Oleh Tabrani Yunis
Bagian ke Dua
Perjalanan wisata Silaturahmi ke Pasaman Barat, Sumatera Barat, baru sampai ke kota Blang Pidie, Aceh Barat Daya atawa
Abdya, kala matahari rebah ke barat, menjelang senja atau sunset. Kami sempatkan singgah sejenak untuk menikmati kuliner di AW Kupi. Rencana semula harusnya bermalam atau berhenti bersilaturahmi dengan sanak famili beberapa saat di Manggeng, sembari bernostalgia di tanah kelahiran yang sudah sejak Juni 1979 ditinggalkan hijrah mencari ilmu ke Banda Aceh, ternyata hanya bisa beberapa menit saja.
Namun, karena kala tiba di Manggeng, di tanah kelahiran itu, sudah bergema suara azan. Pertanda malam telah tiba. Karena sebagai musafir, bisa di qasar atau dijamak, kami niatkan diqasar atau jamak di saat Isya. Allah sudah memberikan memudahkan bagi semua Muslim dan Muslimah yang sedang mengadakan perjalanan jauh. Sehingga rencana untuk bermalam pun berubah. Kami memutuskan menginap di Subulussalam.
Terbayang di pikiran dan terniat di hati seperti di awal, ya bisa duduk-duduk sejenak. Bisa bercengkerama dengan adik atau sahabat lama. Karena sesungguhnya tidak elok bila kampung halaman hanya dilewati saja. Ya, apa pula kata sahabat-sahabat sepermainan masa kecil yang masih tinggal di Manggeng? Pasti mereka ada yang mengatakan dengan ungkapan “sangat sombong.” Lupa akan kampung halaman dan sebagainya. Juga tidak elok bila tak singgah menginjakkan kaki di tanah kelahiran. Bukan saja itu, tetapi juga tidak etis bila tidak menyapa satu atau dua orang sahabat lama yang telah pilihan tahun tidak berjumpa. Bayangkan saja, sudah lebih 40 tahun meninggalkan kampung halaman.
Namun ketika melewati pasar Manggeng, ki sempatkan turun menginjakkan kaki di bumi Teuku Peukan itu. Kuhentikan mobil sejenak, lalu turun menyapa dan bersalaman dengan seorang sahabat masa kecil yang kebetulan sedang berdiri di depan pintu tokonya. Sambil mengucapkan salam, dengan penuh rasa hormat bersalaman saling bertanya. Yang jelas, aku punya kisah hidup yang sangat sarat dengan aksi-aksi struggling semasa kecil.
Nah, ketika mengenang kampung halaman, ada sejuta cerita masa kecil yang masih terekam dalam ingatan. Betapa tidak, dari kota kecil, Manggeng yang saat itu masih menjadi bagian dari wilayah Aceh Selatan, penulis hadir sebagai Tabrani kecil yang lahir dan belajar hidup merangkai masa depan, belajar entrepreneurship dari seorang ibu, Isnani yang hanya sempat mengenyam pendidikan jenjang SD. Ibu mengajarkan dan menempaku dengan setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, menjajakan pisang goreng dari pintu ke pintu, hingga waktu berangkat sekolah tiba. Pekerjaan di usia SD yang harus dilakoni, agar bisa bertahan hidup dengan berbagai macam kesulitan dan kerja keras. Berjalan kaki ke sekolah berkilo-kilo meter, mendayung becak mengantarkan barang seperti kayu, besi dan semen, tapi harus tetap bersekolah.
Aku bersyukur karena ibu juga mengajarkan, menempa dan memberi pengalaman menjual jenis makanan lain, seperti menjual kacang goreng ketika ada acara pemutaran filem layar tancap atau kala ada pertandingan sepak bola dan lain-lain. Tidak salah bila Ibu adalah guru pertama untuk belajar entrepreneurship, walau tidak sehebat para guru di sekolah atau para dosen di kampus. Ya, pendidikan saja setara SD dan bahkan tak pernah mengenyam bangku sekolah.
