Oleh Dania Rachmayani Bastian
SMAN Unggul Pidie Jaya
Malam itu, semuanya sangat kacau. Vanya masih ingat betapa dinginnya udara dan betapa gelapnya malam itu. Hingga pada paginya, langit sangat sendu. Permukaan tanah, pepohonan, dan atap rumah pun basah. Hujan mengguyur kota itu sepanjang tengah malam dan menciptakan suasana sendu pada pagi harinya.
Vanya ingat persis, betapa langit tak akan bisa menyaingi gelapnya hatinya pagi itu. Ia tak tidur semalaman dan hanya berada di atas tempat tidurnya. Terjebak dalam pikiran yang kalut dan menangis hingga tidak terasa arloji di kamarnya menunjukkan pukul enam pagi.
Matanya sudah bengkak dan kepalanya mulai pusing. Namun, benaknya seakan tidak puas untuk membuat batinnya tersiksa.
“Apa gue emang harus melepas semuanya?”
Bayangan kejadian tadi malam kembali muncul mengingatkannya tentang seluruh alat lukisnya yang berharga serta tumpukan lukisan yang ia selesaikan dengan susah payah harus berakhir hangus tanpa bisa dicegah.
Ibunya, Nanda, benar-benar tidak menginginkan Vanya menjadi seorang pelukis. Bahkan sedari Vanya masih berumur belasan tahun, ia sudah mewanti-wanti untuk tidak membelikan peralatan melukis apa pun untuk Vanya.
“Jadi pelukis itu tidak ada untungnya Vanya. Kamu cuma akan membuang waktumu untuk hal yang tidak berguna. Coba kamu rajin belajar, berprestasi seperti kakakmu, usaha buat jadi lulusan terbaik di kampusmu. Bukan menjadi pelukis tidak berguna seperti ini.” Dikte ibunya.
“Coba lihat kakakmu yang selalu menuruti kata mama. Dia selalu mendapatkan nilai tertinggi setiap ujian bahkan menjadi lulusan terbaik di kampusnya. Kamu mau hidupmu seberuntung kakakmu kan? Maka turuti kata mama. Lagipula mama melarang kamu melukis juga demi kebaikan kamu.”
Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh ibunya masih terngiang jelas dalam benak Vanya. Satusisi, dia ingin memberontak, berteriak kepada ibunya bahwa ia juga ingin meraih impiannya. Namun, sisi lainnya membenarkan ucapan sang ibu, bahwasanya keberuntungan tidak akan berpihak padanya apabila ia masih tidak mau mendengarkan apa kata ibunya.
Pikiran Vanya yang sederhana ketika usianya masih belia berpikir bahwa keberuntungan itu sangat mudah untuk didapatkan. Namun, seiring bertambahnya usia, ia menyadari bahwa keberuntungan akan semakin sulit untuk didapatkan. Ia sempat berpikir bahwa ada banyak sekali orang yang beruntung di dunia ini. Tapi, entah ke mana dirinya ketika Tuhan mengadakan pembagian keberuntungan sebelum ia dilahirkan.
Beberapa kali ia berpikir mengapa dirinya tidak seberuntung orang-orang? Mengapa ia dilahirkan sebagai anak bungsu yang selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya?
Mengapa ia harus lahir dari rahim seorang wanita yang tidak mendukung keinginannya Mengapa ini dan mengapa itu.
Vanya membuka pintu dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah seorang gadis berseragam kantoran yang ingin mengetuk pintu kamarnya.
“Eh, Vanya. Udah bangun?” sapa kakaknya konyol sekali.
“Kalau belum bangun, terus yang di hadapan lo ini siapa, Kak Bel?” jawab Vanya dengan malas.
“Benar juga. Oh, iya. Ayo kita sarapan. Mama udah masak makanan kesukaan kita,” ajak Bella, mencoba mencairkan suasana.
