Oleh Zulkifli Abdy
Money politics secara harfiah bermakna politik uang, tetapi di dalam praktik, cakupannya bisa lebih luas. Tidak selalu hanya menggunakan uang sebagai sarana, melainkan dapat juga berupa benda. Seperti pemberian sembako atau dalam bentuk lain cinderamata, juga pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan politik.
Penulis akan memulai tulisan ini dengan satu pertanyaan; masih perlukah politik transaksional yang menggunakan uang, sembako dan sejenisnya itu untuk mempengaruhi konstituen? Kata ‘masih perlu’ lebih penulis maksudkan untuk mencerminkan bahwa betapa kebiasaan itu masih sangat sulit untuk dihindari.
Supaya kita dapat keluar dari kebiasaan dan dilema yang telah mengakar itu, mungkin diperlukan juga kemauan atau kiat-kiat lain sebagai penyerta. Di antaranya melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan menawarkan ide-ide dan gagasan, atau framing lainnya yang lebih mencerahkan. Mungkin pola ini akan dipandang tidak lazim pada mulanya, tetapi tentu akan lebih bermartabat, setidaknya untuk mengembalikan iklim demokrasi ke arah yang lebih sehat.
Hal mana juga agar proses demokrasi yang berlangsung tidak lagi menjadi “pepesan kosong” belaka, yang tidak memberi dampak positif terhadap masyarakat. Kecuali hanya sekadar kesenangan sesaat yang cenderung memperdaya, terutama bagi masyarakat awam yang berada di lapisan grassroot atau akar rumput. Seandainya kehidupan masyarakat secara ekonomi telah relatif membaik dan mandiri, tentu godaan politik uang dan semacamnya itu dengan sendirinya akan berkurang pula pengaruhnya, termasuk juga efek elektoral bagi yang memberi.
Dengan kata lain budaya politik uang hanya dapat direduksi atau bahkan dihilangkan sama sekali justru oleh masyarakat itu sendiri. Kalau politik uang sudah tidak lagi efektif sebagai sarana untuk mendongkrak elektoral, tentu dengan sendirinya “pemain” tidak lagi akan menggunakannya sebagai alat. Tidak mudah memang, tetapi bukan pula tidak mungkin, sepanjang kita ada kemauan. Dalam konteks inilah mungkin kesejahteraan menjadi sangat penting, di samping terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, akan terbangun pula kemandirian masyarakat secara ekonomi dan politik. Dan ini mesti kita jadikan ikhtiar bersama, kalau kita benar-benar ingin membangun iklim demokrasi yang lebih baik.
Supaya terbangun iklim demokrasi yang sehat, masyarakat tidak boleh dibiarkan terus berada di dalam dilema kemiskinan dan kebodohan. Apalagi kemiskinan yang terstruktur, sebagai akibat dari sistem yang belum cukup afirmatif terhadap peningkatan taraf ekonomi dan pendidikan masyarakat pada umumnya. Akibatnya masyarakat menjadi sangat rentan untuk dapat dipengaruhi dengan tawaran-tawaran jangka pendek, yang sesungguhnya lebih bersifat semu dan memperdaya.
Hal lain, sebagai dampak dari politik uang adalah proses demokrasi menjadi sangat mahal, dan akibat turutannya tentu sudah dapat diduga, seperti perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme akan semakin menggejala. Pada titik tertentu perilaku tersebut boleh jadi tidak akan mungkin lagi dapat dicegah, karena telah terjalin hubungan kausalitas atau sebab akibat yang saling berkait.
Bukankah ada adagium yang mengatakan; “tidak ada makan siang yang gratis”, dan kelihatannya hal itu berlaku pula dalam dinamika politik di negeri ini. Ada guyonan di tengah masyarakat, bahkan hampir dipercaya banyak orang, bahwa dalam dunia politik kalau tidak “main uang” jangan berharap akan berhasil. Ini tantangan yang paling serius, kalau kita ingin menjalankan demokrasi yang benar-benar ‘bersih’, di mana ide-ide dan gagasan sepatutnya menjadi parameter dan pertimbangan terakhir bagi masyarakat ketika hendak menentukan pilihan politiknya.
Yang sangat memprihatinkan, sebagai akibat dari politik uang; tergerusnya sendi-sendi demokrasi itu sendiri. Yang pada akhirnya berhilir pada semakin memburuknya kualitas para wakil rakyat dan pemimpin yang lahir dari suatu proses yang relatif buruk pula. Ikhtiar yang mungkin dapat kita lakukan untuk mencegah perilaku politik pragmatis yang telah “membudaya” itu, yakni adanya kemauan politik atau political will dari para pihak, termasuk politisi untuk rela mengambil sedikit risiko, dan secara bertahap mengubah paradigma dari politik pragmatis menjadi politik idealis yang sarat dengan ide-ide dan gagasan.
