Oleh Tabrani Yunis
Bagian Kedua
Setiap perjalanan, yang kita lakukan, ke mana pun kita pergi, adalah kegiatan yang memberikan pelajaran kepada kita. Setiap orang yang melakukan perjalanan, apakah dengan jarak tempuh yang dekat, maupun yang jauh, yang melewati batas negara seperti ke luar negeri. Mungkin Itulah sebabnya ada pepatah lama mengajarkan kita tentang hikmah perjalanan. Pepatah itu mengatakan “ jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dırasa. Ya, ternyata, dengan semakin jauh kita berjalan, semakin banyak yang bisa kita lihat atau amati dan pelajari dari setiap langkah atau jarak yang kita lalui. Sangat lah benar, bahwa semakin jauh kita berjalan, semakin banyak yang bisa amati, ketahui dan menjadi pengetahuan dan pengalaman bagi kita. Semua itu bisa kita bagikan atau ceritakan pada banyak orang, terutama anak-anak kita, sebagai bentuk atau wujud makna berbagi atau transfer pengetahuan dan pengalaman hidup.
Seperti apa yang penulis rasakan dalam melakukan perjalanan sejak usia masih sangat muda. Sebagai sebuah ilustrasi saja, dulu ketika penulis tamat dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Manggeng di tahun 1979, memulai perjalanan dengan misi sekolah ke Banda Aceh. Penulis menemukan banyak hal yang baru di sepanjang perjalanan. Sepanjang jalan ada yang dilihat dan tersimpan dalam memory. Amatan dan penglihatan di sepanjang jalan itu, seperti jalan yang berbatu, berdebu, berlumpur, sepi dan dikelilingi semak dan hutan. Begitu juga kondisi sarana transportasi yang sangat terbatas, tidak ada jembatan, harus naik rakit mengarungi sungai yang luas, sungai yang airnya mengalir deras. Semua terekam dan menjadi pengetahuan serta pengalaman hidup yang bisa dibandingkan dengan kondisi di tempat yang berbeda, dan do masa yang berbeda. Susah dan senang dapat dirasa dan menjadi catatan sejarah dalam kehidupan masing-masing. İni baru satu perjalanan yang singkat, namun terkadang bisa memakan waktu yang lama, karena dipengaruhi kondisi alam dan medan yang dilewati.
Generasi sekarang pasti akan berkata , ah mana mungkin. Ya, karena tidak masuk dalam akal sehat mereka, ketika melihat kondisi saat ini, dengan semakin canggihnya teknologi dan alat transportasi. Apalagi kalau kita ceritakan pada mereka, ketika jalan jalan rusak atau banjir melanda, eskit tidak bisa jalan, sering harus menginap di jalan. Perjalanan seperti sekarang dari Banda Aceh ke Manggeng, bisa sitem pun dalam waktu Lima jam, dahulu bisa 5 hari. Belum lagi di perjalanan bertemu binatang buas, seperti harimau. Cukup ngeri, bukan?
Penulis masih ingat ketika berangkat dari Manggeng ke Banda Aceh rambut Berwarna hitam, sesampai di Banda Aceh, warna rambut berubah putih, karena debu. Lalu, mandi menggunakan sampho bülbül nerek cap enggang. Maka, semakin banyak tempat yang kita datangi atau kunjungi semakin beragam pengetahuan dan pengalaman yang kita dapatkan dan alami. Apalagi seperti Penulis yang berasal dari kampung yang jauh dari hiruk pikuk kota saat ini. Ibaratnya, bagaikan seekor perkutut kampung. Ya, sebagai orang kampung, ya perkutut kampung, yang lahir di kampung, baru tiga tahun merasakan hidup di kota Banda Aceh, mendengar kata Jakarta itu, kala itu langsung membayangkan kehidupan kota besar, yang serba maju, dan serba hebat.