Mereka pun beranjak ke ruang makan dan duduk bersama kedua orang-tuanya yang sudah berada di meja makan lebih dulu. Meskipun Vanya masih merasa sakit hati atas kejadian kemarin, bukan berarti ia akan menunjukkan rasa sakitnya itu terhadap orang tua maupun kakaknya. Biarlah ia simpan sendiri kesakitan itu. Asalkan di hadapan keluarganya, ia tetap menampilkan senyum terbaiknya.
“Udah kapok kamu, Dek?” sindir Nanda kepada Vanya yang tengah mengunyah rotinya.
“Ma, udahlah. Jangan buat keributan di meja makan,” tegur Arka, ayahnya.
Vanya tersenyum meskipun terkesan dipaksakan. ia tidak ingin membalas apapun lagi karena takut akan memicu kemarahan ibunya. Maka, ia hanya melirik Bella yang memberikan tatapan iba padanya. Ingin sekali ia menegur Bella untuk tidak menatapnya seperti itu karena ia akan merasa semakin rendah bila orang menatapnya begitu.
Orang-orang berangsur pergi meninggalkan Vanya sendirian di ruang makan. Arka bersama anak sulungnya pergi bekerja bersama karena memang berada pada satu kantor. Sedangkan Nanda sudah beranjak ke kamar begitu suami dan anak sulungnya pergi untuk bekerja, meninggalkan Vanya yang memang tidak ada jadwal apapun hari ini. Hari Jumat bagi Vanya merupakan hari libur sedunia karena hanya pada hari itu ia dapat bersantai-santai tanpa memikirkan kelas yang harus ia ikuti.
Namun, hari ini tampak berbeda. Jika biasanya Vanya akan menghabiskan waktunya dengan menulis di dalam kamar, maka ini adalah kali pertama ia tidak akan melakukan hal itu lagi.
Vanya langsung bergegas membersihkan dirinya dan bersiap-siap. Vanya pun pergi dari rumah dan meminta izin mamanya untuk pergi ke kampus. Beruntung Nanda tidak memperhatikan jadwal kuliah sang anak, sehingga Vanya dapat berbohong mengatakan bahwa pagi ini ada presentasi dadakan yang diadakan oleh dosennya. Padahal, alih-alih pergi ke kampus, Vanya justru pergi ke sebuah pantai. Tujuannya hanya satu, ia ingin menenangkan pikirannya yang masih bergejolak. Ia lelah, lelah berpura-pura bahagia di hadapan keluarganya. Ia lelah terus-terusan dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Ia lelah mendengar mamanya memaksa ia menghentikan kegiatan melukis yang ia gemari sedari kecil.
Pada saat seperti ini, ia merindukan sosok sang kakek yang telah pergi meninggalkan dunia kejam yang jauh lebih dulu sudah dirasakannya. Vanya ingin mengeluh kepada sang kakek dan memeluknya erat, erat sekali. Ia ingin memberitahu sang kakek bahwa betapa berat sekali kehidupannya setelah kakeknya pergi. Dari Vanya kecil, hanya kakeknya yang selalu berada di garda terdepan membelanya di hadapan orang-tuanya. Selalu meyakinkan orang tuanya bahwa melukis bukanlah suatu kegiatan sia-sia seperti yang dipikirkan oleh orang tuanya.
Vanya pun meraih secarik kertas dan pena yang ia bawa di dalam tasnya. Ia ingin membuat surat yang ingin ia beri kepada orangtuanya. Namun, itu tak akan mungkin bisa ia sampaikan. Ia hanya ingin meminta maaf kepada kedua orang tuanya karena mungkin ia hanyalah seorang anak yang buruk. Untuk itu, mungkin ia akan mencoba mendengarkan apa kata ibunya, setidaknya ia akan mencoba sekali saja meninggalkan kegiatan yang selama ini ia sukai.
“Lo lagi ngapain?”
Vanya terlonjak kaget, buru-buru mendongak ke atas, melihat seorang pria yang sepertinya seumuran dengannya sedang berdiri di sebelahnya. Pria itu mengenakan kaos putih dan bertopi hitam. Vanya membalas tatapan selidik dari pria itu dengan sengit.
