Ayah dan Gunung Singgalang
Oleh Leni Marlina
(1)
Tanganmu, Ayah,
bagaikan batu cadas gunung Singgalang,
terbenam dalam tanah Minangkabau yang tak pernah lelah,
menahan deras hujan yang tiada henti,
seperti jurang-jurang yang menganga di sisi bukit.
Engkau tak banyak bicara,
namun di setiap jemari yang tergenggam erat,
terpancar sungai yang mengalir perlahan,
mengukir kehidupan dengan kekuatan yang tak terucapkan.
Di bawah langit yang dihiasi kabut Bukittinggi,
ketika gunung Singgalang dan lembah Sianok bersenandung dalam diam,
tanganmu laksana penjaga jalan,
membimbing langkah kami yang rapuh
di antara jalur-jalur curam penuh duri.
Di balik kesunyian malam,
aku tahu bahwa tanganmu seperti akar yang menancap
di dasar bumi Minangkabau,
menjaga agar kami tak tersesat dalam gelapnya kehidupan.
[2]
Tanganmu bagaikan tanah tempat tumbuhnya padi,
menumbuhkan kehidupan di antara sawah-sawah yang menghijau,
membiarkan kami tumbuh tinggi meski diterpa angin yang mendesau.
Engkau laksana gunung Singgalang yang menghalau badai,
tak pernah mundur meski langit menangis,
sementara kami hanya bisa berdiri,
memandangmu dengan rasa kagum yang tak terlukiskan.
Ketika ribuan bintang bersaing dengan malam,
tanganmu tetap menggenggam,
seperti akar pohon rindang di hutan gunung Singgalang,
memberikan kehidupan di tengah teriknya siang.
Kami, anak-anakmu,
berdiri tegak di bawah bayangmu,
dengan doa yang hanya bisa kami ucapkan dalam hati.
Karena di tanganmu,
kami menemukan tanah tempat kami berpijak,
dan tanah itu, Ayah, adalah rumah yang tak pernah hilang.
Bukitinggi, Sumbar, 2000
Ayah dalam Diam
Oleh Leni Marlina
Ayah, dalam diam,
engkau bagaikan jejak kaki di pasir pantai Pariaman yang tak akan hilang,
meski ombak waktu berusaha menghapusnya.
Engkau bukan hanya penyemangat hidup,
tapi juga menjemput takdir yang menuntun kami melalui lorong-lorong sempit,
tanpa pernah memandang ke belakang,
seperti gunung yang tak pernah lelah menghadap langit.
Di tanganmu, kami melihat dunia pertama kali,
tak hanya melalui pelukan, tapi melalui setiap detil yang engkau ajarkan—
bahwa kesabaran adalah sungai yang mengalir lembut,
meski bebatuan terjal menghadang.
Seperti akar yang menancap dalam,
kekuatanmu mengakar dalam tubuh kami,
menciptakan pohon harapan yang tak tertumbangkan.
Tatapanmu bagaikan peta yang tidak pernah salah,
menuntun langkah kami yang kadang terjatuh dalam kebingungan,
seperti matahari yang terbit di atas puncak Gunung Marapi,
menerangi jalan yang tersembunyi dalam kabut.
Engkau mengajarkan kami bahwa waktu bukan hanya tentang detik yang berlalu,
tetapi tentang setiap momen yang kita isi dengan makna—
seperti tanah Agam yang subur,
di mana setiap benih tumbuh menjadi pohon yang memberi teduh.
Kami, anak-anakmu, ibarat riak-riak air yang mengalir dari sumbermu,
melanjutkan perjalanan yang engkau mulai.
Setiap helaan napas kami membawa doa dan cinta yang engkau berikan,
tanpa pernah meminta balasan,
hanya menginginkan kami tumbuh dengan penuh cinta dan kekuatan.
Dan di setiap langkah kami,
kami membawa bagian dari dirimu—
yang tak pernah terlihat, namun selalu ada,
seperti akar yang tersembunyi dalam tanah,
menjaga agar pohon keluarga tetap kokoh, meski dunia selalu mengujinya.
Bukittinggi, Sumbar, 2000
Danau yang Tak Pernah Tidur
Puisi oleh Leni Marlina
Matamu, Ayah, laksana danau purba
yang menolak tidur—
di situ, waktu memantul, tenggelam, dan kembali.
Kabut pagi adalah tirai luka-luka lama,
tempat rahasia takdir bersembunyi.
Tatapanmu bukan sekadar cermin,
ia bagaikan pisau,
mengiris gelap malam
di bawah langit Minangkabau yang meradang.
Engkau angkat kami dari rimba kebodohan,
menghantarkan kami ke fajar di atas puncak gunung Talang,
membiarkan kami mengenali bayang kami sendiri sebelum petang.
Bukittinggi, Sumbar, 2000
Jejak Darah di Labirin Hidup
Oleh Leni Marlina
Langkahmu, Ayah, bukan sekadar tapak,
melainkan rajutan luka yang menghidupkan tanah.
Jejakmu menyerupai harimau di hutan Sumatra,
menerjang duri tanpa ampun,
meski tubuhmu dikerat waktu.
Engkau bangun sendiri jembatan di antara jurang,
mengaitkan hidup kami dengan benang kuat tak kasat mata,
seperti akar tua yang menopang hutan
.