Seperti kebanyakan orang. Banyak orang yang mendambakan bisa jalan- jalan atau bekerja di Jakarta. Jadi, wajar saja, kalau muncul keinginan besar di benak Penulis untuk bisa menapakkan kaki di tanah Jawa itu. Namun, walau hasrat hati untuk bisa ke sana begitu besar saat itu, kemampuan untuk bisa menggapai asa belum bisa tercapai. Kecuali pikiran dan pengetahuan yang bisa sampai ke kita Metropolitan ini, karena mau membaca informasi mengenai ibukota negara Indonesia ini. Oleh sebab itu, impian untuk bisa menginjakkan kaki di kota Jakarta ini, bisa digapai dengan terus menyiapkan diri. Kuncinya adalah belajar, belajar dan belajar. Dengan terus belajar, secara serius dan benar, akan banyak jalan yang mengantarkan kita ke sana.
Ternyata memang benar. Maha Benar Allah.
Kita tidak salah pula bila sering mendengar ungkapan -ungkapan orang bijak. Misalnya, banyak jalan menuju ke Makkah, atau juga pepatah Inggris yang memberikan pesan yang sama. Para pembaca mungkin sering mendengar ungkapan itu. Ya, There is a will, there is a way” . Bila kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Di mana ada kemauan, di situ ada jalan “. Oleh sebab itu, tidak dilarang untuk bermimpi besar. Karena, dengan mimpi besar, kita akan termotivasi untuk meraih impian tersebut.
Mimpi besar itu, membuat kita memiliki dorongan untuk mewujudkannya. Namun, yang harus diingat adalah tidak cukup dengan hanya bermimpi, tanpa ada upaya meretas jalannya, yakni meningkatkan kapasitas diri. Ya, if you have a big dream, make your dream happens. Jangan pula hanya bisa menghayal, tanpa ada usaha dan doa yang menyertainya.
Bila hal ini dilakukan, tentu ada banyak jalan atau cara untuk mewujudkannya. Jalan yang banyak itu, akan bisa digunakan bila kita memiliki ilmu atau pengetahuan yang cukup atau memadai. Ke dua, pastllah ketrampilan yang kita miliki dan ke tiga, kekuatan nilai yang tergambar dalam sikap kita membangun diri. Ketiga, harus menjadi pengingat atau warning, bahwa kegiatan-kegiatan yang kita lakukan, sebagai bagian dari pengembangan diri (self-development) dan melakukan kegiatan-kegiatan sosial, merupakan jalan mulus mewujudkan rencana perjalanan itu.
Pengalaman penulis sendiri, ketika pada masa awal menjadi guru, sangat berharap dapat undangan mengikuti pelatihan atau pentaran yang dilaksanakan oleh Pemerintah tentunnya. Sebab jalur peningkatan kualitas guru secara formal ada di pihak pemerintah. Banyak sekali penataran yang dilakukan oleh pemerintah. Para guru tinggal menunggu giliran untuk diundang. Namun, yang namanya manusia, faktor kesekatan dengan sumber panas, sering menjadi penentu cepat dan seringnya guru diikutkan dalam penataran. Apalagi kalau kegiatan itu dilaksanakan di luar Aceh, seperti ke Medan atau Jakarta, pasti informasi itu hanya diketahui oleh orang-orang terntu. Oleh sebab itu, Penulis bersyukur dapat kesempatan penataran ke Sunggal pada tahun 1986 dan di Asrama Haji, jalan Binjai di km 18 itu pada tahun 1987.
Nah, sebagai guru yang punya keinginan dan cita-cita untuk bisa mengembangkan dan mengepakan sayap ke banyak tempat, Penulis melakukan banyak upaya. Upaya pertama selain memperluas wilayah Mengajar, dari sekolah ke Kursus Bahasa Inggris. Ketika mengajar di kursus Bahasa Inggris Intensive English Course (IEC) Aceh, Cabang Jakarta, Penulis mendapat kesempatan berangkat mengikuti kegiatan IEC di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1991.
Masih segar dalam ingatan penulis, walau sudah berkalang tahun lamanya. Setelah berangkat dengan menumpang bus, ke Medan, turun di pool PMTOH di jalan Gajah Mada , mencari angkutan yang bisa mengantar penulis ke terminal Amplas. Itu adalah perjalanan pertama ke ibu kota negara, atau ke tanah jawa. Tentu lah kondisi saat itu jauh berbeda dengan sekarang yang serba mudah. Jadi,ada banyak pengalaman yang tak terlupakan.