“Nulis,” jawabnya singkat.
Setelah itu tidak ada percakapan apa pun yang berlangsung di antara mereka. Pria itu duduk di sebelah Vanya. Hening. Tak ada yang mau memecahkan keheningan itu di antara mereka. Pria tersebut hanya duduk dan memandangi ombak yang berayun-ayun dari posisi mereka. Tak tahan dengan keheningan, Vanya memulai percakapan.
“Lo sendiri ngapain?”
“Nemenin lo.”
Jawaban tak kalah singkat dari pria itu membuat Vanya mengernyitkan dahinya. Untuk apa lelaki yang tidak dikenalnya ini menemaninya? Sedangkan lelaki itu hanya tersenyum tipis tak terpengaruh dengan tatapan penuh selidik dari perempuan di sebelahnya.
“Gue gak tau masalah lo seberat apa. Tapi yang gue tau, lo lagi butuh seseorang yang
maudengerin lo cerita. Dan di sini, gue, meskipun kita gak saling kenal, lo boleh cerita apa pun masalah lo sama gue sekarang. Asalkan lo gak mendam semuanya sendirian, lo mau?”
Vanya tergelak, bagaimana pria di sebelahnya ini bisa sok tahu dengan kehidupannya.
“Sorry, sayangnya apa yang lo tebak itu salah. Karena sekarang gue lagi gak ada masalah apa pun ko. Gue di sini pure mau ngeliat pantai dan kebetulan gue lagi pengen nulis-nulis aja,” jelas Vanya. Ia berpikir mungkin pria ini mengira dirinya akan menulis surat wasiat sebelum ingin mengakhiri hidupnya.
Pria di sebelahnya yang belum ia ketahui namanya tersenyum miring. Ia menoleh menatap Vanya dan mendapati mata Vanya yang sedikit sembab.
“Gue Jevan.” Jevan mengulurkan tangannya, disambut dengan Vanya yang juga memperkenalkan dirinya.
“Lo mau main voli, gak? Gue ada bawa tuh bolanya,” ajak Jevan. Namun, dibalas gelengan oleh Vanya. Bukannya tidak mau, tetapi ia tidak bisa memainkan bola voli tersebut.
“Ayolah. Sini gue ajarin.”
Jevan menarik lengan Vanya untuk menjauh dari tepian pantai ke tengah-tengah.
Lalu mengambil bola yang memang sudah ada di dekat meja, dan melambungkan ke atas dan ditangkap kembali. Ia juga mengeluarkan beberapa kertas kecil yang biasanya disebut sticky note dan menulis beberapa hal. Lalu ditempelkan di bola tersebut.
“Lo tau gak cara mainnya?”
Vanya menggeleng heran, “Ya, enggak. Makanya gue gak mau main tadi,” Jevan tersenyum kecil dan menghampiri Vanya untuk menjelaskan beberapa tips dan trik bermain voli. Hanya dua cara yang ia jelaskan yaitu servis dan passing.
“Terus sticky note itu gunanya apa?”
“Biasanya kalo ada apa-apa, gue bakalan nulis di sticky note ini tentang apa masalah gue danapa yang gue inginkan. Setiap gue servis, gue bakal bayangin kalo yang gue pukul itu, masalah gue. Setiap gue pusing , gue bakal bayangin kalo itu keinginan gue yang mau gue tangkap dan gue lambungkan kembali supaya jadi kenyataan.”
“Percaya gak percaya, itu ampuh banget buat gue. Rasa percaya diri gue yang menurun seketika naik karena merasa gue bisa kok menghadapi itu, sama seperti gue yang bisa melambungkan bola itu.” Jelas Jevan dibalas anggukan paham oleh Vanya.
Vanya kemudian mencoba mempraktikkan yang diajarkan oleh Jevan. Ia mengambil sticky note dan menulis beberapa kata pada kertas tersebut lalu menempelkan pada bola voli yang sudah ia genggam dan mulai memukul bola tersebut.
