Terbaru

Gerbang Besi dan Mimpi yang Ditinggal

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram

 

Oleh: Sadri Ondang Jaya

Daerah itu ibarat perahu yang nyaris karam. Bukan karena dihantam badai atau kehilangan arah, tetapi oleh keserakahan manusia yang mencabik-cabiknya tanpa ampun.

Sejak kecil, aku sudah akrab dengan suara gergaji yang meraung, aroma kayu yang ditebang, dan debu jalanan yang berhamburan. Truk-truk raksasa melaju, membawa batang-batang kayu yang dulunya tegak sebagai penjaga alam.

Pohon-pohon besar yang seharusnya berumur ratusan tahun dibawa ke luar daerah malah ke manca negara.

Berbarengan dengan itu, perusahaan-perusahaan kayu berdiri megah, bagai istana besi yang tak tersentuh. Salah satunya, PT Alam Lestari—nama yang berkilau dalam ironi. Bergerak, meracik kayu setengah jadi.

Gerbang besinya menjulang tinggi, seperti benteng yang membatasi dunia kami dengan dunia mereka. Lampu sorot berputar, seakan menjadi mata-mata yang tak pernah tidur.

Dari luar, kami, anak-anak kampung, hanya bisa memandang, menatap gedung-gedung mewah dengan fasilitas yang seolah-olah berasal dari negeri anta beranta.

Sebuah Proposal,
Sebuah Penolakan

Suatu sore, dengan keberanian yang kami kumpulkan, aku, Badrun, dan Husni berdiri di depan gerbang raksasa itu. Di tangan kami, sebuah proposal sederhana—permohonan bantuan dana untuk halal bihalal pemuda kampung.

Seorang satpam berkumis tebal menatap kami dengan sinis, seolah-olah kami hanyalah pengemis yang salah alamat.

“Bang, kami mau ketemu Pak Manager. Kami mau ajukan proposal bantuan acara pemuda kampung,” kataku dengan sopan.

Satpam itu menyipitkan mata. “Bantuan? Kalian ini siapa?”

“Kami pemuda kampung, Bang. Ini acara untuk seluruh warga,” sahut Badrun, penuh harap.

Satpam itu tertawa pendek, penuh ejekan. “Dengar, Dek. Perusahaan ini bukan tempat minta-minta. Lagipula, buat apa kami bantu acara begituan?”

Aku mencoba bertahan. “Tapi, Bang, perusahaan ini sudah lama berdiri di kampung kami. Setidaknya…”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, nada suara satpam itu berubah tajam. “Kalau kalian banyak tanya soal perusahaan ini, nanti kalian yang susah sendiri. Sudah banyak orang bermasalah karena terlalu kepo.”

Mimpi kecil kami runtuh begitu saja di depan gerbang besi itu. Seakan-akan, harapan kami tak lebih dari debu yang bisa diusir dengan satu embusan napas.

Husni menarik lenganku, memberi isyarat agar kami pergi. Kami pun melangkah menjauh, meninggalkan gerbang yang tetap tegak berdiri—dingin, angkuh, tak peduli, dan barangkali juga tertawa dalam diamnya.

Istana di Angkasa,
Jerit di Tanah

Seiring bertambahnya usia, aku mulai memahami bagaimana dunia bekerja. Kekayaan bertumpuk di tangan segelintir orang, sementara rakyat di bawah berjuang sekadar untuk bertahan.

Pemilik perusahaan-perusahaan kayu itu bukan bagian dari kami—mereka bukan orang-orang kampung yang berjalan dengan telapak kaki berdebu dan tangan berlumur tanah.

Mereka tinggal di kota-kota besar, makan di restoran mahal, berbicara dengan bahasa bisnis yang penuh janji manis.

Sementara itu, di kampung kami, para buruh bekerja seperti roda mesin, terus berputar tanpa pernah tahu kapan akan berhenti.

Ayah Badrun salah satunya—lelaki dengan tangan kasar dan punggung yang kian membungkuk. Bertahun-tahun ia bekerja tanpa kepastian, seakan hidupnya sendiri adalah pohon yang sewaktu-waktu bisa ditebang.

Suatu malam di warung kopi, aku, Badrun, Husni, dan beberapa teman berbincang serius.

“Seharusnya mereka meninggalkan sesuatu untuk kita,” kataku. “Dana sosial, beasiswa, atau sekadar listrik untuk desa-desa terpencil.”

