Oleh Tabrani Yunis
Usai membantu, karyawan POTRET Gallery yang berlokasi di Jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya Banda Aceh, saya seperti biasa berolah raga sejenak. Saya sering berjalan kaki, atau lebih kerennya disebut dengan jogging itu. Juga sering melakukannya dengan bersepeda, untuk membakar lemak atau kolesterol beberapa kalori di badan atau katakanlah untuk mengeluarkan mengeluarkan keringat agar badan terasa bugar dan sehat. Lalu, pagi ini saya mengambil sepeda dan ingin keliling pinggiran sungai Krueng Aceh di kawasan Pango Raya. Namun, ketika baru satu paragraf tulisan ditulis, tiba-tiba panggilan di HP muncul. Pak Hendra mengabarkan bahwa Pak Drs. Imran Lahore, ketua IGI Aceh yang dikenal sebagai pegiat literasi Aceh kembali ke haribaan Allah. Saya pun bergegas kembali ke POTRET Gallery untuk mengganti pakaian dan meluncur ke RSZA ke ruang Jenazah, mengikuti prosesi hingga salat jenazah di komplek perumahan dosen di sektor Timur Darussalam. Otomatis tulisan ini terhenti.
Namun, karena ingatan akan pengalaman masa lalu yang begitu pedih, keinginan untuk menuliskan pengalaman tak terlupakan itu, tetap membara dan terasa rugi bila tidak ditulis. Maka, Sepulang dari takziah, saya mulai me-rewind ingatan masa lalu yang berkaitan dengan sepeda.
Masih segar dalam ingatan, ketika saya masih bersekolah di SPG Negeri Banda Aceh yang saat itu di jalan Kesehatan, Kita Alam. Di tahun 1981, saya masih duduk di kelas II A. Di kala itu pula saya tinggal di Asrama Manggeng, yang berlokasi di jalan Suri No. 14, Kampung Keramat, Banda Aceh, saat itu. Masih terbayang pula kondisi asrama saat itu. Bangunan berukuraan panjang sekitar 20 meter dengan lebar 6 meter itu, berlantai tanah dan berdinding pelupuh pelupuh bambu. Bisa dibayangkan kala hujan datang, selalu banjir. Kala malam, gelap gulita karena tidak dialiri listrik. Namun, semangat belajar dan tekad untuk mengubah nasib, ingin bisa hidup lebih baik di masa depan, menjadi amunisi yang sangat besar untuk belajar.
Jarak dari asrama Manggeng ke SPG Negeri Banda Aceh itu lebih kurang 2 kilometer lebih yang harus saya tempuh pergi ke sekolah dengan berjalan kaki setiap pagi. Begitu pula saat pulang sekolah. Tidak ada angkutan umum dari jalan Pocut Baren ke SPG, kecuali naik becak. Manalah mungkin pula ke sekolah naik becak? Untuk makan saja sering hanya 1 kali hingga 2 kali sehari. Ingin membeli sepeda, ya itu jelas tidak mungkin. Kehidupan yang berkalang kemiskinan, membuat saya tidak mampu memiliki sepeda.
Malangnya, untuk membeli sepeda tidak mampu, tetapi untuk membayar sepeda orang yang dipinjam, harus mampu. Ceritanya begini. Saya ingat sekali pada saat ini, saya tidak punya uang untuk membeli ikan sebagai teman nasi sehari-hari. Karena tidak punya uang, saya harus pintar mengambil hati kawan-kawan yang juga tinggal di asrama, tapi mereka punya yang belanja yang cukup dikirim oleh orangtua mereka. Sementara saya? Saat itu hanya 10.000 rupiah sebulan. Jadi bisa dibayangkan seperti apa kondisinya. Asal bisa makan dan kenyang, sudah Alhamdulilah. Yang penting bisa bertahan hidup dan bisa belajar dengan penuh keyakinan. Lalu, apa yang terjadi?
Ya, saat itu kawan-kawan yang punya cukup duit, meminta saya untuk belanja atau membeli ikan ke pasar ikan di Peunayong. Saya pergi menggunakan sepeda teman yang juga menyuruh saya membeli ikan dan ia memberikan uang untuk beli ikan. Saya pun mendayung sepeda sendiri untuk membeli ikan. Saya masuk ke pasar ikan dan membeli ikan seperti yang mereka inginkan.