Namun, yang namanya pemula tidak mungkin langsung berhasil mencapai keinginannya. Bola yang ia pukul meleset tidak tentu arah. Itu berarti pukulan pertamanya gagal.
Q“Yah …”
“Gak pa-pa, namanya juga pertama kali. Ayo, semangat. Lo pasti bisa.”
Percobaan selanjutnya gagal berturut-turut. Vanya berteriak guna melampiaskan kekesalannya yang tak kunjung dapat memukul bolanya dengan benar. Ia bahkan sempat berpikir untuk menyerah saja, sebelum akhirnya ditarik kembali oleh Jevan untuk terus memukul bola itu sampai bisa.
“Janji deh, ini yang terakhir. Kalo masih gak bisa, baru kita istirahat,” ujar Jevan yang sudah berada di hadapan Vanya untuk bersiap mengambil bola.
“Oke deh, last try ya. Bismillahirrahmanirrahim…”
Tak disangka-sangka pukulan yang ia kira juga akan meleset ternyata tepat sasaran. Jevan dengan mudah menangkap bola tersebut. Vanya membulatkan matanya, tak menyangka ia berhasil memukul bola tersebut. Ia langsung tertawa keras, sangat bahagia dengan pencapaiannya. Merasa bahwa masalahnya itu juga ikut terpukul seperti bola tersebut.
Ternyata tawa yang diciptakan Vanya tertular sampai Jevan juga tanpa sadar ikut tertawa. Namun, seperkian detik, Jevan terkejut mendengar tawa Vanya yang berubah menjadi sebuah tangisan. Ia segera menghampiri Vanya berniat menanyakan keadaannya. Jevan kira Vanya sedang sakit perut karena tawanya yang terlalu kencang tadi.
Namun, mendengar tangisan menyakitkan yang ia yakini siapa pun yang mendengarnya akan ikut merasakan sakit, maka ia urungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut. Ia biarkan Vanya menangis dengan posisi berjongkok dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut.
Tanpa sengaja, ia membaca tulisan yang berada di sticky note dekat bola yang sudah berada digenggamannya. Perlahan tapi pasti, ia mulai memahami yang sedang dialami Vanya, sehingga wajahnya terlihat frustasi semenjak awal datang ke pantai hingga akhirnya duduk di tepian pantai. Gelagat menyedihkan dari Vanya, tidak pernah lepas dari penglihatan Jevan. Itu sebabnya Jevan mencoba mendekati Vanya, berharap Vanya akan merasa bahwa ia tidak sendirian di dunia ini.
Meskipun memang, Jevan hanya sosok asing yang bahkan baru delapan puluh menit yang lalu mengenalkan namanya.
Begitu merasa tenang, Vanya berdiri menatap Jevan yang tengah menatapnya dengan senyuman tipis. Jevan melangkahkan kakinya perlahan mendekati Vanya. Ia tak berani melakukan hal lebih terhadap Vanya karena mereka hanya sebatas orang asing yang tak sengaja bertemu. Jadi, ia berharap senyumannya mampu meredakan sedikit kegundahan yang dialami Vanya.
“Jevan, terimakasih banyak. Gue utang budi banget sama lo. Kalo gak ada lo, mungkin gue gak akan setenang sekarang,” ujar Vanya sungguh-sungguh.
“My pleasure, Van. Gak usah merasa utang budi, ngeliat lo baik-baik aja juga sudah cukup.Justru gue seneng, kalo lo ngerasa mendingan setelah gue ajak main tadi. Itu artinya kehadiran gue cukup menguntungkan.”
Jawaban Jevan membuat senyum Vanya mengembang lebar, “Minimal di dunia ini harus adaorang kayak elo gak sih Jev di setiap RT? Biar semua orang yang ada masalah bisa sejenak melupakan masalahnya dengan bertemu orang-orang baik seperti lo.”
“Ah, jangan puji gue begitulah. Nanti gue jadi merasa hebat, lagian ini emang tugas gue kok. Kita sebagai manusia memang harus memedulikan seluruh manusia di sekitar kita kan? Kebetulan aja gue tadi ada di sekitar lo,”
Vanya mengangguk setuju, meskipun masalahnya mungkin tidak selesai. Namun kehadiran Jevan benar-benar membuat hati Vanya yang semula hancur, menjadi tersusun kembali.
