Mengendus Eksploitasi Pengemis di Serambi Makkah

 

Oleh Raisa Magfira

Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh 

Banda Aceh, bu kota Provinsi Aceh, adalah sebuah kota yang memancarkan pesona sejarah dan budaya yang mendalam. Dengan julukan “Serambi Mekkah,” kota ini tidak hanya dikenal karena kekayaan tradisi Islamnya, tetapi juga sebagai saksi bisu perjalanan panjang peradaban Aceh. Keindahan arsitektur masjid-masjid megah, seperti Masjid Raya Baiturrahman salah satunya, berpadu dengan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius.

Selaim itu, kota ini memiliki kedalaman spiritual yang tercermin di dalam kehidupan sehari-hari warganya. Sebagai salah satu pusat peradaban Islam di Asia Tenggara, Banda Aceh menyimpan warisan sejarah yang tak ternilai, termasuk kejayaan Kesultanan Aceh yang pernah menjadi kekuatan besar di wilayah ini. Selain itu. Banda Aceh juga menyimpan kisah perjuangan yang penuh inspirasi, terutama setelah bencana Tsunami 2004, yang menunjukkan ketangguhan dan semangat kebangkitan kota ini.

Namun, siapa sangka di balik keindahan pesona kota Serambi Mekah ini, tersimpan kesenjagan sosial yang sering terabaikan dan sangat memperhatinkan seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan permasalahan kesejahteraan yang menghimpit sebagian besar, ada pula yang terpaksa bertahan hidup dengan cara mengemis, menunjukkan betapa besar kesenjangan yang ada dalam masyarakat.

 

Pengemis-pengemis ini tersebar di tempat-tempat ramai seperti pasar, masjid, dan jalan utama kota, dimana mereka seringkali mengadalkan sumbangan orang yang melintas sebagai sumber kehidupannya. Realitas seperti ini bukan hanya persoalan individu melainkan masalah skruktural yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat

Di hari selasa, 11 November 2024, jam 10:13 di bawah langit mendung yang menyelimuti kota, di tengah hiruk-pikuk aktivitas kota terus berjalan. Suara langkah kaki, kendaraan, dan percakapan bersatu dalam kesibukan yang tak terhentikan, meskipun cuaca yang kelabu seolah memberikan kesan melambatkan waktu. di tengah kesibukan itu, langit yang mendung tetap menggambarkan ketenangan yang kontras, seperti layaknya sebuah jeda yang menunggu untuk tidak dilewati. Lalu terhenti sejenak, tiba-tiba mata tertuju pada salah satu pengemis.

Di tepi jalan yang ramai, di sudut gang pasar dekat Masjid Baiturrahman, seorang kakek tua berusia lanjut, umurnya sekitar 70 tahun lebih. Garis-garis wajahnya yang dalam seakan mencerminkan beratnya beban hidupnya. Tubuhnya yang renta dibalut pakaian lusuh, tidak lupa memakai peci yang berciri khas pengemis (lusuh), duduk dengan tubuh ringkih berkedok sudah tidak bisa berjalan. Seolah-olah kakinya lumpuh. Ia menyeret tubuhnya di tanah untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sarung tangan seadanya, tanpa menggunakan alas kaki. Tidak lupa tangan mengenggam kaki yang lumpuh seolah kesakitan, dan berusaha menyakinkan orang-orang yang ada di pasar dan orang-orang yang lalu lalang bahwa ia tidak bisa berjalan. Begitulah kira-kira, meskipun setiap gerakan tidak ada tanda-tanda lumpuh semuanya hanyalah taktik untuk mengundang belas kasihan orang-orang. Totalitas sekali.

Tidak lupa dengan ember kecilnya yang berubah-ubah posisi setiap beberapa menit sekali, kadang di depan, di samping,di bawah kakinya dan kadang mengulurkan tangannya. Pokoknya selalu siap menampung derma, meskipun kadang hanya sekadar koin. Ada beberapa di antaranya yang memberikan Rp. 1000 hingga Rp. 2000. Ada yang berhenti sejenak, memberikan uang sambil motornya melaju, ada juga dengan cara melempar pelan. Seketika ember kecilnya penuh beralih ke gang di belakang masjid Raya Baiturrahman.

