Oleh Ika Susi Lestari
Mahasiswa Semester V, Jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
Akivitas orang meminta-minta di ruang publik dengan menjual kesedihan dan kekurangan fisiknya atau biasa disebut pengemis sudah menjadi hal yang biasa dan normal di perkarangan masjid raya sampai dengan Pasar Aceh, dan di berbagai sudut Kota Banda Aceh. Pegemis yang tersebar di kawasan pasar Aceh, misalnya tampak sangat beragam dari perspektif kelamin dan usia. Ada yang pria dan juga wanita, yang tua sampai dengan wanita paruh baya, hingga anak-anak.
Salah satu pengemis yang berada di kawasan pasar Aceh adalah seorang lelaki dewasa berusia 73 tahun. Ia memiliki bekas operasi diabetes di bagian kakinya, yang membuatnya harus bergerak dengan menyeret badannya di jalan sambil membawa sebuah ember untuk menampung uang dari para dermawan yang memberikan sedekah. Dari pengakuannya, ia berasal dari Lhokseumawe dan sudah mengemis selama kurang lebih 20 tahun. Wilayah operasinya tak terbatas di wilayah Banda Aceh saja, tapi terkadang ke daerah lain, seperti Meulaboh, dan Aceh Selatan.
Dari penuturannya, ia dibawa bersama beberapa orang lainnya dari daerah Lhokseumawe menggunakan kendaraan pribadi dan diturunkan di daerah Banda Aceh dengan tujuan yang tidak disebutkan oleh dirinya. Artinya, ia juga dimanfaatkan oleh orang lain: Selain karena keterbatasan fisik, ia juga mengaku terpaksa melakukan kegiatan mengemis karena tuntutan finansial, atau ekonomi yang tidak memadai. Kondisi ini membuat ia harus mengemis untuk menghidupi dirinya dan keluarganya di Lhokseumawe.
Penulis sempat mewawancarainya. Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan, bertanya tentang bantuan yang sudah pernah ia dapatkan, beliau menyebutkan bahwa belum pernah ada bantuan sosial dari pemerintah dalam membantu pengobatan untuk penyakit yang beliau alami. Namun, ia menyebutkan bantuan sosial yang pernah ia dapatkan hanyalah berasal dari bantuan sosial untuk kehidupan sehari-hari, yang biasanya diberikan selama 3 bulan sekali.
Berdasarkan wawancara tersebut, faktor yang membuat ia mengemis adalah masalah finansial dan ekonomi, membuat orang-orang ini harus mengemis untuk menghidupi dirinya dan juga keluarganya, bahkan sampai harus berpindah dari satu kota ke kota lainnya untuk mencari uang dari aktivitas mengemis.
Tentu bukan hanya faktor itu, bila kita menggali lebih jauh. Ada beberapa faktor lain, yang membuat faktor maraknya aktivitas mengemis di Kota Banda Aceh, seperti kesempatan kerja yang terbatas, tidak memiliki keterampilan,tidak mau berusaha, lebih memilih hal-hal instan dan telah nyaman dengan apa yang didapat dari kegiatan mengemis. Sehingga sering membuat pemandangan yang kurang sedap dan mengganggu.
Maka, bila merujuk pada Qanun Kota Banda Aceh No. 6 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Pada bab II pasal 2 tertapat 11 tertib yang tertera, yang salah satunya adalah tertib sosial. Dalam pasal itu disebutkan bahwa ”Setiap orang/ atau badan dilarang meminta bantuan dan/atau sumbangan yang lakukan sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan pemukiman, rumah sakit, sekolah, kantor dan tempatr ibadah”. Tapi walaupun qanun ini sudah ada, tapi fenomena orang-orang yang mencari nafkah dengan cara mengemis masih sangat banyak.
Menurut data bulan Maret 2024, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh mencatat, jumlah penduduk miskin di Aceh sebanyak 804,53 ribu orang (14,23 persen). Angka kemiskinan yang masih tergolong tinggi dan juga ketersediaan lapangan kerja yang kurang untuk masyarakat bisa menjadi salah satu faktor yang membuat orang-orang memilih jalan instan untuk mendapatkan nafkah dengan cara mengemis.
Pemerintah Kota Banda Aceh sudah melakukan beberapa upaya untuk menertibkan dan mengatasi masalah ini, seperti merazia pengemis dan gelandangan di ruang publik, membimbing dan mengarahkan para pengemis untuk lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat sebelum dikembalikan ke daerah asal masing-masing, dan membantu pengembangan para pengemis dan gelandangan untuk memiliki kemampuan mencapai taraf kehidupan yang sesuai harkat dan martabat manusia.
Sayangnya, walaupun pemerintah Kota Banda Aceh telah mengupayakan upaya untuk mengatasi masalah ini, pengemis ini tetap masih ada karena permasalahan financial dan ekonomi akan selalu ada di kalangan masyarakat.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) sudah sangat tepat, dengan memfokuskan kepada pelatihan dan pembinaan kepada pengemis yang telah dirazia. Upaya ini harus juga mendapat dukungan dari keluarga dan juga masyarakat untuk mencengah lebih banyak orang yang mencari uang dari kegiatan mengemis.
Selain itu, masyarakat juga bisa membantu mengurangi angka pengemis dengan tidak memberi apresiasi kepada pengemis di sekitaran Kota Banda Aceh. Pemerintah Kota Banda Aceh juga dapat memberikan modal usaha kepada pengemis yang telah melewati tahap rehabilitasi dan juga pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Sosial (Dinsos) Aceh. Namun, kehadiran pengemis di kota Banda Aceh, hingga saat ini masih menjadi problema dan membutuhkan upaya ekstra untuk mencari solusi terhadap persoalan pengemis yang terus berdatangan atau beroperasi di wilayah kota Banda Aceh.