Oleh Zulkifli Abdy
INDONESIA sedang memasuki ambang musim pemilihan kepala daerah atau Pilkada serentak. Sebagai ajang kontestasi politik, para calon kepala daerah pun telah bermunculan, dan mewarnai wacana publik, bahkan telah pula mendeklarasikan diri. Partai dan kelompok kepentingan, telah mulai menggadang-gadangkan calonnya, ada yang sedang mematut-matut calon pasangan yang akan diusung. Ada pula yang dengan sadar memilih jalur independen untuk menguji peruntungan di Pilkada nanti.
Begitu tingginya antusiasme para calon, tidak mengherankan baliho, spanduk, dan pamflet-pamflet telah mewarnai seantero kota, termasuk di lokasi-lokasi strategis. Sebagai wahana demokrasi, tentu ini sesuatu yang menarik, bukan hanya untuk disaksikan, melainkan juga untuk disikapi dengan seksama, agar lahir pemimpin yang benar-benar dapat memenuhi ekspektasi masyarakat.
Dinamika politik ini menjadi lebih menarik, karena berbagai algoritma akan digunakan untuk melihat peluang dan menakar sejauh mana efek elektoral atau tingkat keterpilihan yang akan ditimbulkannya. Dalam konteks Aceh, di samping partai nasional, juga ada partai lokal, hal mana tentu akan berdampak pada semakin “rumitnya” kalkulasi politik bagi para kontestan.
Tentu akan lebih banyak lagi faktor yang akan menjadi pertimbangan partai dalam meracik strategi. Seperti mencermati basis pendukung, serta ide dan gagasan yang akan ditawarkan kepada konstituen. Juga yang tak kalah penting adalah “mengintip” kecenderungan Jakarta. Semua itu ada dalam “radar” yang terus bergerak dinamis memantau setiap gelagat yang muncul.
Namun Pilkada serentak kali ini menjadi tidak biasa, karena bertepatan dengan fase transisi kepemimpinan nasional dan beriringan pula dengan berakhirnya masa jabatan Joko Widodo yang biasa disapa Jokowi sebagai presiden. Hingga menjelang berakhir masa jabatannya, ternyata presiden Jokowi tidak dapat sepenuhnya menyembunyikan hasrat kekuasaan dan naluri nepotismenya. Hal mana terlihat nyata dengan memaksakan anak-menantunya untuk tetap berada pada pucuk-pucuk singgasana politik.
Mulai dari posisi gubernur DKI, Sumut dan Jateng, dan atau paling tidak wali kota Solo juga tak luput dari target Jokowi sebelum lengser. Gejala itu telah ditunjukkannya dengan kasat-mata, dan memberi kesan kuat betapa seorang Jokowi tidak cukup peka dalam melihat keadaan. Apalagi rakyat telah sangat geram bahkan resah dengan perilaku politik dinasti yang tanpa sungkan dipertontonkannya.
Belum lagi politik pencitraan yang telah menjadi role model dirinya, bahkan sejak beliau masih sebagai Wali Kota Solo, jauh hari sebelum dirinya menjadi presiden.
Sepatutnya seorang pemimpin berikhtiar membangun citranya melalui kinerja, yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Bukan justru melalui wahana pencitraan yang cenderung memperdaya. Bukankah pencitraan itu sebagian besar muatannya adalah kebohongan yang direkayasa, dan masyarakat sudah sangat paham tentang semua itu.
Kendati telah merupakan “lagu lama”, dan belum tentu juga efektif, slogan perubahan masih saja digunakan para calon kepala daerah sebagai sarana komunikasi politik non verbal, untuk menggugah masyarakat. Barack Obama telah menggelorakan semangat perubahan itu 15 tahun yang silam, untuk mencairkan kejenuhan rakyat menanti terwujudnya apa yang mereka sebut sebagai “American Dream”, impian rakyat Amerika untuk suatu kesempatan meraih kesuksesan dan kemakmuran. Pada suatu kesempatan Obama pernah berkata; “Perubahan tidak pernah mudah, tetapi selalu mungkin”.
Semangat perubahan ala Obama itu pula yang akhirnya banyak ditiru oleh calon pemimpin di belahan dunia lain, tidak terkecuali di Indonesia. Tetapi sayangnya semangat perubahan tersebut tak lebih hanya sebatas slogan belaka. Tidak sampai menukik pada implementasi, bahwa perubahan itu tidak boleh berhenti hanya pada spirit semata, melainkan menjadi suatu komitmen yang mesti diwujudkan.
Wacana perubahan sebagai suatu ekspresi dari antusiasme calon, tentu dapat dimaklumi. Tetapi masyarakat telah terlanjur jenuh dengan isu-isu perubahan yang kerap digaungkan para politisi di panggung-panggung politik. Bukankah masyarakat lebih menginginkan perubahan yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar perubahan yang artifisial.