Di hutan Agam yang penuh bayang,
engkau ajarkan kami menaklukkan duri malam,
dengan tawa kecil yang kau sembunyikan
di antara gemuruh nafasmu yang tertahan.
Bukittinggi, Sumbar, 2000
Suara yang Mengurai Gelap
Oleh Leni Marlina
Suaramu, Ayah, bagaikan genderang sunyi,
menggema dari dasar laut Pantai Padang.
Ia bukan hanya harmoni,
melainkan ledakan sunyi yang menumbangkan karang.
Setiap kata adalah janji yang kau simpan
di sela-sela tulang,
menghidupkan api di dada kami yang mulai padam.
Kata-katamu ibarat sabit pada bulan,
tajam,
namun tak pernah melukai.
Engkau bisikkan keberanian dalam angin,
seperti Ngarai Sianok yang memanggil cahaya pagi.
Di situ kami belajar:
kekuatan bukan guntur di atas gunung,
melainkan doa yang menyusup lembut ke tulang punggung.
Bukittinggi, Sumbar, 2000
Pelukan Ayah di Tengah Badai
Oleh Leni Marlina
Pelukanmu, Ayah, laksana dinding karang,
menantang badai tanpa retak.
Kami berlindung di bawah lengkung tubuhmu,
menemukan keteduhan
yang tak pernah engkau nyatakan dengan kata-kata.
Engkau bagaikan pohon tua di belakang rumah gadang kita,
menghidupi burung-burung kecil di dahannya,
meski akarmu mencengkeram tanah yang penuh luka.
Pelukanmu bukan kelembutan,
tapi benteng—
yang meremukkan badai,
namun tak kan pernah meremukkan kita sekeluarga.
Bukittinggi, Sumbar, 2000
Akar yang Menjaga Kami
Oleh Leni Marlina
Engkau, Ayah, bagaikan akar yang menembus Sitinjau Lauik,
mengikat bebatuan agar tanah kami tak runtuh.
perjuanganmu walau tak selalu terlihat,
namun kami tahu:
tanpamu,
kami tak pernah berdiri,
tanpamu,
kami takkan sampai sejauh ini.
Di bawah tanah, engkau tarik nutrisi
dari pahitnya waktu,
menjaga pohon kami tetap tegak,
bahkan ketika angin menyeret dedaunan kami ke langit.
Engkau ajarkan kami bertahan,
seperti akar tua yang tak pernah berhenti
melawan kerasnya bumi.
Bukittinggi, Sumbar, 2000
Daun yang Gugur Demi Hidup
Puisi oleh Leni Marlina
Ayah, engkau ibarat daun tua
yang jatuh di musim yang salah,
memeluk tanah dengan keheningan sempurna.
Pengorbananmu bagaikan musik gugur,
di mana setiap bunyinya adalah doa.
Meski gugur, engkau tak pernah hilang.
Kau menjadi tanah subur bagi akar kami,
membiarkan kami tumbuh lebih tinggi,
melampaui bayanganmu.
Gugurmu adalah kehidupan di alam yang baru,
seperti sajak yang terus berdenyut
di dalam dada kami,
yang selalu mencintaimu.
Bukittinggi, Sumbar, 2000
Ayah dan Pohon Beringin
Oleh Leni Marlina
Engkau, Ayah, bagaikan pohon beringin,
berdiri di garis rimba siang hari,
menahan terjangan badai dan tekanan waktu.
Batangmu menyimpan ribuan retak,
namun setiap retak itu adalah pelajaran
tentang keteguhan tanpa pamrih.
Engkau biarkan dedaunanmu jatuh,
namun batangmu tetap kokoh,
menjadi atap bagi kami
di tengah terik yang menyiksa.
Engkau tidak mengajar dengan kata,
melainkan dengan keheningan
yang membuat kami mengerti
arti bertahan meski tubuh patah,
kau ajarkan kami untuk pantang menyerah.
Benih Kehidupan dan Ayah
Oleh Leni Marlina
Engkau, Ayah, bagaikan benih kecil
yang disemai di lembah Harau
menghancurkan cadas dengan akarmu sendiri.
Engkau tumbuhkan kami dari doa,
mengubah tanah gersang menjadi ladang kehidupan.
Kami, anak-anakmu, bagaikan bulir padi
yang engkau harapkan menguning,
memenuhi ladang waktu yang engkau tanami dengan peluh.
Engkau tak pernah meminta hasilnya,
karena cinta bagimu adalah keberanian
untuk memberi tanpa menuntut balasan,
kami akan berjuang membahahikanmu Ayah, selama hayat di kandung badan.
Bukittinggi, Sumbar, 2000
————–
Puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi tahun 2000. Puisi tersebut direvisi kembali serta dipublikasikan pertama kalinya melalui media digital tahun 2024.
Leni Marlina merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat. Ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair & Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Selain itu, Leni terlibat dalam Victoria’s Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.
Leni juga mendirikan dan memimpin sejumlah komunitas digital yang berfokus pada sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya:, (1) Komunitas Sastra Anak Dunia (WCLC): https://rb.gy/5c1b02, (2) Komunitas Internasional POETRY-PEN; (3) Komunitas PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat): https://shorturl.at/2eTSB & https://shorturl.at/tHjRI;
(4) Komunitas Starcom Indonesia (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02.