Dan dengan kesadaran yang tinggi pula mengubah pola pendekatan yang lebih bermartabat, yang tidak sepenuhnya bertumpu pada pola transaksional setiap menghadapi kontestasi politik. Kendati dari aspek hukum, perilaku politik uang merupakan tindak pidana yang juga ada sanksinya, namun sejauh ini belum cukup efektif untuk dapat menghentikan kebiasaan tersebut.
Kita sudah memasuki fase pemilihan kepala daerah atau Pilkada serentak. Sebagai ajang kontestasi politik, para calon kepala daerah pun telah bermunculan, dan mewarnai wacana di ruang publik. Bahkan para calon telah pula melalui tahap pendaftaran pada Komisi Independen Pemilihan atau KIP, lembaga yang berwenang dalam penyelenggaraan Pilkada. Partai politik dan kelompok kepentingan, telah menggadang-gadangkan calonnya, ada pula yang dengan sadar memilih jalur independen untuk menguji peruntungan di Pilkada nanti.
Sebagai wahana demokrasi, tentu ini sesuatu yang menarik, bukan hanya untuk disaksikan, melainkan juga untuk disikapi dengan saksama, agar lahir pemimpin yang benar-benar dapat memenuhi ekspektasi masyarakat. Dinamika politik ini menjadi lebih menarik, karena berbagai algoritma tentu akan digunakan untuk melihat peluang dan menakar sejauh mana efek elektoral atau tingkat keterpilihan yang akan ditimbulkannya. Dalam konteks Aceh, di samping partai nasional, juga ada partai lokal, hal mana tentu akan berdampak pada semakin “rumitnya” kalkulasi politik bagi para kontestan.
Akan lebih banyak lagi faktor yang menjadi pertimbangan partai dalam meracik strategi. Seperti mencermati basis pendukung, serta ide-ide dan gagasan yang akan ditawarkan kepada konstituen. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah “mengintip” kecenderungan Jakarta. Semua itu ada dalam ‘radar’ yang terus bergerak dinamis memantau setiap gelagat yang sewaktu-waktu mungkin saja muncul.
Kendati telah merupakan “lagu lama”, dan belum tentu juga efektif, slogan perubahan masih saja digunakan para calon sebagai wahana komunikasi politik, untuk menggugah minat masyarakat.
Barack Obama telah menggelorakan semangat perubahan itu setidaknya 15 tahun yang silam, untuk mencairkan kejenuhan rakyat menanti terwujudnya apa yang mereka sebut sebagai “American Dream”, impian rakyat Amerika untuk suatu kesempatan meraih kesuksesan dan kemakmuran. Pada suatu kesempatan Obama pernah berkata; “Perubahan tidak pernah mudah, tetapi selalu mungkin”.
Semangat perubahan ala Obama itu pula yang akhirnya banyak ditiru oleh calon pemimpin di belahan dunia lain, tidak terkecuali Indonesia. Tetapi sayangnya semangat perubahan tersebut tidak lebih hanya sebatas slogan belaka. Tidak sampai menukik pada implementasi, bahwa perubahan itu tidak boleh berhenti hanya pada spirit semata, melainkan menjadi suatu komitmen yang mesti diwujudkan.
Wacana perubahan sebagai suatu ekspresi dari antusiasme calon, tentu dapat dimaklumi. Tetapi agaknya masyarakat telah terlanjur jenuh dengan isu-isu semacam itu, yang kerap digaungkan para politisi di panggung-panggung politik. Bukankah masyarakat lebih menginginkan perubahan yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar perubahan yang artifisial.
Pertanyaan yang kerap menggelitik; masih mungkinkah kita menggayutkan harapan pada Pilkada yang akan datang? Suatu era yang diharapkan dapat menghadirkan masa transisi dari perubahan yang imajinatif kepada perubahan yang konstruktif. Hal tersebut bukan hanya merupakan tuntutan dari masyarakat semata, melainkan juga tuntutan zaman yang terus mengalami perubahan. Ini yang agaknya selalu luput dari memori kolektif kita, ibarat suatu perjalanan yang kita rasakan telah sangat jauh, tetapi faktanya kita belum ke mana-mana. Sehingga kita tidak pernah benar-benar sampai pada tujuan dari cita-cita berbangsa kita yang sesungguhnya; masyarakat yang makmur, sejahtera dan berkeadilan.
(Zulkifli Abdy, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik di Banda Aceh).