Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Balikpapan
Seorang teman bertanya mengapa saya menggunakan kata ‘bodoh’ dalam menanggapi keinginan agar UN diadakan lagi. Apakah kata itu tidak berlebihan? Saya jawab bahwa sebenarnya itu sudah lebih sopan. Ada pepatah yang mengatakan “Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda”. Saya tidak menggunakan kata ‘gila’ dan menggantinya dengan kata ‘bodoh’.
Tapi bukankah jika kita terus menerus menebang kayu dengan kapak berulang-ulang pada akhirnya pohon itu akan tumbang juga? Demikian katanya. Tentu saja bukan demikian cara kerja UN itu. Melakukan UN terus menerus meski tahu bahwa yang terjadi hanyalah kerusakan moral bangsa dan berharap mutu pendidikan akan meningkat. padahal tidak mungkin terjadi adalah kira-kira dengan memencet pin yang salah terus menerus dan berharap uang akan keluar dari ATM. Mesin ATM lebih tegas dalam bersikap. Jika kita tiga kali memencet pin yang salah, maka ATM kita akan tertelan. Sedangkan Kemendikbud yang meski paham bahwa tujuan UN untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak akan mungkin tercapai karena pin yang salah, tapi tetap berharap suatu saat mesin ATM akan mengalah dan memberikan uang. Apa namanya sikap seperti itu?
Ujian Nasional yang diharapkan akan dapat dipakai untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional dan diharapkan akan dapat memacu kerja keras semua pihak di bidang pendidikan ternyata berakhir mengenaskan, dicurangi dimana-mana. Setiap tahun kita mendengar dan melihat sendiri terjadinya kecurangan yang dilakukan secara sistematis baik dalam level sekolah maupun dalam level daerah. Tujuan UN untuk memetakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di setiap daerah jelas tidak tercapai dengan adanya kecurangan dalam skala masif tersebut. Bagaimana mungkin peta mutu pendidikan secara nasional bisa diperoleh jika hasil yang diperoleh tidak valid dan penuh dengan kecurangan? UN yang menghabiskan dana ratusan milyar dan telah menyedot energi yang begitu besar tersebut menjadi mubazir dan sebaliknya justru mendatangkan bencana berskala nasional, runtuhnya moralitas pendidikan.
KELEMAHAN INFRASTRUKTUR PENDIDIKAN DAN MORALITAS PENDIDIK
Dengan ketimpangan fasilitas dan infrastruktur pendidikan, baik itu brainware, software, maupun hardwarenya di antara setiap daerah, maka sebetulnya mengharapkan adanya standar kualitas pendidikan secara nasional adalah tidak masuk akal. Jelas sekali bahwa pertimbangan diadakannya UN ini mengesampingkan pertimbangan filosofis dan akademis dan lebih bersifat politis. Jelas sekali bahwa kita tidak mungkin menetapkan standar nilai kelulusan yang sama antara propinsi yang pendidikannya telah maju dan propinsi yang masih tertinggal, yang kebanyakan ada di luar Jawa. Dengan kuantitas yang kurang dan kualitas guru yang rendah, fasilitas yang minim, pendidikan di luar Jawa tidak mungkin diharapkan dapat memiliki standar nilai kelulusan yang sama dengan daerah-daerah yang telah maju di Jawa. Menetapkan standar kelulusan yang sama antara mereka adalah tidak adil. Bagaimana mungkin sekolah di Papua, NTT, Maluku, dan di berbagai kepulauan yang jauh dari kota yang tidak punya guru yang memadai, tidak punya buku pelajaran, tidak ada fasilitas, dan bahkan siswanya belum bisa membaca diwajibkan ikut UN dengan standar yang sama dengan siswa di sekolah-sekolah di kota yang lengkap infrastrukturnya? Bagaimana mungkin kita menerapkan sebuah tes yang standar bagi siswa yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang standar? Apa yang mau diuji dan diketahui dengan itu? Mengapa pemerintah yang jelas-jelas tidak mampu memberikan pelayanan pendidikan yang standar DI SELURUH Indonesia justru mau menguji siswa dan sekolah dengan sebuah tes standar? Ini sungguh gegabah dan juga kejam karena pada akhirnya pemerintah menghukum siswa dan sekolah atas kesalahan yang tidak mereka lakukan dan justru merupakan kesalahan pemerintah pusat alias Kemendikbud.