Pertanyaannya, masih mungkinkah kita menggayutkan harapan pada Pilkada yang akan datang? Suatu era yang diharapkan akan menghadirkan masa transisi dari perubahan yang imajinatif kepada perubahan yang konstruktif. Hal tersebut bukan hanya merupakan tuntutan masyarakat semata, melainkan juga telah menjadi tuntutan zaman yang terus mengalami perubahan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 Mahkamah Konstitusi, telah mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.
Lewat putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD dapat mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah.
Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan, mulai dari 6,5 hingga 10 persen.
Keputusan MK tersebut telah membuka lebar ruang Demokrasi di Indonesia, dan sekaligus mempersempit ruang “permainan petak umpet” yang mungkin disembunyikan oleh para pihak yang berkepentingan dengan berbagai pola. Di antaranya dengan memanfaatkan keterbatasan ruang kompetisi, sehingga menyulitkan bagi tokoh-tokoh, apalagi yang non partisan atau calon independen, untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik, dalam hal ini Pilkada.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, terkesan cenderung masih menginginkan pola lama, sehingga berupaya untuk membatalkan keputusan MK di parlemen. Terkesan sangat naif, sebagian politisi di parlemen yang terusik oleh keputusan MK, berupaya untuk membatalkan keputusan yang bersifat final dan mengikat tersebut. Tetapi apa lacur, seperti yang telah diduga oleh berbagai kalangan, upaya Baleg tersebut akhirnya berhadapan dengan gejolak massa, buruh dan mahasiswa tersulut kemarahannya, yang telah lama memendam rasa muak terhadap perilaku elit, termasuk cawe-cawenya presiden Jokowi.
Akhirnya anggota Baleg yang semestinya mewakili aspirasi rakyat itu pun tak berdaya menghadapi demonstran, yang mulai langka kita lihat akhir-akhir ini. Gelombang massa yang semakin sore kian membesar. Bahkan eskalasi tuntutan mereka yang awalnya hanya membela keputusan MK, menjelang petang beralih menjadi keinginan untuk menurunkan presiden Jokowi, yang dipandang telah bermain-main dengan kekuasaan yang berada ditangannya.
Demokrasi di Indonesia yang ingin dikembalikan pada khittahnya di awal era reformasi, namun faktanya kini kembali karut-marut, bahkan tercabik-cabik selama Jokowi menjadi presiden. Demokrasi yang tersumbat, ibarat energi atau potensi kegempaan yang tertahan, yang sewaktu-waktu energi tersebut akan keluar sebagai letupan dalam bentuk gempa, bahkan boleh jadi akan menimbulkan benturan dalam skala yang lebih besar atau megathrust.
Demikian pula demokrasi yang terpasung dalam kurun waktu tertentu, sewaktu-waktu berpotensi akan bergejolak dalam bentuk perlawanan rakyat. Apalagi kalau disertai ketimpangan sosial dan krisis ekonomi berkepanjangan, yang berdampak pada kemiskinan. Kondisi ini sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa kita, bahkan sangat berpotensi menyulut revolusi sosial. Anehnya akrobat-akrobat politik ala Jokowi tersebut seperti tidak terhalang oleh kekuatan masyarakat sipil di negeri ini. Dan mencapai puncaknya serta semakin menjadi-jadi justru menjelang berakhir masa jabatan Jokowi sebagai presiden. Kondisi ini terasa semakin kritikal, karena bertepatan pula dengan akan berlangsungnya pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih hasil Pemilu 2024.
Dalam beberapa hal Jokowi terkesan sangat memaksakan kehendaknya, seperti perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke 79 yang harus diselenggarakan di IKN, sementara fasilitas penunjang di sana untuk penyelenggaraan acara kenegaraan masih jauh dari memadai. Bahkan terakhir terbetik kabar, dengan alasan untuk memastikan sebuah legacy, Presiden Jokowi akan berkantor di IKN selama 40 hari, terhitung sejak tanggal 10 September, hingga 19 Oktober 2024. Hanya sehari menjelang serah-terima jabatan pada tanggal 20 Oktober 2024, dimana pada hari itu Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih akan dilantik.
Sebagai masyarakat awam, penulis coba membatin dan bertanya dalam hati, kalau hanya atas dasar keinginan untuk meninggalkan sebuah legacy, agaknya upaya semacam itu terasa terlalu berlebihan. Bukankah pengakuan atas sebuah warisan, akan datang dengan sendirinya dari rakyat, apabila rakyat telah merasakan dan menilai seberapa besar manfaat warisan tersebut bagi kehidupan berbangsa kita.
Bukan justru sebuah pengakuan terhadap warisan yang dipaksakan justru oleh pewarisnya. Dan pada kondisi seperti inilah penulis memandang betapa ambigu dan tidak arifnya seorang pemimpin ketika meletakkan sesuatu yang ditinggalkannya sebagai sebuah warisan.
Agaknya tidak berlebihan kalau penulis mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sedang berada pada titik nadir. Semoga kita dapat memetik pelajaran dan hikmah dari kegamangan kita dalam menjalankan demokrasi di negeri ini.
(Zulkifli Abdy, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik berdomisili di Banda Aceh).