Badrun tertawa pahit. “Siapa yang peduli? Ayahku pernah tanya soal kenaikan gaji saja, besoknya langsung ‘digertak’ dan diancam.”

Husni, yang biasanya pendiam, menatap kami dengan mata berapi-api. “Kalau kita cuma diam, kampung ini selamanya akan jadi sapi perah. Kekayaan diangkut tanpa kompensasi apa-apa.”

Aku mengangguk. Tapi aku tahu, kenyataan tak sesederhana itu. Ini bukan cerita heroik tentang revolusi. Ini hanyalah kisah orang-orang kecil yang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan dan pembodohan.

Hutan Hilang, Air Mata
yang Datang

Lalu, atas nama regulasi, perusahaan-perusahaan itu hengkang.

Kami pikir ini akan menjadi awal yang baru. Kami bayangkan hutan akan kembali hijau, sungai akan kembali jernih, burung-burung akan kembali bernyanyi. Tapi harapan itu ternyata hanya ilusi.

Musim hujan pertama setelah perusahaan hengkang, banjir datang tanpa ampun. Air bah menerjang kampung kami, membawa lumpur dan puing-puing harapan. Sawah-sawah tenggelam, rumah-rumah hanyut, dan jalanan berubah menjadi lautan cokelat.

Aku melihat Pak Hasan, seorang petani tua, berdiri di atas puing-puing rumahnya yang telah roboh. Ia diam, menatap arus yang terus mengalir.

“Dulu, hutan itu penjaga kita,” katanya lirih. “Sekarang, yang tersisa hanya air mata. Daerah titisan ulama ini menjadi daerah termiskin, terbanjir, dan tertinggal.”

Aku menoleh ke bukit-bukit di kejauhan. Yang dulu hijau, kini botak dan tandus. Hutan yang seharusnya menjadi perisai, kini menjelma menjadi luka yang tak kunjung sembuh.

Sejarah yang Berulang

Tak butuh waktu lama, perusahaan baru datang.

Kali ini bukan kayu yang mereka incar, melainkan kelapa sawit. Lahan-lahan bekas hutan, yang dulu penuh pohon-pohon raksasa, kini berganti menjadi perkebunan sawit yang berbaris rapi seperti prajurit.

Mereka datang dengan senyum, membawa janji kesejahteraan. Mereka bicara tentang pekerjaan, tentang pembangunan, tentang masa depan yang lebih cerah.

Tapi kami tahu, ini hanya cerita lama yang diulang dengan kemasan baru.

“Percayalah, kedatangan mereka cuma mengulang kesalahan yang sama,” kata Husni suatu hari.

Dan benar saja. Setelah perusahaan sawit itu beroperasi, apa yang kami dapat? Pemuda-pemuda kampung tetap menganggur, lahan pertanian makin menyempit, dan dana sosial perusahaan tetap tak pernah melimpah.

Di depan gerbang besi yang lain, generasi berikutnya akan berdiri. Dengan proposal di tangan, dengan harapan yang sama.

Dan mungkin, mereka juga akan dipandang sebelah mata, seperti yang pernah kami alami.

Karena di dunia ini, ada hal-hal yang terus berulang—seperti keserakahan, seperti ketidakadilan, seperti mimpi yang meranggas sebelum sempat tumbuh dan berkembang.[]

Redaksi hanya melakukan penyuntingan teknis, seperti: - Mengoreksi kesalahan ejaan, tanda baca, dan struktur kalimat. - Mengatur format dan tata letak teks. - Memastikan konsistensi gaya penulisan. Namun, redaksi tidak melakukan perubahan pada: - Isi dan substansi teks. - Pendapat dan opini penulis. - Data dan fakta yang disajikan. Dengan demikian, penulis tetap bertanggung jawab atas isi dan substansi teks yang ditulis.

Pertarungan di Sebuah Gedung Tua
Ilustrasi
Revitalisasi Nilai Dasar HMI: Membangun Kader Berbasis Teologi, Kosmologi, dan Antropologi
Oleh: Amilda Risky, Peserta LK3 HMI...
Cinta di Era Modern; Solusi Atau Masalah?
Oleh M. Rival Sihab Cinta selalu...
Perempuan Sebagai Inspirator
Reza pernah menulis langsung puisi di...
Gerimis
“Rintik hujan kecil yang membawaku kembali...

SELAKSA

Welcome Back!

Login to your account below

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Add New Playlist