UN sebenarnya telah dikritik habis-habisan karena ‘cacat’ secara filosofis, akademis, maupun teknis. Secara teknis UN dianggap tidak layak dilakukan karena infrastruktur pendidikan kita memang belum siap untuk melaksanakan ujian yang berskala dan berstandar nasional. Bahkan untuk tingkat provinsi pun sebenarnya kita belum benar-benar siap dalam mempersiapkan segala perangkat sistemnya. Tidak ada standar baku bagaimana UN dapat dilakukan dengan benar-benar bersih dari kecurangan. Tidak ada juklak dan juknis yang mengatur sampai kepada hal-hal yang perlu diantisipasi. Bahkan data pengawas pun tidak perlu dilaporkan ke panitia penyelenggara! Manipulasi data pengawas oleh sekolah-sekolah jelas menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang diterapkan masih sebatas formalitas dan tidak sungguh-sungguh dilaksanakan. Dengan standar pengawasan macam begini sebenarnya kita memang tidak siap untuk melakukan perhelatan ujian secara nasional.
Sungguh berbeda dengan sistem yang berlaku pada Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang ketat tersebut. Pengawasannya benar-benar ketat dan melibatkan banyak pihak independen. Bandingkan dengan UNAS yang dilaksanakan di sekolah sendiri dan hanya dijaga oleh para guru sekolah itu sendiri. Mengharapkan ujian yang tanpa kecurangan adalah mustahil. Dulu pemerintah pernah menggunakan tenaga dari Densus 88, yang sebenarnya adalah pasukan anti-teror, untuk menjaga UN tapi hasilnya sama saja dan bahkan mendatangkan cibiran dan kecaman. https://news.detik.com/berita/d-932137/imparsial-guru-bukan-teroris
Satu hal yang tidak pernah diperhitungkan oleh Depdiknas adalah pertimbangan moralitas aparat pendidikan yang sebenarnya tidak siap untuk menerima kenyataan. Jelas sekali bahwa banyak daerah di luar Jawa yang tidak siap untuk ikut ‘bertarung’ dalam UNAS dan jika dipaksakan, maka jelas mereka akan ‘tumbang’ dengan mengenaskan. Dan tidak ada daerah yang ingin dinilai gagal dalam menyelenggarakan pendidikannya.
Dalam sebuah ujian pra-Unas di Balikpapan dengan mengacu pada kisi-kisi UNAS ternyata hasilnya sangat menyedihkan. Lebih dari 60% siswa gagal dan banyak sekolah, baik negeri maupun swasta, tidak dapat meluluskan satupun siswanya. Sebuah sekolah kejuruan yang dipersiapkan untuk memiliki standar internasional pun (SNBI) hanya meluluskan kurang dari 50% siswanya. Padahal Balikpapan termasuk barometer pendidikan di Kalimantan Timur. Bayangkan bagaimana hasilnya di daerah-daerah yang infrastruktur pendidikannya lebih buruk daripada Balikpapan! Dengan ‘peta’ seperti itu jelas sekali bahwa jika UN yang sebenarnya dilakukan dengan menggunakan kisi-kisi yang sama, maka hasilnya tidak mungkin akan dapat berubah jauh dari itu. Disdik mengatakan bahwa hasil tersebut adalah hasil murni yang tidak dikonversi. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa akan ada konversi nantinya, meskipun Disdik mengelak.
Nah, mungkinkah pemerintah daerah (ataupun pusat) berani membiarkan lebih dari 70% siswanya tidak lulus? Jika itu terjadi maka akan terjadi suasana kacau dan amuk massal dari siswa yang tidak lulus dan ongkos sosial dan ekonomisnya tentu akan terlalu besar untuk dapat ditanggung oleh pemerintah, pusat maupun daerah.