Ayahku juga begitu berjasa. Peran sang ayah, M. Yunus yang kala itu dikenal dengan sebutan Ayah Unus telah mengajarkan hidup yang begitu keras dan harus dihadapi dengan kerja keras. Ya, dari ayah yang semua orang memanggilnya ayah Unus dan buta huruf telah memotivasi diri untuk berjuang keluar darı belenggu kemiskinan. Kehidupan ayah yang harus bekerja sebagai buruh kasar, menggulam (memikul) setiap barang dari angkutan yang menaikan dan menurunkan barang di stasiun bus, menjadi pelajaran untuk hidup, merangkai mimpi, walau mereka bukanlah para entrepreneur yang memiliki ilmu dan ketrampilan seperti para entrepreneur saat ini yang begitu berjaya. Mereka melakukan hal itu sebagai upaya bertahan hidup atau survival.
Masih segar dalam ingatan tentang kondisi Manggeng di masa kecil itu. Ya, Manggeng yang saat itu mencakup wilayah dari jembatan Krueng Baru, hingga ke Simpang Tiga, Lhok Pawoh itu memang banyak menyimpan cerita masa kecil, sejak lahir hingga menyelesaikan pendidikan sekolah di SMP Negeri Manggeng tahun 1979 itu. Begitu lama dan panjang sekali yang ada dalam ingatan.
Kini Manggeng, sebuah kecamatan yang sebelum pemekaran masuk ke wilayah Aceh Selatan dan setelah pemekaran masuk ke Abdya itu adalah ranah kelahiran dan titik awal membangun kehidupan. Ya, Manggeng, yang menjadi kota kedua di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya yang menjadi magnet bisnis daerah ini, menjadi tempat yang bersejarah. Apalagi Manggeng adalah kecamatan yang dalam catatan sejarah pernah dipimpin oleh raja-raja di era sebelum merdeka. Seperti yang pernah diceritakan oleh seorang sejarawan Aceh yang pernah memimpin Perpustakaan Wilayah Aceh, Almarhum Drs. Thamrin Z bahwa Manggeng itu pernah berada di bawah kepemimpinan raja-raja yang tercatat 10 raja kala itu.
Ya sangat banyak untuk diceritakakan. Memang panjang cerita masa kecil kala hanya sejenak singgah di Manggeng. Bisa jadi perjalanan menuju Pasaman lupa teruai. Apalagi perjalanan masih panjang, masih harus menempuh ratusan kilometer lagi.
Tanka terasa pula, waktu magrib pun berjalan begitu cepat, kami terus melaju meninggalkan Manggeng yang telah banyak berubah itu. Terus melaju menyibak gelap malam melewati kecamatan Labuhan Haji, Meukek, Sawang, Samadua dan tiba di Tapaktuan, kota naga yang merupakan ibukota Aceh Selatan. Kami tiba di kota Tapaktuan yang dikenal dengan pala ini sekitar pukul 20.00 WIB. Singgah mengisi BBM dan istirahat sejenak sekalian melaksanakan salat, karena sudah masuk waktu Isya dengan melakukan jamak qasar.
Lalu usai salat, sembari istirahat menggerak -gerakan badan yang penat kami membeli jagung rebus yang dijajakan di pintu keluar SPBU. Jagung rebus terasa nikmat, karena dalam waktu bersamaan menikmati suara merdu seorang perempuan yang ngamen bersama anak-anaknya yang masih kecil-kecil di SPBU Tapaktuan. Perempuan itu melantunkan beberapa lagu dangdut dengan pengeras suara yang keras. Orang-orang yang mengisi BBM pun banyak yang menitipkan tips ke dalam ember kecil di depan perempuan pengamen itu.
Kami, tentu tidak bisa berlama-lama di kota yang indah dengan pemandagan laut dan menyimpan banyak sejarah ini. Apalagi waktu terus berjalan dan kami meninggalkan kota ini melaju mendaki gunung batu itam, batu merah, panorama Hatta, Guliran Naga, tangga besi dan turun ke Ujung Batu, Terbangan. Stir mobil berada di tangan adik iparku, Muslim. Ia melajukan mobil dengan cepat dan aku sempat terlelap dan terbangun kala tiba di Subulussalam. Tak sadar kalau Terbangan, Kota Fajar, Kandang, Bakongan, Trumon dan Sultan Daulat, tak dapat kusaksikan, sembari menyetir mobil.