PENGHUNI PUTIH BIRU
Di bawah gunung Labalekan
Kau berdiri kokoh tak bersuara bagaikan hembusan angin
Sebuah alas kaki, beralaskan rerumputan yang kering tanpa memisahkan diri
Pepohonan tertunduk layu
Di bawah kejamnya mentari yang membakar
Lingkunganmu penuh dengan sampah
Tiangmu yang kau sebut pagar
Terhampar . . .
Terpecah belah. . .
Tak bersatu
Di bawah kejamnya sang mentari
Dinding putih birumu ternoda
Dengan kata kata kotor, kata-kata hambar dari kami penghunimu
Kami penghunimu terdiam hati yang lemah
Kami penghunimu tak lagi bersemangat
Mendiam diri
Wahai penghuni putih biru
Di hari ini dirimu tampak berbeda
Bunga-bunga kembali menyapa
Semua berubah ketika kau hadirkan sesosok yang kau sapa dengan kata guru
Kami penghunimu tergerak oleh katanya
Seperti pohon yang kembali tegap
Melawan mentari yang kejam
Dinding putih birumu tersenyum tanpa noda
Tiang pelindungmu didirikan berseragam
Di depan ruanganmu terpapar kreasi dari penghunimu
Pondok kreatifmu tersisi penuh dengan kami penghunimu
KATA HATI YANG TAK BISA DIUNGKAPKAN
Rintik-rintik suara itu
Tawa canda terus berkelabu
Lari, lompat tak berirama
Ruangan itu tak pernah hening
Selama 11 jam 55 menit 2 detik
Ada kata yang ingin kuungkapkan
Lewat tatapan mata
Sekali memandang kami takut
Takut kau marah
Takut kau sedih
Karena ungkapan ini sedikit menyakitkan
Tiap tetesan embun yang kau berikan
Terlalu sempurna, namun. . .
Kau tak menyadari
Terkadang pesanmu berbalut duka dihati kami
Kau berpesan tegas dengan menyodorkan rotan
Yang selalu melekat di punggung kami pagi hari
“Jangan terlambat, bangunlah lebih awal, kau tahu jam berapa sekarang”
Dari sikap kami itu
Kau tak sadar kami sedang mencontohimu
Dengan sikap ketidakdisiplinanmu
Di pukul 09.00 kau baru bergegas ke sekolah
Itu yang ingin kami ungkapkan, namun berat
Di situlah membuat kami sedikit kecewa
Mengapa kau tak hukum dirimu dahulu?
Mengapa kau tak tanya dirimu saja?
Apakah ini contoh yang baik bagi para peserta didikku?
Dalam lima menit ruangan tak tenang
Canda tawa, keributan yang memadai datang kembali
Seakan telinga diserbu seribu nyamuk
Terjadilah tawuran
Teriakanmu membuat semua terdiam
Kau melangkakan kaki menuju ke ruangan kami
Dengan segenggang kayu rotan
Kau menanyakan permasalahannya
Kau menghukum semuanya
Dengan rotan yang kau genggam
Rotanmu mengingatkan kami
Ruangan tetap ribut
Tetap bising
Ketika kau tak masuk menginjaki ruangan itu
Ruangan bising karena kau
Yang tak bisa kau sadari
Mimpi perubahanmu mainnya sekadar media
Kau terlalu sibuk
Sampai kau lupa dengan kami
SUARA ANAK BANGSA
Saat ini.. .
Kami berkelana di zaman mimpi tak bersurat
Berliuk-liuk identik terus berjuang
Ini suara kami
Wahai pemerintah
Tolong dengarkan keluh kami
Kami merintih lema dalam tata surya
Kau membuat para pendidik kami tersibuk
Terdesak tersesat menuntut
Membuat mereka harus mengisi laporan administrasi
Dan segala macam yang harus mereka lakukan
Hingga mereka melupakan kami
Kau seakan membuat generasi menjadi bodoh
Dengan juanji-janji manismu
Kami ingin gapai predikat baik
Kami tak ingin gagal
Berjuang menjadi anak bangsa yang hebat
Itulah yang kami butuh
Kami coba menyusuri zaman
Menyusuri kenyataan yang memudar
Lenyap dari keegoan
Lenyap dari dunia serba intant
Sirna harapan kami
Habis suara kami
Saat ini
Menggapai yang terbaik
Itu harapan kami
Itu impian kami
Impian anak bangsa
Kami ingin memukul mimpi
Kami ingin menjual matahari tuk membeli bulan
Kami tak mau hari esok kami dibunuh
Kami tak ingin cita hidup kami dikutuk
Jangan sodorkan cerita bisu kepada kami
Jangan tawarkan ramuan tua setengah terbakar
Celotehmu celoteh basi