab memposting di media sosial kami kabar (yang sebenarnya tidak) mengejutkan: POTRET versi cetak berhenti terbit!

Sempat kaget, sedih, bahkan mikir, “Serasa ada teman yang meninggal dunia”. Untunglah, teman yang ini tidak benar-benar meninggal, POTRET hidup lagi dengan versi online.Yeeeeiiii…! Kiranya kredo  Nulla tenaci invia est via , sebuah pepatah Bahasa Latin yang bermakna  “Bagi yang ulet, tidak ada jalan yang tidak bisa dilalui” tepat dilekatkan untuk POTRET. Wah, sekarang bukan hanya lentera literasi, tapi sudah jadi lentera Wi-Fi!

So, POTRET telah bertahan di tengah ombak dan gelombang, tapi ya, nggak sempurna juga. Kadang POTRET terlalu serius, seperti mahasiswa semester akhir yang lupa caranya bersenang-senang. Kadang kita juga butuh sesuatu yang bikin ketawa, biar nggak stres mikirin cicilan. Lagi pula zamannya untuk mengikat mereka yang lebih memilih senang-senang juga sudah tiba. Beda dengan generasi kita, tantangan sekarang adalah membuat generasi Z yang doyan scroll bisa ikut terinspirasi. Jangan kalah sama meme!

Harapan saya, di usia ke-22 ini, POTRET online bisa lebih gaul, demi mendekati kaum “yang ringan-ringan aja deh” ini.

Sebagai media yang selalu mengajak masyarakat untuk terus membaca dan menulis, POTRET telah menjadi salah satu benteng terakhir literasi di negeri ini.

Saya berharap POTRET lebih berani menjangkau generasi muda, mereka yang lahir di tengah banjir konten digital. Majalah ini bisa lebih eksperimental dengan format multimedia atau membuka ruang diskusi interaktif agar tetap relevan dengan audiens yang semakin dinamis.

Jadi, selamat ulang tahun, POTRET! Teruslah jadi lentera literasi, sekarang dengan teknologi yang bikin kita nggak perlu lagi cari kios koran di pagi hari. Kami butuh kamu untuk menyelamatkan dunia dari generasi yang cuma tahu “scroll, like, share”. Kalau bisa, tambahkan bonus stiker digital. Siapa tahu saya jadi langganan lagi!

Harapan saya, POTRET terus menjaga integritasnya sebagai media yang tidak hanya menceritakan dunia, tetapi juga menginspirasi perubahan. Teruslah menjadi ruang yang menghidupkan percakapan, memupuk wawasan, dan menyulut imajinasi pembaca. Selamat ulang tahun, POTRET.

Terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan kami menuju masyarakat yang lebih literat, adil, dan bijaksana.

Suara macho Armand Maulana masih terngiang di ruang memori audio saat saya mengakiri essay ini.

Kau bawa diriku ke dalam hidupmu
Kau basuh diriku dengan rasa sayang
Senyummu juga sedihmu adalah hidupku
Kau sentuh cintaku dengan lembut
Dengan sejuta warna

Sebelas Januari bertemu
Menjalani kisah cinta ini
Naluri berkata engkaulah
Milikku

Montasik, Aceh Besar, 11 Januari 2025

(Tentang Penulis: Afridal Darmi, SH, LLM berprofesisebagai seorang advokat dan pembela HAM. Berkediaman di Aceh Besar. Alamat email: afridaldarmi@gmail.com)

Redaksi hanya melakukan penyuntingan teknis, seperti: - Mengoreksi kesalahan ejaan, tanda baca, dan struktur kalimat. - Mengatur format dan tata letak teks. - Memastikan konsistensi gaya penulisan. Namun, redaksi tidak melakukan perubahan pada: - Isi dan substansi teks. - Pendapat dan opini penulis. - Data dan fakta yang disajikan. Dengan demikian, penulis tetap bertanggung jawab atas isi dan substansi teks yang ditulis.

Pertarungan di Sebuah Gedung Tua
Ilustrasi
Revitalisasi Nilai Dasar HMI: Membangun Kader Berbasis Teologi, Kosmologi, dan Antropologi
Oleh: Amilda Risky, Peserta LK3 HMI...
Cinta di Era Modern; Solusi Atau Masalah?
Oleh M. Rival Sihab Cinta selalu...
Perempuan Sebagai Inspirator
Reza pernah menulis langsung puisi di...
Gerimis
“Rintik hujan kecil yang membawaku kembali...

SELAKSA

Welcome Back!

Login to your account below

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Add New Playlist