Jadi bagaimana jalan keluarnya? Tidak ada cara lain selain ‘menyiasatinya’. Dan ini bisa berarti menggunakan apapun cara yang memungkinkan. Tak salah jika kemudian kita mendengar bahwa hampir setiap sekolah membuat berbagai skenario untuk membantu para siswanya masing-masing. Apakah hal ini tidak diketahui oleh Disdik masing-masing? Dicurigai bahwa hal ini sebenarnya ‘direstui’ oleh Disdik masing-masing. Kenapa bisa begitu? Karena tak satupun daerah yang ingin menanggung risiko sosial dan ekonomi yang beigtu besar seandainya UNAS ini benar-benar murni karena hasilnya sebetulnya sudah diketahui.
Peta tentang kemampuan siswa sebenarnya sudah diketahui oleh setiap daerah dan setiap propinsi. Bahkan Depdiknas (Kemendikbud) pun sebenarnya sudah tahu. Seperti di Balikpapan, meskipun tahu bahwa hasil pra-Unas-nya jeblok Kadisdiknya masih berani menetapkan kelulusan 90% dan bahkan meminta setiap kepala sekolah untuk menandatangani perjanjian untuk dapat meluluskan siswanya antara 90% s/d 100%! Darimana mungkin sekolah yang kelulusannya 0% bisa menetapkan taget kelulusan 100% bagi sekolahnya?
Dari sini sebenarnya kita tahu bahwa ada siasat-siasat tertentu yang dilakukan oleh setiap daerah agar dapat mendongkrak kelulusan siswanya dan siasat itu bisa dicurigai tentulah ilegal. Perbuatan ilegal tersebut tentulah kecurangan yang tidak bermoral yang semestinya tidak boleh dilakukan oleh pendidik, apalagi dilakukan secara institusional dan massal. UN telah mendorong para pendidik kita untuk melakukan tindak immoral dengan melakukan kecurangan demi kelulusan siswanya. Ini adalah bencana nasional yang tidak kalah dahsyatnya dampaknya terhadap bangsa kita. Ia langsung menggedor moralitas bangsa sampai berantakan.
Jadi apa sebenarnya yang hendak kita capai dan peroleh dengan UN yang penuh sandiwara ini? Yang jelas kita telah membiarkan dan bahkan mendorong berlangsungnya ‘kebohongan nasional’. Dan ini justru terjadi di bidang pendidikan dimana kita letakkan semua cita-cita bangsa di atasnya. Kita mengajari para pendidik kita untuk melakukan kecurangan dan tindakan tak bermoral secara berjamaah dan sistematis. Kita telah melakukan ‘bunuh diri’ moral seacara massal.
Lantas mengapa tetap ngotot untuk melaksanakan UN? Apakah Kemendikbud tidak tahu mengenai hal ini? Bukan itu masalahnya. Kemendikbud memiliki banyak pakar di bidang evaluasi dan mereka paham benar mengenai hal ini. Tapi mereka tidak berdaya. Ujian Nasional adalah ‘beyond their control’ dan mereka terpaksa harus melakukannya meski tahu bahwa Ujian Nasional ini tidak dilandasi oleh kajian akademis melainkan hanya merupakan keputusan politis yang bersifat emosional. Ini bukan masalah akademis lagi, tapi ini adalah keputusan politik yang lebih tinggi ketimbang kekuasaan Mendiknas.
Ini menunjukkan bahwa pendidikan kita benar-benar dilandasi oleh kekuasaan politik Siapa yang berkuasa maka ia yang menentukan seperti apa bentuk dan arah pendidikan kita, meski tanpa landasan filosofis dan akademis untuk kepentingan pendidikan itu sendiri. Pendidikan Indonesia sekali lagi harus menderita oleh kekuasaan politik.
Surabaya, 5 Nopember 2024
Satria Dharma
Bandaaceh.123!@#$%