Oleh: Tgk. Muhammad Kharazi, M.Ag
Pilkada Aceh 2024 mendekati masa puncaknya. Seperti biasa, keterlibatan ulama dalam memberikan panduan moral dan politik menjadi salah satu sorotan utama. Fatwa dan rekomendasi dari ulama sering kali dianggap sebagai landasan penting bagi masyarakat Aceh yang sangat menghormati peran agama dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pertanyaan yang mencuat adalah: apakah panduan ini murni bersumber dari ijtihad ataukah ada unsur ilham—bahkan kepentingan politik tertentu—yang memengaruhi sikap ulama tersebut?
Ijtihad Rasulullah SAW: Pelajaran dari Perang Badar
Untuk memahami isu keterlibatan ulama dalam Pilkada Aceh, kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa penting dalam sejarah Islam, yakni Perang Badar. Perang ini menjadi momen bersejarah di mana Rasulullah SAW memimpin pasukan Muslim menghadapi kekuatan Quraisy. Dalam persiapan perang tersebut, Rasulullah SAW membuat keputusan strategis mengenai lokasi awal pasukan Muslim. Keputusan ini diambil berdasarkan ijtihad beliau, yakni penilaian pribadi yang didasarkan pada pemahaman terhadap situasi dan kebutuhan saat itu.
Namun, di tengah persiapan, salah seorang sahabat, Hubab bin al-Mundhir, memberanikan diri untuk mempertanyakan keputusan tersebut. Dengan penuh penghormatan, ia bertanya kepada Rasulullah SAW, apakah pemilihan lokasi ini didasarkan pada wahyu yang turun dari Allah, atau hanya pendapat pribadi Rasulullah sebagai seorang pemimpin perang. Pertanyaan ini bukan bentuk pembangkangan, melainkan sebuah upaya konstruktif untuk memastikan strategi terbaik bagi kemenangan kaum Muslimin.
Rasulullah SAW, dengan kejujuran dan kerendahan hati, menjelaskan bahwa keputusan tersebut adalah hasil ijtihad beliau, bukan wahyu dari Allah. Mendengar hal itu, Hubab mengajukan saran alternatif. Ia menyarankan lokasi lain yang dianggap lebih strategis, karena berada dekat dengan sumber air, yang akan memberikan keuntungan signifikan bagi pasukan Muslim sekaligus melemahkan musuh. Usulan ini didasarkan pada pengetahuan dan pengamatan situasi medan perang secara mendalam.
Menariknya, Rasulullah SAW tidak bersikap defensif atau merasa tersinggung atas masukan tersebut. Sebaliknya, beliau menunjukkan sikap terbuka dan bijaksana dengan menerima saran Hubab. Keputusan untuk berpindah tempat kemudian terbukti menjadi faktor kunci yang menentukan kemenangan pasukan Muslim dalam Perang Badar. Langkah ini tidak hanya menunjukkan keunggulan strategi, tetapi juga menjadi teladan dalam mendengarkan pendapat orang lain, terutama ketika pendapat tersebut lebih relevan dengan situasi yang dihadapi.
Kisah ini menyiratkan pelajaran yang mendalam tentang pentingnya kolaborasi, kebebasan berpikir, dan keterbukaan terhadap masukan yang didasarkan pada pengetahuan dan analisis yang objektif. Rasulullah SAW, meskipun beliau adalah seorang nabi, tidak segan mengakui bahwa ijtihad manusiawi bisa memiliki kelemahan dan dapat disempurnakan melalui dialog.
Hal ini mengajarkan bahwa keberhasilan dalam kepemimpinan, baik dalam konteks perang, maupun kehidupan sehari-hari, sering kali bergantung pada kemampuan untuk menerima masukan dengan pikiran terbuka dan rendah hati. Peristiwa ini relevan untuk direnungkan dalam konteks kehidupan modern, termasuk dalam pengambilan keputusan oleh para pemimpin agama atau politik. Seperti dalam kasus Rasulullah SAW, setiap keputusan yang diambil berdasarkan ijtihad harus tetap terbuka untuk dikritisi dan disesuaikan, terutama jika hal itu dapat membawa kemaslahatan yang lebih besar bagi banyak orang.
Ulama dan Pilkada: Antara Ijtihad, Ilham dan Kepentingan
Dalam konteks Pilkada Aceh, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana petunujuk ulama kepada masyarakat mencerminkan hasil ijtihad yang mendalam dan objektif, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai peristiwa sejarah Islam. Apakah panduan tersebut lahir dari analisis yang komprehensif dan berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah? Ataukah fatwa yang mereka keluarkan dipengaruhi oleh faktor eksternal, termasuk tendensi politik yang bersifat eksplisit maupun implisit? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat posisi ulama yang sangat dihormati di Aceh, sehingga pandangan mereka memiliki dampak besar terhadap pilihan masyarakat.
Sebagian pihak mungkin melihat petunjuk ulama sebagai bentuk ilham, yakni petunjuk ilahi yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Dalam masyarakat yang religius, petunjuk ulama sering kali diterima tanpa banyak pertanyaan, terutama ketika fatwa mereka disampaikan dengan narasi yang kuat secara agama. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua keputusan ulama—meski didasari niat baik—bersifat absolut benar. Sebagaimana Rasulullah SAW menunjukkan bahwa ijtihad manusiawi dapat memiliki keterbatasan, keputusan ulama juga membutuhkan ruang untuk dievaluasi dan dipertimbangkan secara kritis.
Dalam realitas politik, dinamika kepentingan sering kali memengaruhi pandangan seorang pemimpin, termasuk ulama. Tidak dapat dimungkiri bahwa fatwa dan arahan ulama terkadang digunakan sebagai alat politik oleh pihak-pihak tertentu untuk mengarahkan dukungan masyarakat kepada calon tertentu. Tekanan atau pengaruh dari elite politik bisa saja mengaburkan objektivitas pandangan ulama, menjadikan fatwa yang dikeluarkan tidak lagi murni berlandaskan pada kemaslahatan umat, melainkan mencerminkan kompromi dengan kepentingan duniawi.
Mencari Kebijaksanaan dalam Keputusan
Belajar dari Rasulullah SAW, keterbukaan terhadap masukan dan keberanian untuk mengubah keputusan ketika ditemukan opsi yang lebih baik adalah ciri pemimpin sejati. Dalam konteks Pilkada Aceh, masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai setiap petunjuk yang diberikan ulama, tanpa kehilangan rasa hormat kepada mereka.
Hal ini bukan berarti meragukan integritas mereka, tetapi lebih kepada memastikan bahwa keputusan mereka benar-benar dari hasil ijtihad, ilham atau kepentingan. Oleh karena itu, masyarakat perlu memiliki keberanian untuk mempertanyakan apakah petunjuk yang diberikan ulama benar-benar berdasarkan ijtihad, ataukah ilham atau justru dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.