“Gue mau ngasih tau lo suatu hal, lo mau dengerin gak?”
“Apa tuh?”
“Terkadang kita melepas sesuatu bukan karena kita lemah atau ingin menyerah Van.
Tapi, memang karena ada hal yang jauh lebih besar daripada impian kita sendiri. Ya, bisa jadi itu karena keluarga, kerabat, atau alasan yang menjadi rahasia bagi kita sendiri.”
“Tapi itu bukan poin penting yang mau gue jelasin, Van. Apabila kita dihadapkan dengan pilihan yang buat kita bimbang maka kita pasti akan didesak dengan pilihan- pilihan yang buat kita ragu. Namun, kalo lo yakin, lo boleh pergi dengan percaya diri untuk menuju mimpi-mimpi lo dan hiduplah seperti yang lo harapkan walaupun nanti ternyata hidup gak seindah itu. Tapi, kalau mental lo ternyata gak sekuat itu, alangkah baiknya lo coba keluardari zona nyaman dan mulai dengerin apa kata orang tua lo karena terkadang yang awalnya tidak kita sukai, justru akan sangat berguna di masa depan.”
Setelah mengucapkan kata tersebut, Jevan berpamitan kepada Vanya untuk pulang duluan. Vanya sempat ditawari pulang bersama. Namun, ia menolak dengan alasan masih ingin menikmati waktu lebih lama di pantai ini. Setelah perkataan Jevan yang masih berbekas di benaknya, ia mulai berpikir dengan jernih tentang apa yang setelah ini akan ia lakukan. Dan jawabannya, pada malam itu Vanya pun pulang dan langsung memeluk ibunya.
Ia memeluk Nanda lama sekali, menjelaskan keputusannya dan meminta maaf kepadanya, karena selama ini ia akhirnya menyadari bahwa ia lah penyebab orang-tuanya tidak mengizinkan ia melukis.
Melukis membuat Vanya menjadi seseorang yang tidak minat belajar dan berakhir selalu memiliki nilai pas-pasan dari masa SD bahkan terbawa hingga kuliah. Itu sebabnya, ibunya menganggap bahwa melukis hanya membuat Vanya rugi.
“Maafkan mama juga ya, Nak. Mama selama ini terlalu keras sama kamu. Akhirnya sekarang kamu sadar kenapa mama selalu larang kamu melukis.”
Sejak saat itu, Vanya mulai menyibukkan diri untuk belajar agar bisa mendapatkan nilai memuaskan di setiap pelajaran yang ia pelajari. Melihat perubahan sang anak, Nanda sudah tidak lagi melarang Vanya untuk melukis. Justru, ia menyuruh Vanya mengajari kakaknya melukis karena memang kakaknya paling lemah kalau disuruh melukis.
Meskipun begitu, Vanya kerap memikirkan lelaki yang bernama Jevan itu karena terakhir kali mereka bertemu, Vanya ataupun Jevan tidak saling bertukar nomor kontak, sehingga Vanya tidak pernah tahu kabar Jevan. Namun, ia berharap semoga Jevan selalu baik-baik saja di mana pun ia berada.
Jika ada orang yang bertanya apakah orang baik itu benar-benar ada? Maka Vanya akan menjawab dengan lantang, bahwa Jevan lah jawabannya. Dia adalah seorang malaikat tanpa sayap yang sepertinya memang sengaja Tuhan kirimkan pada Vanya di saat hatinya sedang kalut. Tuhan memberikan kepercayaan kepada Jevan untuk membantu Vanya menemukan jalan keluar dari masalahnya. Mengubah cara pandang Vanya dalam memandang dunia dan secara tidak langsung membuat Vanya bisa berdamai dengan segala impiannya juga orang tuanya.
“Sekali lagi, terima kasih Jevan, malaikat penolongku.”