Penulis, kala itu harusnya mencari Taxi, tapi karena ketidaktahuan bertemu tukang becak. Pantas sajalah masih belum faham kota Medan. Jadi, pas ada tukang becak yang tanya, langsung jawab dan memberitahukannya kalau penulis saat itu mau ke terminal Amplas. Padahal di hati penuh rasa takut. Biasalah orang kampung, seperti halnya penulis yang ibarat burung perkutut kampung masuk kota. Namun, tidak salah pula kalau muncul rasa curiga atau was-was. Kondisi Medan, tidak spama dengan di Aceh. Kalau di Aceh, kita tidak takut kena tipu, tidak takut ada copet atau perampok. Kondisi sangat aman. Namun di Medan?
Anehnya pula, becak yang mengantarkan penulis, bukan pula becak mesin, tapi becak dayung. Bayangkan saat itu, darı pool PMTOH di Gajah Mada, menuju terminal Amplas. Lumayan jauh, bukan? Wajah saja, kalau saat itu tukang becaknya terlibat sangat lemah atau capek. Kasihan melihat tukang becak. Alhamdulilah penulis tidak ditipu, walau dalam pikiran, muncul rasa curiga. İni adalah satu di antara sekian banyak pengalaman pertama ke ini kota negara yang saat itu masih di Jakarta.Hmm, Sekarang kan masih juga ya? Kecuali nanti kalau sudah hijrah ke Kalimantan.
Lalu, setelah di terminal Amplas? Ya penulis membeli tiket ke Jakarta di loket ALS. Malamya berangkat ke Jakarta.Penulis berusaha tidak tidur dalam perjalanan, tapi tubuh membutuhkan tidur. Apalagi siangnya terasa sangat kelelahan dan stress. Akhirnya, tertidur pulas.
Ya, karena ini perjalanan jauh ke Jakarta, dan perjalanan pertama, mata dan keinginan hati selalu saja ingin bisa membaca nama-nama kota atau daerah yang dilalui. Udik sekali ya? Ya, tidak jadi masalah, karena ini adalah pengalaman pertama. Perjalanan dengan bus yang menghabiskan waktu hingga 3 hari. Melelahkan, bukan?
Tentu saja, tapi nilai pengetahuan dan pengalaman itu mahal. Apalagi bisa turun dan makan sajian makanan yang berbeda-beda di setiap daerah atau provinsi yang dilewati, termasuk pengalaman naik kapal penyeberangan darı Bekauhuni ke Merak. Penulis menikmati benar perjalanan itu.
Ada yang tidak ingin penulis harapkan darı perjalanan itu. Tak ingin tiba di Jakarta malam hari. Penulis takut sesat dan bercampur takut,karena bermacam ragam alasan. Ternyata, apa yang penulis takutkan pun terjadi, tiba di Jakarta Pukul 8 malam. Kemudian menunggu antara dan keliling mengantar penumpang sudah pukul 12.00
malam. Sebagai orang kampung yang baru pertama kali ke Jakarta, pasti detak jantung terasa bergerak kencang. Apalagi ketika tiba di TMII ditemukan pintu sudah tutup. Jadi bingung, bukan?
Ya, pasti dong. Untung lah malam
Itu, ada penumpang yang belum diantar. Ternyata ia orang Bireun yang sedang kuliah di Jakarta. Penulis pun diajak menginap di rumah pamannya di Kebon Jeruk. Alhamdulilah paginya diantar naik mikrolet 01 yang ke arah Taman Mini dan hati pun lega.
Hanya 3 hari di Jakarta dan sempat keliling kota bersama para peserta. Perjalanan keliling kota Jakarta itu, memberikan banyak pembelajaran bagi penulis serta inspirasi, hingga melahirkan sebuah puisi. Penulis masih ingat judul puisi tersebut. Judulnya, “ Celoteh Perkutut Kampung Yang Tersesat di Belantara Jakarta”. Puisi tersebut dikirim ke harian Serambi Indonesia dan dimuat tunggal di hari Minggu pada tahun 1991. Puisi itu merupakan rekaman amatan penulis tentang Jakarta dan kehidupan. Itulah yang penulis Maksud dengan “ Mengutip Pembelajaran darı Perjalanan”.