Oleh : Nura Avadatis Sulha Hassan
Siswi kelas XII Jurusan Tata Boga, SMKN 3 Pariwisata Banda Aceh
Aceh, sejak zaman dahulu sudah dikenal sebagai salah satu pusat rempah dunia. Keharuman aroma rempah Aceh mengundang banyak negara untuk datang ke Aceh, baik dengan cara legal melalui jalinan diplomasi dagang, maupun dengan cara tak legal ;peperangan.
Banyak kisah penyerangan dari pihak luar ke Negeri Aceh disebabkan tergiur aroma khas rempah Aceh, seperti cengkeh, lada, pala dan lain-lain. Salah satunya adalah penyerangan Portugis di Selat Malaka pada tahun 1537. Selain itu, dalam kisah penyerangan terhadap Teuku Umar di Rigaih (14 Juni 1886) juga terjadi akibat pengkhianatan salah satu mitranya, Kapten Hansen, yang sering membarter dagangan senjata dengan lada dari Aceh.
Sudah menjadi cerita turun temurun bahwa hubungan diplomasi Aceh-Turki Usmani bermula dari Kesultanan Aceh yang mengirimkan tiga buah kapal besar berisi muatan beras dan lada untuk Kekaisaran Ottoman di Turki. Tujuan pengiriman bahan pangan dan rempah itu disebut-sebut sebagai permohonan kerjasama sekaligus permohonan bantuan dari Aceh kepada Turki untuk membantu menumpas Portugis di Selat Malaka.
Kehadiran Portugis membuat alur pelayaran memburuk terutama dengan adanya perampokan kapal yang sedang menuju Laut Merah, Mekkah dan Kairo. Selanjutnya Portugis bergerak menguasai Malaka pada tahun 1511. Dari sanalah mereka melakukan intimidasi terhadap kerajaan-kerajaan kecil penghasil rempah di Sumatera.
Menurut H.K.J. COWAN (1937) dalam De “Hikajat Malem Dagang,” Sultan Iskandar Muda mengutus Malem Dagang memimpin penyerangan ke Banang dan Malaka untuk menyerang musuh yang menguasai jalur perdagangan internasional antara Aceh dan negara-negara Eropa. Namun penyerangan tersebut menuai kegagalan.
Belajar dari kegagalan tersebut, Sultan Iskandar Muda mulai mencari sekutu untuk menahan serangan Portugis di Malaka. Adapun dokumen pertama yang ditemukan dalam misi Aceh ke Istanbul (Ibu Kota Rum saat itu) berisi tentang respon pemerintah Turki saat mengirim delegasi teknisi ahli ke Aceh pada tahun 1564.
Selain itu, dalam kitab manuskrip Hikayat Meukuta Alam diceritakan bahwa Sultan Iskandar Muda mengirim utusannya kepada Raja Rum (Raja Ottoman) yang sedang mendapat tugas menjadi penjaga Tanah Suci Mekah dan Madinah. Bersama utusan tersebut dikirimkan tiga buah kapal berisi beras dan lada sebagai hadiah atas kesetiaan Raja Rum utuk membela agama Allah. Hal ini diperkuat oleh H.M Zainuddin dalam bukunya, “Tarich Aceh dan Nusantara” (1957) menuliskan bahwa Sultan Iskandar Muda menyiapkan tiga buah kapal untuk berangkat keTurki. Kapal-kapal itu berisi lada yang akan diserahkan ke Sultan Turki sebagai persembahan dari Aceh. Ia juga meminta kepada Mufti Kerajaan, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry untuk menulis sepucuk surat dalam bahasa Arab.
Jarak perjalanan yang jauh serta tujuan yang belum pernah dikunjungi membuat utusan dari Aceh terombang ambing di tengah lautan, sehingga tidak segera dapat mendarat di Istabul. Saat dalam perjalanan ke Madras, kapal-kapal tersebut terbawa badai dan singgah di Calcuta, India. Setelah badai reda, para utusan Sultan kembali bergerak ke Madras melalui Teluk Benggala.
Setelah singgah beberapa saat di Madras, awak kapal kesultanan Aceh melanjutkan perjalan ke Ceylon, lalu ke Mumbai dan menyeberang melalui Madagaskar menuju Cape Town (Tanjung Harapan) di Afrika Selatan. Selanjutnya rombongan tersebut menuju Laut Atlantik hingga akhirnya berlabuh di Istanbul, Turki. Menurut catatan sejarah, perjalanan panjang tersebut memakan waktu hingga dua tahun.
Perjalanan yang panjang dan waktu yang lama tentu menghabiskan banyak dana untuk memenuhi kebutuhan mereka selama lebih kurang emat puluh delapan bulan tersebut. Satu-satunya sumber yang bisa mereka gunakan untuk keperluan selama dalam pelayaran adalah beras dan lada yang akan mereka hadiahkan kepada Raja Ottoman. Seluruh isi kapal sudah mereka jadikan bahan pangan dan alat tukar untuk bertahan hidup dalam misi ekspedisi ke Kota Istanbul, Turki.
Dengan perasaan malu dan cemas, pemimpin rombongan asal Aceh tersebut memberanikan diri untuk menghadap pemimpin tertinggi Istanbul saat itu dan menyerahkan secarik surat serta segenggam lada sebagai bukti ajakan diplomasi dari Sultan Iskandar Muda. Keberanian Panglima utusan Kesultanan Aceh tersebut membuat Raja Ottoman merasa senang dan memutuskan untuk menghadiahi para utusan dari Aceh tersebut sebuah meriam dan alat-alat perang untuk Sultan Iskandar Muda.
Hasil pertukaran antara sebuah meriam dengansegenggam lada tersebut akhirnya dijadikan nama untuk meriam tembaga berukuran 19 sentimeter tersebut, “Meriam Lada Sicupak.” Menurut Snouck Hurgronje B(1891), panglima yang gagah berani memimpin rombongan tersebut bernama Panglima Nyak Dum.