Pada hari minggu tanggal 17 November 2024, pukul 13:01,  penulis kembali mendatangi tempat yang sama untuk mengobservasi kedua kalinya, fenomenanya jauh lebih mencengangkan. Ternyata pengemis itu, beroperasi di bawah pengawasan seorang bapak-bapak sekitaran umur 40 tahun. Pada pukul 14:00, si kakek tua, yang awalnya duduk di sudut jalan dengan topi tergeletak di depannya, tiba-tiba dihampiri oleh bapak tersebut dengan becak. Orang itu berbicara sebentar dengannya, lalu si kakek terlihat menyerahkan sejumlah uang yang sebelumnya ia kumpulkan. Setelah itu, bapak tersebut memberikan sebotol air dan sebuah kantong plastik kecil kepada si kakek sebelum pergi dengan becaknya.

Pada pukul 15.00, si kakek berpindah lokasi, tetapi tetap berada di area pasar. Gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia bekerja di bawah bapak itu. Beberapa kali ia melirik ke arah jalan, tempat becak tadi melintas, menunggu bapak tadi. Pada pukul 15:30, becak yang sama kembali mendekat. Kali ini, terlihat dua pengemis lain yang ikut menyerahkan hasil uang mereka kepada orang yang sama. Situasi ini menegaskan bahwa si kakek dan beberapa pengemis lainnya kemungkinan berada di bawah kendali bapak tersebut. Yang mengatur lokasi untuk mereka mengemis.

Dapat disimpulkan bahwa sebagian pengemis mungkin bukan bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan di bawah kendali pihak tertentu yang memanfaatkan mereka untuk kepentingan pribadi. Hal ini menunjukkan pentingnya intervensi pemerintah atau lembaga sosial untuk memberantas eksploitasi dan memberikan solusi yang lebih manusiawi bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.

 

Dalam Islam sendiri Rasulullah saw, sangat tegas melarang seseorang yang mengemis tanpa alasan yang sah dalam arti kebutuhan yang desak. Mengemis dengan tujuan untuk mendapatkan harta secara tidak sah, dikarena malas bekerja adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam Islam. Mengemis dianggap jalan terakhir ketika sesorang sudah tidak mampu bekerja atau mencari nafkah.

Meskipun Aceh termasuk dalam daftar pengemis tingkat rendah, tidak seperti Jakarta dan Surabaya, akan tetapi dalam isu yang beredar, Aceh masuk salah satu provinsi yang  tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera. Peringkat no 10 se Indonesia. Menurut presentase angka kemiskinan masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional, Ini harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah, untuk membasmi dan mengatasi kemiskinan dan pengemis jalanan.

Ini penting. agar tidak memengaruhi kebiasaan sosial, dan ketergantungan pada orang lain. Kemiskinan dan pengemis memiliki hubungan yang erat kaitannya, tidak bisa dipisahkan, di karenakan pengemis adalah bagian dari kelompok masyarakat yang hidup dalam kemiskinan yang ujung-unjungnya mereka meminta-minta dikarena ketimpangan sosial.

Masalah ini tidak bisa diabaikan, perlu adanya solusi. Tentu, tidak semudah dengan sekadar melakukan razia atau penertiban semata. Sudah saatnya  pemerintah harus bertindak tegas mengatasi dan menanggulangi dan mencari solusi terkait masalah pengemis secara holistik (menyeluruh), mencakup dari pemberdayaan ekonomi dari pemerintah seperti menyediakan keterampilan khusus, menjahit, kerajinan tangan.

Peningkatan akses terhadap pendidikan gratis bagi anak-anak, dan keluarga pengemis agar terputus rantai pengemis, kemiskinan. Penyediaan lapangan kerja yang layak. Selain itu penegakan hukum yang tegas terhadap pengemis yang dipaksa mengemis juga perlu diperhatikan, dikarenakan di dalam beberapa kasus, pengemis ini dieksploitasi demi keuntungan pihak-pihak tertentu.

Masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran untuk lebih memahami cara terbaik untuk membantu pengemis. Salah satunya jika ingin membantu melalui lembaga yang memang sudah terpercaya, sudah ada surat izin bukan memberi langsung kepada pengemis. Yang akhirnya membuat mereka ketergantungan pada bantuan tersebut dan menghambat usaha,untuk memperbaiki kondisi hidup mereka.

Jangan  hanya memberikan uang, memberikan solusi sementara, tanpa mengatasi akar dari masalah yang mereka hadapi. Ini juga mendorong mereka untuk menipu dan berperilaku tidak jujur dikarenakan pura-pura mengemis dalam keadaan sakit seperti contoh di atas.

Kita berharap dan memohon kepada pemerintah Kota Banda Aceh untuk segera menindaklanjuti kebijakan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan dalam menangani masalah ini.

 

 

 

Exit mobile version