Oleh Kanzila Sari
Taruni Kelas XI Desain Pemodelan Busana SMKN 1 Jeunieb
Senja adalah bagian waktu dari hari atau keadaan setengah gelap di bumi sesudah matahari terbenam, ketika piringan matahari secara keseluruhan telah hilang dari cakrawala. Waktu ini dimulai setelah matahari tenggelam saat cahaya masih terlihat di langit, hingga datangnya waktu malam, saat cahaya merah benar-benar hilang.
Aku sendirian, ya aku sendirian di dunia yang fana ini. Aku selalu berpikir apakah dunia memang membutuhkan orang sepertiku? Duduk termenung di atas bukit setelah pulang sekolah menatap sang cakrawala, menanti sebuah senja. Yang terpenting aku merasa tidak sendiri di sini tersenyum ke arah sahabatku yang telah tiba. Aku telah banyak berbagi kisah kepadanya, suka duka yang aku rasakan meskipun masih banyak kesedihan yang aku ceritakan. Ia adalah pendengar yang baik menyemangati di saat aku terpuruk. Ialah sahabat terbaik yang aku miliki. Senja.
“ Kau tahu senja??” Aku membuka suara, cahaya pun menyinari wajahku seperti menyuruhku untuk melanjutkan ucapanku.
“Hari ini mereka melakukannya lagi padaku lihatlah bajuku sampai kotor karenanya!!” Menunjuk seragamku yang penuh noda dengan nada kesal. “Hmm Aku tahu. Aku tak akan membalas mereka, tenang saja” Aku tersenyum menikmati kebersamaan bersama senja.
“Eh? kau akan pergi sekarang? Cepat sekali. Baiklah aku juga harus pulang, membersihkan rokku aku berdiri menatap kepergiannya.
Terima kasih telah mendengar ceritaku senja. Lalu aku mengambil tas dan bergegas pulang melalui puluhan anak tangga.
Kini senja telah berganti dengan kegelapan dan kesunyian yang membuatku nyaman. Suara angin malam dan langkah kaki yang aku ciptakan begitu menyenangkan. Di saat sedang asyik berjalan, langkahku terhenti tatkala melihat persimpangan jalan yang telah merenggut nyawa sahabatku. Wira, sahabat terbaikku sebelum adanya senja.
Di saat itu, Yona melemparkan diari milik Wira ke tengah jalan. Yona memang sering membully kami berdua. Di saat Wira melihat diary miliknya ada di tengah jalan, ia pun bergegas mengambilnya dan tiba tiba sebuah mobil melaju dengan cepat ke arah Wira. Aku yang melihat Wira akan diserempet pun bergegas berlari berniat menolong Wira, namun dengan tidak berperasaan Yona dengan sengaja menyandung kakiku hingga aku terjatuh dengan keras.
“Wiraaaa!!” teriakku kala melihat tubuh Wira terhempas sejauh 3 meter.
Aku segera bangkit dan berjalan ke arah di mana tubuh Wira berada. Aku pun menangis sambil memeluk tubuh yang dipenuhi oleh darah itu. Lalu, aku menatap sendu ke arah Yona yang diam terpaku melihat jasad Wira dan ia segera berlari pergi meninggalkan kami berdua.
Dan yang membuatku semakin sedih adalah orang-orang yang saat itu hanya melihat sambil berbisik-bisik tanpa ada niatan untuk menolong Wira
dan hari itu merupakan hari terakhir aku melihat Wira.
“Hai Senja!!” kata seorang pemuda yang tiba-tiba menepuk pundakku. Aku pun segera menghapus buliran bening yang tak tahu sejak kapan mengalir. Aku berusaha terlihat baik-baik saja. Lalu aku menatap sang pemuda dengan tatapan, siapa kau?, Kenapa kau ada di sini? Lebih baik kau pergi saja, tapi tak diperdulikan oleh pemuda itu.
“Kita sekelas, aku duduk di bangku belakangmu. Namaku Jingga. Aku ingin memulai pertemanan denganmu Senja”. Tanpa menurunkan senyum di wajahnya, ia mengulurkan tangannya ke wajahku. Aku hanya memalingkan wajahku kembali menatap ke arah persimpangan jalan itu lagi.
Apa yang sudah dari tadi mengalihkan pandanganmu, Senja? Apa persimpangan jalan itu?” Tanyanya lagi tanpa peduli. Aku yang tak suka jika ia berada di dekatku.
