Oleh : Muhammad Fitrah Insani
Mahasiswa Prodi : Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Di persimpangan jalan yang sibuk seperti Simpang BPKP Banda Aceh, keberadaan remaja pengemis telah menjadi pemandangan yang lazim. Mereka berdiri memegang kardus dengan tulisan tangan yang meminta bantuan. Mereka berusaha menggugah rasa iba siapa pun yang melintas. Sebagai pengguna jalan, sering melewati jalan itu, penulis sering mengamati gerak-gerik mereka. Kadangkala, ketika tidak ada yang memberikan sedekah, wajahnya tampak sangat kecewa. Ia berulang kali, hilir mudik, ketika kendaraan berhenti dengan menjulurkan kotak atau kardus di tangan mereka ke arah pengemudi, dengan wajah memelas.
Sering muncul dalam benak penulis, apakah ia mengemis karena ia membutuhkan uang untuk membiayai hidupnya sehari -hari, atau sebuah modus saja. Ternyata, setelah penulis melakukan pengamatan lebih dalam, dan melakukan wawancara langsung dengan salah satu dari mereka, penulis mendapatkan jawaban bahwa fenomena ini tidak selalu seperti yang terlihat.
Saat diwawancari, ia menceritakan kisah yang mengundang simpati. Pengemis ini mengatakan bahwa ia putus sekolah, karena keluarganya tidak mampu membayar biaya pendidikan. Ia seorang anak yatim, sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang penghasilannya jauh dari cukup.
“Saya harus bantu ibu bang. Kalau nggak, kami nggak bisa makan hari ini” ucapnya dengan suara yang lemas dan sambil menundukkan kepala.
Namun, observasi lebih lanjut yang penulis dilakukan, memberikan gambaran yang berbeda. Penulis mendapati bahwa pengemis itu tidak benar-benar hidup dalam kondisi seperti yang ia ceritakan. Dikatakan demikian, karena Ia diantar oleh seorang bapak bapak tua yang menggunakan sepeda motor yang kedua – duanya menggunakan baju yang sangat rapi, bahkan jika tidak diamati lebih dalam tidak seperti pengemis melainkan seorang bapak dan anak yang sangat berkecukupan.
Nah, ketika ia melakukan aksi mengemis, penulis melihat saat berada di simpang BPKP ia mengganti bajunya dengan yang lebih lusuh di salah satu warung kopi terdekat. Penulis hanya bisa berdecak dan menyimpulkan bahwa pengemis ini telah diajarkan atau terbiasa untuk menggunakan cerita sedih demi menarik perhatian dan belas kasihan orang lain.
Hal ini mencerminkan ada sisi lain dari masalah sosial di Banda Aceh. Penulis melihat bahwa ada pola yang sengaja dibangun untuk membangkitkan empati publik, yang sering kali dimanfaatkan untuk mendapatkan bantuan instan, tanpa usaha yang lebih produktif. Pemberian uang secara langsung oleh masyarakat di jalanan, meskipun dimaksudkan untuk membantu, justru memperkuat pola ini, membuat mereka terus bergantung pada belas kasihan orang lain.
Penulis juga mencermati bahwa fenomena ini tidak terjadi secara spontan. Pengemis tersebut tampaknya memiliki pemahaman mendalam tentang waktu dan tempat terbaik untuk “bekerja.” Mereka hadir di lokasi-lokasi strategis pada saat lalu lintas padat, ketika pengguna jalan tidak punya banyak pilihan selain memberikan uang atau berpaling dengan rasa bersalah. Begitulah, masyarakat atau kita memang jadi serba salah. Ketika tidak memberikan sedekah pada mereka, muncul rasa bersalah, seolah-olah kita terlalu pelit dan tidak mau bersedekah, namun ketika memberikan sedekah, dampaknya juga sangat besar.
Maka, penulis sendiri menyadari bahwa ini akan menjadi masalah yang besar untuk ke depannya. Masalah ini tidak hanya sebatas keberadaan pengemis yang memanfaatkan empati publik, tetapi juga mencerminkan eksploitasi anak yang berpotensi merusak masa depan generasi penerus bangsa. Bayangkan saja, anak-anak yang dilibatkan dalam aktivitas mengemis kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka melalui pendidikan dan keterampilan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Jika situasi ini terus dibiarkan, tidak hanya pengemis yang terjebak dalam siklus kemiskinan, tetapi masyarakat pun akan semakin skeptis terhadap siapa yang benar-benar membutuhkan. Hal ini akan merugikan orang-orang yang memang sangat membutuhkan bantuan, tetapi kehilangan kepercayaan dan simpati dari masyarakat karena tindakan oknum-oknum yang memanfaatkan situasi.
Masalah ini berpotensi berkembang menjadi isu serius. Ini bukan sekadar tentang pengemis yang memanfaatkan empati publik, tetapi juga menyangkut eksploitasi anak yang mengancam masa depan generasi penerus. Anak-anak yang dilibatkan dalam aktivitas mengemis tidak hanya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan, tetapi juga mengalami kerusakan mental yang menghambat perkembangan mereka.
Ya, bukan hanya pengemis yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan, tetapi masyarakat juga akan menjadi semakin skeptis terhadap mereka yang benar-benar membutuhkan. Kepercayaan publik yang terkikis akibat tindakan manipulatif ini hanya akan merugikan kelompok rentan yang memerlukan bantuan.
Sebenarnya, eksploitasi anak dalam bentuk apa pun merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan menghambat perkembangan masa depan mereka. Anak-anak yang seharusnya mengenyam pendidikan dipaksa mengemis, sehingga kehilangan potensi untuk berkontribusi bagi bangsadan negara.
Apalagi, keterlibatan mereka dalam mengemis dapat menimbulkan mentalitas ketergantungan yang sulit diubah, memperburuk siklus kemiskinan yang sudah ada. Selain itu manipulasi semacam ini dapat melemahkan empati masyarakat, mengurangi efektivitas penyaluran bantuan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Untuk menghadapi masalah ini, diperlukan penanganan yang cepat dan komprehensif dengan melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga kesadaran individu. Kiranya, pemerintah setempat dan masyarakat harus bekerja sama secara lebih terstruktur. Pendataan sosial yang akurat harus dilakukan untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan. Selain itu, perlu ada program pemberdayaan yang berfokus pada memberikan alternatif penghasilan bagi keluarga miskin, seperti pelatihan keterampilan dan dukungan usaha kecil.
Di sisi lain, masyarakat juga harus diajak untuk lebih bijak dalam memberikan bantuan. Menyalurkan donasi melalui lembaga resmi yang terorganisir adalah langkah yang lebih baik daripada memberikan uang langsung di jalanan. Dengan cara ini, bantuan tidak hanya menjadi solusi sementara, tetapi juga membantu menyelesaikan akar masalah.
Bagi penulis sendiri, hasil wawancara dengan pengemis ini menjadi pelajaran berharga bagi penulis. Terkadang, cerita yang mengundang simpati tidak sepenuhnya mencerminkan kebenaran. Hal ini tidak hanya tentang kemiskinan atau rasa iba, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat dapat berpikir lebih kritis dan bijak dalam menanggapi situasi sosial. Dengan pendekatan yang tepat, penulis percaya bahwa masalah ini dapat diatasi secara berkelanjutan, membuka jalan bagi perubahan yang lebih baik di masa depan. Masalah pengemis di Aceh, khususnya di kota Banda Aceh menjadi benang kusut yang sulit diurai.