Oleh Rival Sihab
Mahasiswa D3 Teknik Sipil, Universitas Syiahkuala,Banda Aceh
Generasi muda Aceh sedang menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan jati diri mereka. Di satu sisi, mereka hidup di tengah kekayaan budaya yang penuh nilai sejarah dan tradisi, tetapi di sisi lain, globalisasi dan teknologi digital telah membentuk gaya hidup baru yang sering kali menggeser perhatian mereka dari akar budaya lokal. Krisis identitas ini makin terasa, apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin cepat.
Misalnya, penggunaan bahasa daerah. Kalau dulu hampir setiap anak bisa berbicara dalam bahasa Aceh di rumah, sekarang beda cerita. Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) Aceh, cuma sekitar 64% anak muda yang masih pakai bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Bandingkan dengan generasi sebelumnya yang hampir 90%. Itu penurunan yang cukup signifikan.
Nah, di sinilah pentingnya pendidikan budaya sejak dini, terutama di sekolah-sekolah. Kalau bahasa Aceh dan budaya lokal diajarkan lebih intens, generasi muda bisa lebih sadar dan bangga dengan warisan budaya mereka.
Kemudian, ada juga pengaruh media sosial. Di kota-kota seperti Banda Aceh, platform seperti TikTok dan Instagram jadi tempat utama anak muda untuk berekspresi. Mereka lebih kenal dengan tren dance viral daripada seni tari tradisional seperti Saman. Ini bukan cuma kekhawatiran kosong kok, penelitian malah menunjukkan bahwa media sosial, terutama TikTok, punya pengaruh besar terhadap gaya hidup remaja Aceh, bahkan lebih kuat daripada pengaruh dari lingkungan sosial mereka. Tapi, media sosial juga bisa jadi alat yang efektif untuk menyebarkan budaya Aceh, selama digunakan dengan bijak.
Peran media, baik yang tradisional maupun digital, memang sangat besar dalam mempertahankan budaya kita. TV lokal dan radio bisa lebih sering menayangkan program-program yang mengenalkan budaya Aceh dengan cara yang menarik. Platform seperti YouTube atau podcast bisa dimanfaatkan untuk dokumentasikan cerita rakyat atau sejarah Aceh dalam bentuk yang lebih kekinian. Dengan cara ini, budaya Aceh bisa sampai ke anak muda yang lebih terbiasa dengan teknologi.
Masih banyak cara untuk menjaga identitas ini tetap hidup. Contohnya, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh yang aktif mengajak anak muda untuk belajar seni tradisional dan mengolahnya dengan cara yang lebih modern. Tujuannya jelas, supaya anak muda tetap bangga dengan budaya lokal, tapi tetap bisa beradaptasi dengan dunia global. Selain itu, banyak juga komunitas dan organisasi lokal yang aktif mengadakan festival budaya atau lomba seni, yang melibatkan anak muda untuk berkreasi dengan cara yang lebih modern, tanpa harus melupakan akar budaya mereka.
Pemerintah Aceh juga tidak tinggal diam. Lewat acara seperti Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), budaya lokal dipromosikan dengan cara yang lebih menarik buat generasi sekarang. PKA ke -8 mengusung tema “Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia,” yang mencoba menghubungkan tradisi masa lalu dengan tantangan modern. Bahkan, pemerintah juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan budaya ini lebih luas lagi. Kalau dipikir-pikir, pemerintah dan dunia usaha ke depannya bisa lebih banyak berkolaborasi dalam mendukung acara budaya seperti ini, seperti dengan mendanai festival atau menyediakan platform digital untuk mengenalkan budaya Aceh ke luar daerah, bahkan luar negeri.
Pernah kebayang tidak?, Bagimana kalau tradisi hikayat (cerita rakyat) bisa dihidupkan kembali dalam format digital, seperti audiobook atau animasi? Bayangkan kalau ada aplikasi yang bisa bikin orang belajar bahasa dan budaya Aceh sambil main game! Teknologi semacam itu sudah diterapkan di negara lain, seperti Jepang, dan tidak menutup kemungkinan Aceh juga bisa melakukannya. Ini bisa jadi cara yang menarik buat anak muda belajar tentang budaya mereka tanpa merasa bosan.
Namun, krisis identitas ini tidak cuma soal budaya. Ini juga berhubungan dengan kehidupan sosial dan psikologis anak muda. Banyak yang merasa bingung atau kehilangan arah dalam mencari keseimbangan antara nilai tradisional yang diajarkan keluarga dan tuntutan dunia modern yang semakin kuat. Di sinilah keluarga punya peran penting. Orang tua yang mengenalkan budaya Aceh sejak dini, akan lebih mudah menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan budaya tersebut. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Alhamdulillah masih banyak keluarga Aceh yang masih mengajarkan nilai-nilai budaya lewat kebiasaan-kebiasaan sederhana, seperti mengharuskan anak ikut kelas mengaji sore atau malam di masjid atau tempat-tempat pengajian dan di rumah.
Yang tidsk kalah penting, globalisasi membawa banyak nilai-nilai dari luar yang kadang bertentangan dengan budaya lokal kita. Misalnya, nilai-nilai Barat atau tren global, bisa saja mengikis kebanggaan kita terhadap identitas lokal. Makanya, penting buat generasi muda untuk mengerti bagaimana menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Mereka harus tahu kalau kita bisa tetap bangga dengan budaya Aceh, tapi juga bisa beradaptasi dengan dunia luar yang terus berkembang.
Krisis identitas ini memang tidak bisa selesai dalam semalam. Tapi, kalau semua pihak, mulai dari keluarga, sekolah, komunitas, sampai pemerintah, bekerja sama, generasi muda Aceh bisa jadi generasi yang tidak cuma paham dunia global, tapi juga bangga dengan budaya mereka. Jangan sampai, budaya Aceh yang kaya ini cuma jadi cerita di buku sejarah. Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaganya tetap hidup, bukan cuma untuk hari ini, tapi juga untuk masa depan.
M. Rival sihab
Mahasiswa D3 teknik sipil USK