Oleh Hajrah Muchtar
Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Di tengah kota Banda Aceh yang dikenal dengan daerah yang kental dengan nilai-nilai agama Islam, muncul realitas sosial yang sangat memprihatinkan. Di kota ini banyak kita jumpai pengemis di sejumlah warung kopi ( Warkop) dan tempat makan atau pusat keramaian lainnya di sekitar kota Banda Aceh. Ada yang usia tua, atau lansia, muda hingga anak-anak. Begitu pula halnya dengan jenis kelamin. Ada laki-laki dan juga perempuan.
Apa yang menarik perhatian penulis adalah ketika mengamati seorang pengemis berjenis kelamin perempuan. Ya, perempuan itu mengenakan jilbab. Tetapi tidak seperti kebiasaan perempuan lain yang mengenakan jilbab. Perempuan ini mengenakan jilbab yang terbalik dan miring, serta berkain sarung yang sudah sobek.
Ini terasa aneh. Maka, penulis memfokuskan perhatian pada pengemis itu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Begitu diperhatikan lebih seksama, ternyata jilbab yang tampak acak-acakan itu bukanlah karena ketidaksengajaan, melainkan sengaja dimiringkan untuk menciptakan kesan tertentu.
Ternyata pula, setelah berada di satu warkop atau warung makan, ia keluar dan kemudian merapikan jilbabnya. Mungkin, agar tidak terlihat aneh dan tidak lagi miring. Namun, begitu keluar dari tempat tersebut dan berpindah ke warkop atau tempat makan lain, jilbab itu kembali dimiringkan dengan sengaja, hanya saat ia meminta sedekah.
Fenomena ini tentu sangat mengejutkan dan menjadi pusat perhatian banyak kalangan. Jilbab, yang seharusnya untuk menutup aurat sebagai bentuk ketaatan dan identitas seorang muslimah, justru dijadikan alat untuk menarik belas kasihan orang lain. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam praktiknya, jilbab yang seharusnya menjadi penanda kesopanan dan ketaatan kepada agama Islam, malah digunakan sebagai alat manipulasi untuk meraih keuntungan berupa sedekah dari orang-orang yang kasihan melihat penampilannya yang terkesan “memprihatinkan”, dan mengecoh.
Ini adalah tindakan tidak jujur, dan mengelabui orang lain. Sebagai perbuatan tidak jujur, akan membawa akibat pada dirinya yang sedang mencari rezeki dengan cara meminta-minta atau mengemis. Dapat kita katakan bahwa tindakan pengemis ini sangat jelas menunjukkan bahwa ia sedang berusaha menciptakan kesan “terlalu miskin” atau “terlalu menderita” hanya saat meminta bantuan.
Perilaku begini bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam dan prinsip kejujuran dalam masyarakat. Islam mengajarkan umatnya untuk mencari nafkah dengan cara yang jujur dan halal serta menghindari cara-cara manipulatif untuk meraih keuntungan, termasuk dalam hal sedekah. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 267:
“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan untukmu dari bumi, dan janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu nafkahkan, padahal kamu sendiri tidak akan mau menerimanya, kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Ayat ini, membimbing kita dalam bersedekah. Sedekah seharusnya diberikan dengan niat yang tulus untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan. Jika sedekah disalahgunakan oleh mereka yang tidak benar-benar membutuhkan, maka makna dari sedekah itu akan terdistorsi. Hal ini tidak hanya merusak niat baik pemberi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemberian sedekah itu sendiri.
Dalam konteks Aceh, pemerintah Aceh sendiri telah mengeluarkan aturan atau qanun mengenai hal itu. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2014 tentang Kesejahteraan Sosial, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mengatur dan mengawasi distribusi bantuan sosial agar dapat sampai kepada mereka yang berhak.
Qanun ini mengatur pemberian bantuan yang tepat sasaran kepada mereka yang membutuhkan, dan menghindari penyalahgunaan bantuan sosial oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Pemerintah Kota Banda Aceh juga memiliki peraturan terkait pengemis, yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Ketertiban Umum.
Peraturan ini mencakup larangan terhadap segala bentuk pengemis yang memanfaatkan kepedulian orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara yang tidak jujur. Perda ini bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tindakan yang merugikan.
Masyarakat juga harus lebih bijak dalam memberikan sedekah. Kadang-kadang, niat baik untuk membantu justru jatuh ke tangan yang salah. Tindakan pengemis ini, meskipun mungkin tidak mewakili mayoritas pengemis di Banda Aceh, menunjukkan bagaimana beberapa orang bisa memanfaatkan kelemahan sosial atau kepekaan masyarakat untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tidak hanya melihat penampilan luar, tetapi juga untuk lebih bijaksana dalam menentukan siapa yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Dalam hal ini, pemerintah dan lembaga-lembaga sosial di Aceh dan Banda Aceh khususnya, perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menyalurkan bantuan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Salah satu cara untuk mengurangi tindakan manipulatif semacam ini adalah dengan meningkatkan transparansi dalam distribusi bantuan sosial dan sedekah. Program sosial yang lebih terstruktur, seperti pendataan penerima manfaat yang jelas, sangat diperlukan agar bantuan tepat sasaran dan tidak jatuh ke tangan yang salah.
Banda Aceh sebagai daerah yang memiliki kesadaran agama yang tinggi, sudah seharusnya menjadi contoh dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan. Sebagai masyarakat yang mengutamakan kepedulian terhadap sesama, kita perlu menjaga nilai-nilai dalam agama Islam, salah satunya dengan tidak membiarkan manipulasi dengan cara tertentu dan kejujuran dalam meminta bantuan. Agar kita tetap dapat menjalankan ibadah sedekah dengan tulus, dan bukan karena terpengaruh oleh taktik manipulatif yang merusak.
Kesadaran sosial juga harus ditingkatkan agar masyarakat lebih cermat dalam memberikan bantuan, terutama kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Sebab, sedekah adalah bentuk ibadah yang seharusnya diberikan dengan ketulusan, bukan karena rasa kasihan semata. Kita semua harus bisa memilih dan memilah mana yang benar-benar membutuhkan dan mana yang hanya memanfaatkan keadaan untuk keuntungan pribadi.
Semoga ke depannya kita bisa lebih berhati-hati dalam memberikan bantuan kepada sesama, serta menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan agama agar tidak disalahgunakan oleh segelintir pihak yang hanya ingin meraup keuntungan tanpa usaha yang pantas. Masyarakat Banda Aceh khususnya perlu lebih memahami bagaimana cara memberi yang benar dan bijak, agar sedekah yang diberikan benar-benar membawa manfaat baik bagi penerima maupun bagi pemberi itu sendiri.