Betapa terkejut dan meruntuhkan jiwa saya, ketika keluar dari pasar ikan Peunayong tersebut, sepeda yang saya bawa sudah hilang. Sudah dicuri oleh maling atawa pencuri. Sontak saja saya sangat ketakutan dan menangis. Betapa Sedihnya hati saya. Tak sanggup membeli, tapi harus sanggup membayar. Debar jantung berdetak cepat, karena sangat takut kalau pemilik sepeda akan memarahi saya dan minta diganti dengan yang baru. Padahal saya tidak meminjam sepeda itu, tapi karena saya disuruh dan diberikan sepeda, lalu menuju Pasar ikan di Peunayong.
Saya terus berusaha mencari sepeda itu di sekitar pasar Peunayong itu, namun sepeda yang dicuri itu tidak pernah kembali lagi. Ya Allah, saya menangis sejadi -jadinya di asrama. Kepada siapa saya harus mengadu? Saya tidak mungkin merahasiakan kepada orangtua, walau sesungguhnya orangtua saya tidak mampu atau tidak sanggup membayarnya, saya harus menyampaikan kabar buruk itu. Saya yakin kedua orangtua saya akan sangat marah dan sedih. Apalagi kedua orangtua saya sudah pernah mengingatkan saya ağar “ jangan sekali-kali meminjam milik atau kepunyaan orang, sebab kalau hilang, ayah dan ibu tidak sanggup membayar atau mengganti barang orang yang hilang itu. Namun, apa yang harus saya katakan dan sesali dengan kejadian ini? Ibarat nasi telah jadi bubur.
Disesali pun, sepeda yang hilang itu tidak akan pernah kembali dan itu benar. Walau sebenarnya saya tidak pernah meminjam, karena saya disuruh membeli ke pasar saat itu, namun sedihnya saya seperti nasib orang yang tertimpa tangga. Sudah jatuh, ditimpa tangga. Bayangkan saja, saya disuruh membeli ikan ke pasar, diberikan sepeda sebagai alat transportasinya, lalu sepeda dicuri, saya harus menanggung risiko sendiri. Padahal, kemampuan untuk membayar atau menggantikan sepeda dengan yang baru adalah hal yang mustahil. Ayah dan ibu saya, akhirnya harus menyicil kepada orangtua pemilik sepeda yang juga sekampung dengan saya.
Tak dapat saya bayangkan betapa marah dan sedihnya kedua orangtua saya yang selama saya ketahui hidup dalam kemiskinan dan papa. Namun, dalam himpitan kemiskinan itu mereka harus membayar kelalaian saya yang menghilangkan sebuah sepeda sepak model itu. Sungguh sebuah peristiwa yang tak telupakan bağı saya. Kejadian ini benar-benar kemudian menjadi pelajaran penting bagi saya. Saya tidak mau dan tidak boleh meminjam milik orang, seperti sepeda motor atau barang berharga lainnya, hingga saya mampu membeli sendiri.
Akhirnya, hingga kini prinsip itu saya pegang. Saya tidak mau meminjam kendaraan orang, karena saya belum mampu membeli kendaraan. Alhamdulilah prinsip itu, menjadi jalan terbaik agar tidak terulang, seperti yang pernah saya alamı ketika masih bersekolah. Alhamdulilah pula Allah telah menitipkan rahmat dan KARUNIA Nya kepada saya, hingga bisa menggunakan milik Allah tersebut dalam melakukan segala aktivitas sehari-hari.
Alhamdulilah pula, di ujung usia, saya masih mengelola program 1000 sepeda dan kursi roda untuk membantu anak -anak yatim miskin, pakir miskin, dan anak-anak disabilitas ağar bisa bersekolah dengan leluasa. Program 1000 sepeda dan kursi roda yang bisa membantu anak-anak yayımı, piatu dan miskin belajar dengan lebih baik, setelah menerima bantuan sepeda tersebut. Alhamdulilah