Oleh Niza Sulvi Zahwana
Mahasiswi semester 5, Prodi ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Kasus eksploitasi anak kembali menjadi sorotan publik setelah ditemukannya seorang anak berusia 11 tahun yang dipaksa mengemis di kawasan Prada, Banda Aceh. Kasus ini terungkap melalui hasil observasi lapangan dan wawancara yang dilakukan pada 5 Oktober 2024. Anak yang diketahui bernama Amat, berasal dari Matang, Bireuen, dan sudah lama menetap di Banda Aceh bersama keluarganya.
Amat mengaku mengemis atas perintah kedua orang tuanya demi membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang berada dalam kondisi ekonomi sulit.
Penemuan ini menyoroti persoalan serius tentang eksploitasi anak, di mana anak-anak dipaksa bekerja di jalanan oleh keluarga mereka sendiri. Amat, yang terlihat lusuh dan kurus, tanpa alas kaki dan dengan tangan kosong, berkeliling dari meja ke meja di restoran untuk meminta uang.
Meskipun awalnya ia mengaku sebagai anak yatim piatu, wawancara lebih mendalam mengungkapkan bahwa orang tuanya masih hidup. Yang sebenarnya meninggal adalah kakak kandungnya, namun cerita tersebut tampaknya sengaja dipelintir untuk mendapatkan simpati lebih dari para pemberi sedekah.
Dalam wawancara singkat dengan Amat, ia mengungkapkan bahwa semua uang yang diperolehnya dari mengemis diberikan kepada orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga. Fakta ini mengindikasikan adanya tekanan ekonomi yang berat dalam keluarga tersebut, memaksa anak-anak mereka terjun ke jalanan untuk mengemis.
Eksploitasi anak seperti ini menjadi masalah serius, terutama ketika anak-anak seharusnya bersekolah atau bermain, namun malah dipaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa.
Amat bukanlah satu-satunya anak yang mengalami kondisi seperti ini. Kasus anak-anak yang dipaksa mengemis bukanlah hal baru di Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Namun, yang membuat kasus ini lebih memprihatinkan adalah adanya dugaan manipulasi dari orang tuanya, di mana mereka mengarahkan Amat untuk mengarang cerita agar mendapatkan simpati dan uang lebih dari para dermawan. Anak tersebut, meskipun masih sangat muda, tampaknya sudah diajari untuk memalsukan cerita hidupnya demi memenuhi tuntutan ekonomi keluarganya.
Saat ditanya lebih lanjut, Amat terpaksa mengakhiri wawancara secara mendadak. Hal ini terjadi setelah ia menyadari bahwa ibunya sedang mengawasi dari kejauhan. Ketakutan yang tiba-tiba muncul di wajahnya menunjukkan bahwa Amat kemungkinan besar berada di bawah tekanan kuat dari keluarganya untuk tetap bungkam dan tidak memberikan informasi lebih lanjut. Ibunya yang memantau dari jauh semakin memperkuat dugaan bahwa ada kendali orang tua di balik aktivitas mengemis yang dilakukan oleh anak ini.
Fakta bahwa Amat berhenti berbicara saat ibunya mendekat menggambarkan adanya ketakutan yang mendalam. Hal ini juga menunjukkan betapa rentannya anak-anak dalam situasi seperti ini, di mana mereka tidak memiliki kebebasan untuk berbicara jujur atau melaporkan apa yang mereka alami kepada pihak luar. Ini menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap kesejahteraan anak-anak jalanan yang kerap kali terperangkap dalam kondisi serupa.
Kondisi seperti yang dialami oleh Amat menunjukkan bahwa eksploitasi anak tidak hanya soal individu atau keluarga, tetapi juga merupakan masalah sistemik. Keterbatasan akses ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan sosial bagi keluarga miskin sering kali menjadi akar masalah. Ketika orang tua tidak memiliki sumber pendapatan yang memadai, anak-anak
mereka menjadi korban, dipaksa turun ke jalan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam banyak kasus, anak-anak seperti Amat tidak hanya kehilangan hak mereka atas pendidikan, tetapi juga masa kecil dan hak mereka untuk hidup bebas dari eksploitasi.
Fenomena ini juga menunjukkan adanya celah besar dalam sistem perlindungan anak di Indonesia. Anak-anak yang seharusnya dilindungi oleh negara, justru menjadi korban pengabaian dan dieksploitasi oleh orang-orang terdekat mereka. Hal ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga sosial, hingga masyarakat luas.
Untuk menangani masalah eksploitasi anak seperti yang dialami Amat, diperlukan upaya komprehensif dari berbagai pihak. Pemerintah harus segera turun tangan untuk memberikan bantuan ekonomi kepada keluarga-keluarga yang berada dalam kondisi sulit, sehingga anak-anak tidak lagi dipaksa untuk mengemis atau bekerja di jalanan. Selain itu, penting pula adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam eksploitasi anak, termasuk orang tua yang memanfaatkan anak-anak mereka sebagai sumber penghasilan.
Lembaga sosial dan pendidikan juga harus aktif terlibat dalam penyuluhan kepada masyarakat mengenai hak-hak anak dan dampak buruk eksploitasi anak. Pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat sangat penting agar praktik ini dapat dihentikan. Anak-anak seperti Amat harus diberi kesempatan untuk hidup layak, mendapatkan pendidikan yang baik, dan tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
Selain itu, perlu ada tindakan preventif melalui penyediaan program-program bantuan sosial yang lebih efektif dan menyentuh langsung kepada keluarga yang membutuhkan. Misalnya, program jaminan sosial dan pendidikan gratis yang menyeluruh dapat menjadi solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga miskin dan mencegah terjadinya eksploitasi anak.
Kasus Amat menjadi cerminan dari masalah besar yang dihadapi oleh anak-anak di Indonesia, terutama di kalangan keluarga miskin. Eksploitasi anak bukan hanya merampas masa kecil mereka, tetapi juga menempatkan mereka dalam situasi yang berbahaya dan melanggar hak asasi mereka.
Untuk itu, peran aktif pemerintah, masyarakat, dan lembaga sosial sangat dibutuhkan dalam memberikan perlindungan dan dukungan kepada anak-anak seperti Amat. Dengan perhatian yang lebih serius dan tindakan nyata dari pihak-pihak terkait, diharapkan fenomena eksploitasi anak ini bisa segera dihentikan, dan anak-anak Indonesia dapat tumbuh dalam lingkungan yang lebih baik, aman, dan sejahtera.