“Kau tahu? Aku punya kenangan buruk di sana?” Pemuda bernama Jingga itu menunjuk persimpangan jalan yang sedari tadi aku pandang.
Kejadiannya sudah cukup lama. Sewaktu aku masih kecil, Ibuku mengalami kecelakaan di sana. Seperti terkena sengatan listrik, aku mulai tertarik mendengarkan ceritanya. Waktu itu ada sebuah truk yang kehilangan kendali sedang menuju ke arahku. Aku yang masih kecil itu pun tidak tahu bahwa ada truk yang sedang melaju kencang, tiba tiba Ibuku mendorongku kedepan. Aku
menghindari truk itu. Dan aku selamat dari maut,tapi sebagai gantinya, aku kehilangan ibuku. Dan kau tahu orang-orang pada saat itu yang hanya menatapku dengan kasihan tanpa ada niatan untuk menolong ibuku yang sedang sekarat. Setelah kematian ibuku, aku menyalahkan diriku sendiri atas kepergiannya, namun ayahku mengatakan bahwa itu yang terbaik untuk ibu maupun kami”. Tidak ada cairan bening yang turun matanya, namun aku tahu bahwa matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam.
‘Ah maaf, kenapa aku jadi menceritakan kejadian sedih itu di hari pertemanan kita” ia berusaha tersenyum. Orang tuli pun tahu bahwa itu senyum palsu. Aku tak tahu harus berbuat apa, jadi aku hanya menepuk pundaknya beberapa kali lalu berjalan meninggalkannya.
Rumahku berjarak tak jauh dari persimpangan jalan itu. Rumah itu adalah rumah peninggalan orang tuaku. Aku memasuki rumah, aku masih mencerna cerita pemuda tadi, siapa namanya? Rangga?
Angga? Jingga? Ah entahlah.
Mendengarkan ceritanya itu membuatku semakin membenci semua manusia di dunia ini. Teman-temanku dan juga diriku sendiri, hanya Senja yang aku sayangi.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, sebulan sudah aku mengenal Jingga. Pemuda itu selalu menggangguku. Entah di sekolah atau di luar sekolah. Dia menceritakan kejadian-kejadian tentang dirinya, leluconnya yang menurutku tak lucu. Dia selalu mencari perhatianku, tapi sayangnya aku sama sekali tak meresponnya. Tapi dia tak pernah menyerah sampai aku mau menerima dirinya di sampingku.
“Hai Senja” seperti biasa aku hanya berdehem pelan. “Apa kau menyukai tempat ini? ” tanyanya dan mengambil duduk di dekatku. “Hm” seperti biasanya, sepulang sekolah aku akan selalu mengunjungi sahabatku. Aku tidak terkejut pemuda itu ada di sini.
“Senja, apa kau menganggapku sebagai temanmu?” Pertanyaannya kali ini mampu mengalihkan atensiku ke arahnya. Aku mengangguk singkat kurasa begitu
Senja mulai berlabuh di langit barat/ Keheningan menyelimuti kami berdua, hingga Jingga mengucapkan sebuah Kalimat yang cukup membuatku sedih.
“Aku akan pergi”
“Ayahku dipindah tugaskan ke Tokyo. Karena aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi di sini, aku harus ikut ayahku,tanpa menunggu aku menjawab, ia dengan cepat menjelaskan alasan ia pergi.
“Apakah lama? ” tanyaku. Lalu menundukkan kepalaku sambil menyembunyikan kesedihan.
“Entahlah, aku rasa aku akan melanjutkan sekolah di sana. Akan sering mengirim e-mail kepadamu, aku tidak akan pernah melupakanmu. Aku berjanji” sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke arahku, dengan sedikit ragu aku menautkan jari kelingkingku.
“Janji?”
“Hm,ya aku janji! ” ucapnya yakin.
Hari itu senja menjadi saksi janji kami berdua. Di bawah senja yang terindah di dalam hidupku itu, Tuhan telah memberikan pengganti sahabatku yang tiada. Aku akan menjadi sahabat yang terbaik bagi Jingga dan tak akan pernah membiarkan nyawa sahabatku hilang lagi.
“Jingga, boleh aku bertanya? Tanya ku sambil menatap paras pemuda yang ada di depanku ini.
Kenapa kau mau berteman dengan orang sepertiku? ” Hening, tak ada jawaban dari bibir pemuda itu. Hingga beberapa detik kemudian ia baru menjawab
“Emm, karena Jingga ada untuk Senja..” ia tersenyum kearahku setelah membalas pertanyaanku tadi.